Beranda

Navigation Menu

Selamatkan Bangsa dari Semburan Dusta!


Rakyat Indonesia tengah berpesta. Ya, sebentar lagi kita akan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjadi nakhoda bangsa selama lima tahun ke depan. Sebuah helat akbar yang rutin dilakukan sejak era reformasi berkumandang.
Meski pilihan capres yang ditawarkan kali ini tidak berbeda dengan edisi sebelumnya, namun suasana Pilpres 2019 sudah menghangat jauh sebelum masa kampanye digelar. Jajaran public figure dalam negeri—mulai dari politisi, pengusaha, hingga artis ternama—berebut mempromosikan jagoannya. Alhasil, sahut-menyahut dan lempar-melempar pendapat kerap menghiasi layar kaca dan menjadi trending topic di jagat dunia maya.
Sebagai Republik yang menjunjung tinggi asas demokrasi, tentu hal ini sah-sah saja. Sebab setiap orang berhak menyatakan pendapatnya di muka publik. Dengan catatan, wajib dilakukan dalam koridor yang benar. Bukan asal-asalan dan jauh dari kata sembarangan.
Ide dan gagasan masing-masing paslon sejatinya memang patut dibabarkan. Visi dan misi harus tuntas diuraikan. Cita-cita dan program kerja pun mesti selesai dijerengkan. Supaya rakyat semakin cerdas dan yakin dengan pilihannya. Singkatnya, rakyat harus tahu betul siapa dan mengapa ia harus mencoblos pada 17 April 2019 mendatang.

Semburan Dusta

Sayang seribu sayang, pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang pendewasaan publik, ternyata kerap dinodai oleh semburan dusta. Saling-silang fakta dan hoaks yang mengalir deras semakin terasa sumir untuk dibedakan. Celakanya, tidak sedikit yang menjadi korban bualan para penyembur dusta.
Bila tak percaya, mari kita tilik sajian data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berikut. Menurutnya, ada sekitar 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi menyebarkan informasi palsu kepada publik.
Khusus terkait Pemilu mendatang, hingga Desember 2018 sudah ada 62 konten hoaks dari internet yang tertangkap oleh radar Kominfo. Alih-alih berkurang, jumlah konten hoaks malah semakin bertambah seiring mendekati hari pencoblosan.


Setali tiga uang, Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto menerangkan bahwa informasi hoaks telah memenuhi ruang publik di dunia maya. Dinukil dari Kompas.com, sebanyak 60 persen konten media sosial berisi hoaks. Artinya, lebih banyak tipu daya ketimbang fakta nyata yang berseliweran di tengah-tengah kita.
Media sosial yang seharusnya menjadi sarana pendidikan politik yang mudah diakses rakyat jelata, malah digunakan sebagai kran penyembur dusta. Laporan DailySocial.id bertajuk Hoax Distribution Through Digital Platform in Indonesia 2018 merinci jenis media sosialnya. Facebook (dipilih oleh 81,25% responden), Whatsapp (56,55%), dan Instagram (29,48%), menjadi tiga ladang paling subur untuk menebar benih kebohongan.
Yang lebih memilukan, ternyata sebagian besar rakyat Indonesia belum cerdas dalam mendeteksi hoaks. Sebanyak 44,19% responden mengaku tidak mampu mendeteksi hoaks, sedangkan 31% responden lainnya merasa kesulitan. Hanya 24,80% responden yang menyatakan mudah menemukan kebohongan dalam suguhan informasi yang dicernanya.

Mengancam Demokrasi

Maraknya kebohongan yang diumbar jelang Pilpres 2019 berdampak buruk bagi bangsa ini. Alih-alih menyatukan langkah kaki, ia malah membuat masyarakat semakin terpolarisasi.
Fanatisme berlebihan menjadi wabah penyakit baru yang harus dihadapi. Perbedaan pilihan capres acapkali berujung caci-mencaci. Alhasil, cita-cita terwujudnya Pemilu yang damai, berkualitas, dan bermartabat seakan jauh panggang dari api.
Bila mau jujur, tingginya suhu politik beberapa tahun ke belakang malah mengancam kualitas berdemokrasi itu sendiri. Hal ini terbukti dari melorotnya peringkat Democracy Index Indonesia yang dikeluarkan oleh The Economist Inteligence Unit.
Dalam rilis terbaru yang berjudul Democracy Index 2018: Me too?, lembaga riset multinasional tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-65 dari 165 negara di dunia. Bila dibandingkan dengan Pilpres 2014, Indonesia turun sebanyak 16 peringkat. Artinya, nilai-nilai berdemokrasi rakyat Indonesia semakin terkikis seiring berjalannya waktu.


Melihat komponen penilaiannya, turunnya peringkat demokrasi Indonesia disebabkan oleh tiga faktor utama. Yakni kebebasan sipil (civil liberties), budaya politik (political culture), serta proses Pemilu dan keberagaman (electoral process and pluralism). Ini yang patut kita perhatikan tatkala ingin mendewasakan proses berdemokrasi.
Sebagaimana lazimnya kehidupan bernegara, suhu politik menjadi salah satu barometer pembangunan yang paling sahih. Saat tensi memanas, pembangunan nasional ikut-ikutan terhambat. Ketika dusta terus disemburkan, kerukunan bangsa yang menjadi taruhan. Tentu saja, kita tidak ingin hal ini terus berlanjut.
Oleh karenanya, ada satu pertanyaan yang harus segera dijawab. Apa yang harus kita lakukan untuk memerangi hoaks yang semakin merajalela?

Minum Teh Bersama

Jawaban atas pertanyaan tadi sebenarnya sudah ada sejak bangsa ini didirikan. Ia melekat dalam cengkeraman kaki Sang Burung Garuda. Ya, ia adalah semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika. Bila kita ingin memaknai arti “berbeda namun satu jua” dalam rangkaian Pilpres kali ini, maka ada tiga hal yang harus dilakukan untuk melawan semburan dusta.


Pertama, kita mesti pandai menahan diri. Api tak akan berkobar tanpa bantuan bahan bakar. Kebohongan akan meluas tatkala ada pihak—baik disengaja maupun tidak—yang ikut menyebarkan.
Cara melawan informasi palsu yang paling efektif adalah dengan menahan diri. Tak perlu latah ikut berkomentar atau membagikan ke berbagai akun media sosial. Terlebih lagi apabila kita masih ragu akan kebenaran informasi yang diterima. Cukuplah kiranya informasi tersebut berhenti di mata kita saja.
Kedua, cerdas dalam mencari fakta. Tanamkan ke dalam diri sendiri bahwa setiap informasi perlu dicek kebenarannya terlebih dahulu. Bila perlu, cari fakta sahih hingga sumbernya langsung. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka bacalah berita hanya dari media yang benar-benar terpercaya.
Dengan cara ini, maka inteligensia publik akan semakin terasah. Sifat kritis akan tumbuh, sehingga tidak mudah percaya dengan kebohongan yang terus disemburkan oleh para pendusta. Ingat, tanggung jawab ini bukan hanya melekat pada para awak media. Sebagai pemilik akun media sosial, kita juga harus cerdas mencari fakta.
Terakhir, bersikap santun. Berbagi informasi tentu tidak dilarang. Namun demikian, sampaikanlah fakta dengan cara yang santun pula. Tidak perlu ikut-ikutan politisi yang kerap memanas-manasi dengan lantunan puisi. Apalagi sampai harus mengaku benjol dipukuli, namun nyatanya bekas operasi. Jangan!
Kita juga mesti santun dalam menyadari, bahwa setiap orang bebas menentukan capresnya masing-masing. Ada yang memilih paslon nomor satu, ada pula yang menjagokan paslon nomor dua. Masing-masing boleh berpendapat, namun jangan sampai memaksakan kehendak.
Pemilu akan terasa menyedihkan bila warganya terus gontok-gontokan. Semburan dusta yang menjadi akar permasalahan harus segera dihentikan. Sebab esensi Pemilu sejatinya sangat sederhana: pilihan boleh berbeda, namun jangan sampai menghalangi kita untuk minum teh bersama. Setuju? []
***

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel/Opini yang diselenggarakan oleh KataIndonesia.com





Daftar Referensi
DailySocialid. 2018. Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018, [daring] (https://dailysocial.id/report/post/hoax-distribution-through-digital-platformas-in-indonesia-2018, diakses tanggal 24 Februari 2019).
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2017. Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia, [daring] (https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media, diakses tanggal 24 Februari 2019).
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2019. 62 Konten Hoaks Terkait Pileg dan Pilpres, [daring] (https://kominfo.go.id/content/detail/15820/siaran-pers-no-01hmkominfo012019-tentang-62-konten-hoaks-terkait-pileg-dan-pilpres/0/siaran_pers, diakses tanggal 24 Februari 2019).
Movanita, Ambaranie N.K. 2018. BIN: 60 Persen Konten Media Sosial adalah Informasi Hoaks, [daring] (https://nasional.kompas.com/read/2018/03/15/06475551/bin-60-persen-konten-media-sosial-adalah-informasi-hoaks, diakses tanggal 24 Februari 2019).
The Economist Inteligence Unit. 2019. Democracy Index 2018: Me too? Political Participation, Protest and Democracy. London: The Economist Inteligence Unit.

6 comments:

  1. Ngeteh bareng enggak beda sama ngopi bareng ya Mas hehehhee... Emang risih banget kalo lg berseliweran kampanye dusta di medsos. Yang penting kita gak ikut2an dusta ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, Kak Ami. Tidak perlu ikut-ikutan berdusta. Sampaikanlah yang benar atau diam seribu bahasa. Terima kasih sudah mampir, Kak. Salam hangat.

      Delete
  2. Wah setuju banget, mas. Saya sendiri jengah kalau ada yang share berita provokatif atau hoax di timeline saya. Biasanya sih langsung saya unfollow atau mute.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, Kak. Lewatkan saja. Sayang mata jika dipakai untuk membaca hoaks. Terima kasih sudah mampir, Kak. Salam hangat.

      Delete
  3. Benar banget bang, malah kmrn ada yang ngaku2 ketua Komunitas Blogger Millenial, ya Allah sedih. Nah, 3 langkahnya mantabbb bang. Harus kita terapkan nih. Salam Ngopi!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, Bang. Sedih rasanya melihat dusta menjadi bahan komoditas utama. Semoga kita digolongkan sebagai orang yang jujur. Amin.

      Terima kasih sudah mampir ke mari, Bang. Salam hangat.

      Delete