Beranda

Navigation Menu

Showing posts with label ekonomi dan keuangan. Show all posts

Menara Air di Tubuh Bank Sentral



“Ada banyak sekali sumbangan yang bisa diberikan institusi penting ini kepada pembangunan institusi ekonomi Indonesia, yang jauh lebih penting daripada sekadar mengutak-atik instrumen moneter.” ~ halaman 15

Bank sentral tidak melulu soal teori moneter atau makroekonomi. Melalui buku ini, Darmin Nasution menawarkan sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan buku bank sentral lainnya. Buku ini berisi kepingan memoar Darmin selama 3 tahun 8 bulan memimpin Bank Indonesia.

Kepingan itu dirajut menjadi sebuah pesan sarat makna, yang tidak hanya ditujukan kepada pegawai bank sentral semata, tetapi juga kepada para pemimpin lembaga atau institusi mana pun di Indonesia. Pesan itu berbunyi, “Jadilah menara air.”

Analogi “menara air” itulah yang mengawali perjalanan buku setebal 272 halaman ini. Analogi itu timbul dari keresahan Darmin ketika masyarakat kerap mengasosiasikan Bank Indonesia sebagai “menara gading”. Indah dipandang, tetapi hanya ada di awang-awang. Menurut Darmin, semestinya kebijakan bank sentral serupa “menara air”, yang manfaatnya mampu dirasakan oleh masyarakat luas.

Teori dan model makroekonomi canggih yang digunakan Bank Indonesia kerap kali mandek saat berhadapan dengan realita persoalan di tataran mikro. Pegawai bank sentral terlalu yakin bahwa dengan menaik-turunkan suku bunga, maka kestabilan harga akan tercapai.

Padahal, sebelum mencapai sasaran akhir, ada banyak isu yang berpotensi menghambat efektivitas transmisi, seperti pasar keuangan yang dangkal dan struktur pasar yang oligopolistik. Menurut Darmin, itulah kausa mengapa kebijakan Bank Indonesia seperti “cantik di atas kertas, tetapi loyo di medan perang”.

Dalam pandangan Darmin, Bank Indonesia mesti berupaya membuka kebijakan ekonomi “ruang ketiga” bernama “perbaikan institusi ekonomi”. Ruang ketiga itu akan melengkapi dua kebijakan ekonomi konvensional terdahulu, yakni moneter dan fiskal, yang selama ini hanya berkutat pada area memperketat dan memperlonggar aktivitas ekonomi. Darmin yakin, perbaikan institusi ekonomi, termasuk di Bank Indonesia, dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia.

Apa yang Darmin katakan sebagai ruang ketiga benar-benar dipraktikkan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia. Yang paling menarik tersaji pada lembaran ke-112. Kepingan memoar itu ia beri tajuk “Di Balik Menyatunya ATM BCA dan Mandiri”. Pada bagian itu, Darmin bercerita soal kegelisahannya saat memimpin rapat yang dihadiri para pemimpin satuan kerja (satker) kantor pusat Bank Indonesia.

Darmin naik pitam tatkala peserta rapat tidak berhasil memberinya pemahaman yang utuh soal National Payment Gateway (NPG). Darmin merasa apa yang disajikan pemimpin satker hanya berkutat di tataran konseptual semata. Padahal, menurut pandangan Darmin, isu riil di lapangan soal interkoneksi sistem pembayaran kala itu adalah sesederhana ATM Bank Mandiri dan BCA tidak bisa digunakan untuk transfer dana satu sama lain.

Isu diskoneksi antara Bank Mandiri dan BCA memang sudah berlarut-larut. Sementara Bank Indonesia masih sibuk berkutat soal konsep NPG yang digadang-gadang bakal mengintegrasikan seluruh layanan sistem pembayaran.

Darmin berpendapat, Bank Indonesia jangan bermain di tataran konseptual saja, tetapi juga perlu bertindak cepat untuk atasi permasalahan mikro di antara kedua bank besar tadi. Sebab 65% dari keseluruhan nilai layanan ATM di Indonesia ada di tangan Bank Mandiri dan BCA.

Tanpa berpanjang lebar, hari itu juga Darmin meminta pucuk pimpinan Bank Mandiri dan BCA mendatanginya. Pertemuan trilateral langsung digelar. Darmin meminta agar Bank Mandiri dan BCA, bagaimanapun caranya, saling membuka diri dan membangun jembatan antara dua sistem ATM yang dimiliki. Di luar dugaan, tidak sampai 5 menit, kedua pemimpin bank itu langsung setuju.

Empat bulan berselang, hampir 20 juta pemilik simpanan di kedua bank papan atas nasional itu bergembira. Mulai Januari 2012, mereka sudah bisa memeriksa saldo, menarik uang tunai, dan transfer dana lintas jaringan ATM milik kedua bank itu. Sekat yang sudah membatu selama 14 tahun—jika ada niat, kemauan, dan tindakan nyata—ternyata bisa dirontokkan dalam waktu sekejap. Praktik itulah yang Darmin sebut sebagai kebijakan ekonomi ruang ketiga: perbaikan institusi ekonomi.

Kebijakan ekonomi ruang ketiga ala Darmin bukan hanya menyasar pada institusi lain, tetapi juga di internal Bank Indonesia. Kesimpulan itu bisa kita temui pada bab-bab selanjutnya. Pada era Darmin, banyak kebijakan Bank Indonesia yang lahir dari kemauan melihat realita, bukan sekadar mengutak-atik teori dan model ekonomi belaka. Uniknya, kebijakan-kebijakan itu bahkan masih relevan hingga sekarang.

Misalnya saja pada isu devisa hasil ekspor (DHE). Mula-mula, Darmin mewajibkan eksportir untuk melaporkan DHE kepada Bank Indonesia. Supaya Bank Indonesia bisa mengukur seberapa banyak DHE yang masuk ke bank dalam negeri. Hasilnya mencengangkan. Ternyata, eksportir kita lebih suka menempatkan dananya di bank di luar negeri. Inilah alasan mengapa ketersediaan valas di pasar menjadi terbatas dan akhirnya menekan stabilitas nilai tukar Rupiah.

Agar eksportir tertarik menempatkan valasnya di dalam negeri, setahun kemudian Darmin menggagas penerbitan instrumen baru bernama Term Deposit Valas. Instrumen ini hadir untuk memberikan alternatif penempatan valas jangka pendek yang optimal bagi eksportir. Pasar uang valas dalam negeri menjadi semakin dalam dan bergairah, tercermin dari tingkat suku bunga valas yang kompetitif—lebih tinggi dari suku bunga valas di luar negeri.

Selain DHE, dalam buku ini kita juga akan menemukan banyak kebijakan non-konvensional bank sentral yang lahir dari pemikiran membumi seorang Darmin. Di antaranya adalah kebijakan transparansi suku bunga kredit perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit yang terlampau tinggi. Ada pula kebijakan multi-lisensi perbankan untuk membedakan dan membatasi kegiatan usaha bank berdasarkan modal inti—yang kita kenal sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU).

Tidak berhenti sampai di sana, kebijakan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit Ratio (GWM-LDR) juga lahir di bawah kepemimpinan Darmin. Kebijakan yang bertujuan mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan itulah yang kemudian melandasi lahirnya kebijakan makroprudensial bernama Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang diterapkan hingga sekarang.

Di tataran Kantor Perwakilan Dalam Negeri, Darmin juga menanamkan tiga aspek penting selain fungsi pengedaran uang yang masih berjalan hingga saat ini: inklusi keuangan, pengendalian inflasi daerah, dan kajian ekonomi regional.

Tonggak perubahan fundamental juga diletakkan Darmin pada urusan internal. Misalnya saja, Darmin berani memodifikasi skema mutasi yang telah mengakar kuat selama puluhan tahun di Bank Indonesia. Pada skema lama, peran pemimpin satker asal dan pemimpin satker tujuan sangat kental, sehingga kesepakatan di antara keduanya kerap kali mengorbankan kepentingan institusi yang jauh lebih besar.

Dari kacamata Darmin, Bank Indonesia bukan hanya Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) saja, sehingga tidak boleh orang berkualitas hanya berkumpul di sana. Ada bidang lain yang juga memerlukan orang berkualitas agar organisasi tidak berjalan sebelah kaki alias pincang. Perimbangan kualitas sumber daya manusia (SDM) antar-bidang itulah yang melandasi reformasi kebijakan mutasi dan promosi di Bank Indonesia hingga kini.

Dalam buku ini Darmin juga bercerita soal kelemahan utama pegawai Bank Indonesia: tidak terbiasa berbeda pendapat. Kelemahan ini, menurut Darmin, mengemuka karena kemapanan pegawai Bank Indonesia dalam meyakini pemikiran-pemikiran miliknya. Seolah-olah pemikiran mereka paling benar dan tidak pernah salah. Darmin merasa kesulitan untuk meyakinkan mereka, bahwa di luar sana masih ada pemikiran yang sama baiknya atau bahkan lebih baik.

Padahal, kemampuan untuk bisa menerima pendapat dan bersikap positif terhadap benturan pemikiran adalah ciri karakter yang matang. Untuk menjawab isu ini, Darmin merancang skema rapat yang memungkinkan semua orang bebas berbicara tanpa terbelenggu oleh tingkat jabatannya. Darmin meyakini, ketika bicara substansi, ukurannya adalah substansi, bukan hierarki. Upaya ini secara perlahan mengubah budaya dan pola interaksi di Bank Indonesia menjadi lebih cair dan berwarna.

Pada akhirnya, buku ini menyampaikan urgensi kepada kita semua, bahwa kebijakan itu lebih bersifat seni ketimbang sains. Permasalahan ekonomi di negeri ini tidak bisa hanya ditangani oleh cara-cara simplifikasi-mekanistis. Terkadang, bank sentral harus mengambil langkah berani, yang tidak melulu selaras dengan teori, tetapi atas dasar keyakinan dan kemampuan melihat ke depan. Itulah cerminan pegawai bank sentral yang membumi di mata seorang Darmin.

Tidak banyak kritik yang bisa disematkan dalam buku ini. Satu-satunya kritik yang bisa diajukan ialah, pada beberapa bagian—misalnya pada artikel berjudul “Dilema Operasi Kembar”—Darmin terkesan enggan berbeda pendapat. Ini kontradiktif dengan pemikirannya yang mendorong agar pegawai Bank Indonesia lebih bersikap positif terhadap perbedaan pendapat.

Namun demikian, secara umum buku ini dapat melengkapi koleksi buku sejenis. Dua di antaranya ialah Bank Indonesia and the Crisis: An Insider’s View besutan Soedradjad Djiwandono (2005) dan The Mystery of Banking karya Murray N. Rothbard (2008), yang sama-sama menguliti bank sentral dari sudut pandang yang tidak biasa. Bahkan, karya Darmin boleh dibilang unggul dari sisi keterbukaan dan lebih mudah dicerna oleh semua kalangan pembaca.

Akhir kata, buku ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Meski sebagian besar bercerita mengenai sisik-melik dan seluk-beluk di Bank Indonesia, tetapi buah pikir yang terkandung dalam buku ini juga dapat digunakan oleh para pemimpin di lembaga pemerintahan dan institusi non-profit lainnya. Selamat membaca!

***

Judul Buku: Bank Sentral Itu Harus Membumi
Penulis: Darmin Nasution
Penerbit: Galang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-8174-78-7
Penulis Resensi: Adhi Nugroho

Menggagas Insentif PPh Kesehatan bagi Usaha Menengah



Silakan klik tautan berikut ini untuk mengunyah artikel secara utuh.

***

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Pajak yang diselenggarakan oleh DDTC News.

Milenial dan Masa Depan Ekonomi Syariah Nasional





Rencana pemerintah menggabungkan (merger) tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah pada 1 Februari 2021 mendatang menuai banyak harapan. Pasalnya, langkah itu diyakini bakal membawa tatanan ekonomi syariah nasional ke level yang lebih tinggi.

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan pemerintah dalam praktiknya nanti: peran generasi milenial.

*** 

Di tengah angka kasus korona yang terus meningkat, umat muslim Indonesia bisa sedikit bernapas lega pasca mendengar kabar rencana merger tiga bank syariah pelat merah. Ketiga bank itu ialah BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan BNI Syariah.

Jika terealisasi, gabungan bank ini akan menjadi bank syariah terbesar nasional berdasarkan nilai aset, dan masuk ke dalam sepuluh besar bank syariah dunia dari sisi kapitalisasi pasar.

Langkah besar ini patut mendapat apresiasi. Pasalnya, selama ini kinerja bank syariah selalu tersembunyi di balik hegemoni bank konvensional. Meski penghimpunan dana dan penyaluran pembiayaan terus tumbuh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir pangsa pasar perbankan syariah nasional mandek di kisaran 6 persen.

Total aset perbankan syariah pada Juni 2020 tercatat Rp545 triliun. Bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan total aset bank konvensional yang mampu menembus angka Rp8.818 triliun pada periode yang sama.

Ernst & Young, kantor akuntan publik internasional, bahkan memprediksi pangsa pasar bank syariah nasional akan tetap berada di bawah 10 persen, paling tidak hingga lima tahun mendatang.

Oleh karenanya, keputusan pemerintah menyatukan tiga bank BUMN syariah diprediksi bakal menambah taji kinerja bank syariah dalam dinamika perekonomian nasional.

Hanya saja, cita-cita mendongkrak ekonomi syariah nasional tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Langkah peleburan tiga bank BUMN syariah ke dalam salah satu entitas pembentuknya, dalam hal ini BRI Syariah, perlu dibarengi dengan strategi bisnis jangka panjang yang mumpuni. Jika tidak, ekonomi syariah akan berjalan di tempat.

Menyoal arah pengembangan ekonomi syariah ke depan, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peran generasi milenial. Tahun ini saja, jumlah milenial Indonesia sudah menembuh angka 100 juta jiwa. Dengan kata lain, sepertiga total penduduk Indonesia didominasi generasi muda.

Seiring berjalannya waktu, jumlah milenial akan mendominasi struktur kependudukan kita. Apalagi, pada 2045 nanti, bonus demografi akan terjadi. Artinya, 70 persen penduduk kita akan berada di rentang usia produktif. Tentu ini perlu menjadi catatan tersendiri.

Kalau kita tilik hasil Survei Nasional Literasi Keuangan Nasional 2019 besutan OJK, sebetulnya jawabannya sudah tersedia. Rendahnya indeks inklusi keuangan syariah (9,10 persen) dan indeks literasi keuangan syariah (8,93 persen) menjadi kausa utama mengapa kinerja perbankan syariah seperti berjalan di tempat.

Padahal, potensi ekonomi syariah sangatlah besar. Dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia semestinya menjadi pusat ekonomi syariah, dengan perbankan syariah sebagai pondasi utamanya.

Besarnya potensi ekonomi halal sendiri termaktub dalam State of the Global Economic Report 2019. Menurut laporan tersebut, potensi ekonomi industri halal yang belum tergarap maksimal mencapai angka 2,2 triliun Dollar AS. Potensi itu tersimpan dari berbagai bidang usaha, mulai dari makanan, busana, pariwisata, obat-obatan, hingga kosmetik.

Oleh karenanya, bank syariah perlu benar-benar memahami transaksi dan produk perbankan seperti apa yang dibutuhkan generasi milenial. Sebab masa depan ekonomi syariah nasional berada dalam genggaman mereka.

Peran Milenial dalam Ekonomi Syariah


Satu hal yang pasti, generasi milenial kerap diasosikan sebagai pribadi yang kreatif, inovatif, dan cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kombinasi ketiganya menjadikan produk-produk yang bersifat praktis, mudah, dan ramah pengguna (user friendly) pasti digandrungi kaum milenial.

Produk keuangan dan perbankan sama saja. Hasil studi Rossana dan Firmansyah (2019) dalam Analisis Rasch Pada Atribut Perbankan Syariah: Studi pada Generasi Milenial menyebut tiga aspek yang paling dipertimbangkan generasi milenial ketika memilih bank syariah adalah kecepatan, keramahan, dan kesesuaian dengan prinsip Islam.

Oleh sebab itu, ketiga faktor tadi mesti diperhatikan betul oleh perbankan syariah nasional dalam strategi bisnis jangka panjang. BRI Syariah, misalnya. Anak perusahaan BRI itu diganjar Top Brand Award 2019 pada kategori Tabungan Syariah.

Asal tahu saja, Top Brand Award adalah penghargaan paling tinggi untuk urusan merek dagang. Di tingkat nasional, tidak ada penghargaan yang lebih tinggi lagi.

Apresiasi ini patut dijadikan contoh untuk meningkatkan transaksi keuangan syariah milenial pada masa depan. Pasalnya, survei Top Brand Award dilakukan sendiri oleh konsumen. Oleh karenanya, upaya BRI Syariah memformulasi tabungan syariah yang pas bagi kalangan milenial bisa dijadikan acuan bagi perbankan syariah nasional.

Kalau kita teliti lebih dalam, ada tiga alasan mengapa generasi milenial memilih Tabungan Faedah BRI Syariah dalam bertransaksi.

Pertama, bebas biaya administrasi bulanan dan kartu ATM. Ini sejalan dengan hasil survei Cermati yang menyebut generasi milenial cenderung memilih tabungan yang minim—bahkan bebas—biaya. Prinsipnya, jika ada yang lebih hemat, kenapa harus pilih yang mahal?

Faktor kedua mengapa milenial gemar bertransaksi lewat BRI Syariah adalah ketersediaan kantor cabang dan ATM hingga pelosok negeri. Ini penting, sebab kalangan milenial senang dengan hal-hal serba praktis. Dengan puluhan ribu jaringan ATM di seluruh Nusantara, milenial bisa bertransaksi kapan dan di mana saja.

Ihwal ketiga yang mendorong minat milenial bertransaksi di BRI Syariah adalah ketersediaan layanan mobile banking. Ketika bertransaksi, mereka tidak perlu datang ke kantor cabang terdekat. Cukup ambil ponsel, segala transaksi bisa tuntas seketika. Tinggal klik langsung beres.

Apalagi, pandemi korona telah banyak mengubah gaya hidup kita. Dari semula tatap muka, menjadi lebih banyak di rumah saja. Dari semula saling berjabat tangan, menjadi saling memberi salam virtual.

Perubahaan kebiasaan inilah yang harus diperhatikan bank syariah nasional. Menjelang era komunikasi 5G, layanan perbankan tanpa cabang (branchless banking) menjadi suatu keniscayaan yang tidak boleh dialpakan.

Kalau boleh jujur, di sinilah tantangan sekaligus peluang terbesar bagi perbankan syariah nasional. Siapa yang beradaptasi dengan perkembangan zaman, dialah yang keluar sebagai pemenang dan menjadi motor penggerak ekonomi syariah nasional.

Pada akhirnya, sebagai konsumen, tentu kita berharap upaya merger tiga bank BUMN Syariah mampu menjawab kebutuhan transaksi milenial. Karena sejatinya, bank yang nantinya akan masuk ke dalam kelompok BUKU III itu semestinya tidak hanya menjadi bank syariah nasional terbesar semata, tetapi juga berperan sebagai lentera edukasi dan dakwah di bidang keuangan syariah. Semoga. [Adhi]

***
#ibmarcomm.id #shariabankingonlinefestival2020 #ojkindonesia #milenialasyikbertransaksisyariah #brisyariah #hidupharusberfaedah

Menjadi Bagian dari Lentera Masa Depan





Sorot mata lugu itu jatuh tepat di hadapanku. Wajahnya berseri-seri, tak sabar menanti giliran bersalaman. Sesekali ia tengok pengasuhnya yang tengah sibuk menata barisan.

Dari gerak-geriknya, tampaknya ia ingin berteriak meluapkan kegembiraan. Namun apa daya, keinginan itu terpaksa ia pendam lantaran khawatir pengasuhnya bakal datang membawa sempritan.

Lima menit berselang, tiba saatnya kami berhadapan.

“Yang terakhir, ya? Namamu siapa?” aku bertanya.

“Mukhlis, Pak,” jawabnya.

“Ini buat jajan Mukhlis, ya,” bisikku seraya menyodorkan amplop.

“Alhamdulillah,” timpalnya girang, “makasih, Pak.”

Ia pun berlari seraya mengepalkan tangan ke udara, bersorak-sorai penuh sukacita. Dari kejauhan, aku tersenyum lega.

*** 

Ramadan 2018. Ada yang berbeda pada bulan puasa kala itu. Biasanya, aku dan kawan-kawanku berbuka puasa bersama di kafe atau restoran. Namun, kali ini lokasinya sengaja kami alihkan ke Panti Asuhan Annajah, Petukangan, Jakarta.

Memajukan pendidikan. Itulah alasan kami berbagi rezeki dengan anak-anak panti asuhan. Mas Syarif, pengasuh di Panti Asuhan Annajah, bercerita bahwa anak asuhnya yang berjumlah 45 orang, semuanya berstatus yatim piatu dan berasal dari berbagai penjuru Nusantara.

Batin kami meringis saat mendengar cerita Mas Syarif. Betapa tidak? Anak-anak itu terpaksa putus sekolah lantaran kesulitan biaya. Padahal, pendidikan adalah satu-satunya jalan mendobrak kemiskinan.

Di usia yang begitu muda, mereka mungkin belum menyadari hal itu. Namun, kami tahu persis, tanpa pendidikan, hampir mustahil mereka bisa meraih masa depan gemilang. Rasanya sungguh keterlaluan jika kami yang sudah berpenghasilan enggan berbagi kepada mereka yang serba kekurangan.



Jujur saja, kami tak kuasa membayangkan. Betapa sedihnya mereka tiap kali bersua malam. Tanpa sosok orangtua, mereka dipaksa tegar meski usianya belum genap remaja. Dengan berbagi, sekalipun jumlahnya tak seberapa, paling tidak kami bisa sedikit meringankan beban penderitaan mereka.

Kita memang tidak boleh menghitung-hitung pahala. Itu hak prerogatif Allah semata. Namun, melihat mereka tersenyum bahagia itu sungguh melegakan jiwa.

Maka benarlah firman Allah dalam kitab-Nya:

“…Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” ~ QS. Al Hadiid: 7.

Apa yang kami lakukan dua tahun silam mungkin tidak akan mengubah nasib mereka dalam sekejap. Akan tetapi, kejadian itu betul-betul mengubah caraku bersikap.

Apalagi, sejak membaca rilis Bappenas yang menyebut ada sekitar 4,3 juta anak putus sekolah di Indonesia sepanjang 2019, kontan hatiku terenyuh. Tanpa pikir panjang, aku langsung ikut program orangtua asuh besutan lembaga donasi Islam yang terafiliasi dengan masjid di kantorku. 



Anak asuhku bernama Fathir Putra Fredyansha. Sejak Juni 2019, aku rutin menyisihkan sebagian penghasilanku untuk biaya sekolahnya.

Sekarang, Fathir bersekolah di SMP Adzkia Islamic School, Tangerang, Banten. Ayahnya seorang supir, ibunya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tanpa uluran tangan para dermawan, dirinya tidak bisa mengenyam pendidikan.

Namun, segala keterbatasan itu tidak membuat Fathir berputus asa. Prestasinya justru luar biasa. Asal tahu saja, ia tergabung dalam Divisi Dakwah OSIS dan didapuk sebagai Koordinator Fraksi Bahasa dan IPTEK di sekolahnya.

Untuk urusan menghapal Alquran, jangan ditanya. Ia sanggup melantunkan Surat Al Baqarah dan Juz 30 di luar kepala! Jadi, bagaimana hati ini tidak menangis jika ada anak sehebat itu terpaksa putus sekolah gara-gara masalah biaya.



 

Meski sampai sekarang aku belum pernah bertemu Fathir, tetapi semangatku dalam berbagi tak pernah pudar. Sebab pada era digital, donasi bisa kulakoni lewat sentuhan jari. Cukup ambil ponsel, dana santunan bisa dikirim seketika.

Memang benar, demi alasan kesehatan, kita tidak disarankan bertemu banyak orang. Memang betul, untuk mencegah penularan virus korona, kita juga diimbau tidak sering bertatap muka.

Namun, sekalipun pandemi terasa mengungkung diri, sudah sepatutnya kita tidak menghentikan kebiasaan berdonasi. Sebab teknologi telah membuat aktivitas transfer dana bisa dilakoni semudah menjetikkan jari.

Justru sebaliknya. Dalam situasi sulit, sekecil apa pun pundi-pundi yang kita sumbangkan, sudah pasti meringankan beban mereka yang tengah dirundung kemalangan.

Percayalah, Kawan. Dengan berbagi, justru kita tidak akan pernah merugi. Sebab Allah telah berjanji:

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya”. ~QS. Saba: 39.

Lagi pula, cara berbagi itu bermacam-macam. Jika tidak dengan harta, bisa juga dengan ilmu. Contohnya tiga bulan lalu. Aku diminta mengajar kelas menulis daring oleh salah satu komunitas. Kebetulan, aku memang hobi menulis. Mereka yang berminat ikut kelasku diwajibkan membayar Rp50 ribu.

Sejujurnya, aku kurang sepakat dengan keputusan penyelenggara menarik bayaran dari peserta. Karena bagiku, segala jenis ilmu, termasuk ilmu kepenulisan, semestinya bisa diakses setiap orang secara cuma-cuma.

Lantas, apa yang kulakukan?



Ada dua. Pertama, aku berikan beasiswa kepada 10 orang peserta. Teknisnya, aku mentransfer uang senilai Rp500 ribu ke rekening penyelenggara supaya 10 orang peserta tadi bisa ikut kelasku tanpa biaya.

Kedua, aku menolak diberikan honor barang sepeser pun. Aku niatkan semata-mata untuk bersedekah ilmu. Biarlah Allah, pemilik segala harta, yang mengganti semua jerih payahku. Harapanku cuma satu. Lewat berbagi ilmu, dunia kepenulisan digital bisa sedikit lebih maju.


 

Seperti kisahku di atas, era digital benar-benar memudahkan kita dalam berbagi. Hanya saja, dari sekian banyak lembaga donasi, mana yang betul-betul bisa kita percayai?

Jangan bingung. Sesuai Keputusan Menag No.333/2015, pilihlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang direkomendasikan BAZNAS dan memperoleh izin operasional dari Kemenag. Sebab LAZ terdaftar wajib diaudit oleh Kantor Akuntan Publik secara berkala. Dengan kata lain, penyaluran donasinya pasti terjamin.

Kalau sudah, pilih program donasi sesuai niat kita. Aku sendiri paling senang berdonasi di bidang pendidikan. Karena itulah aku memilih LAZ UCare Indonesia.




Yang menarik, LAZ binaan Yayasan Ukhuwah Care Indonesia ini punya program Semarak Yatim. Lewat program ini, kita bisa ikut mewujudkan mimpi puluhan—bahkan ratusan—anak yatim untuk masa depan yang lebih baik.

Masih ragu berbagi? Simak betapa mulianya cita-cita anak yatim binaan LAZ UCare Indonesia lewat video berikut.



Mengharukan, bukan?

Bagi LAZ UCare Indonesia, pendidikan memang jadi prioritas utama. Buktinya, dari total Rp4,77 miliar ZIS yang disalurkan, sekitar 55 persennya dialokasikan untuk pendidikan. Data ini tercantum dalam Laporan Pengelolaan Zakat 2019 milik LAZ yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat itu.

Jadi, tunggu apa lagi? Segera ambil ponselmu dan ikuti langkah-langkah berdonasi pada infografis di bawah ini.



Sebelum kuakhiri, izinkan aku mengurai satu pitawat. Kawan, jangan sampai pandemi meredupkan semangat berbagi di era baru. Ada jutaan anak menanti uluran tangan para dermawan. Jadilah bagian dari lentera masa depan mereka. Barangkali, donasi itulah yang bakal meringankan langkah kita menuju surga-Nya.

Selamat berbagi! [Adhi]



*** 

Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka Lomba Blog LAZ UCare Indonesia 2020.



#IniUntukKita – Creative Financing: Paradigma Baru Pembiayaan Infrastruktur Tanpa Kas Negara


Infrastruktur ibarat urat nadi perekonomian bangsa. Semakin cepat dibangun, semakin cepat pula roda ekonomi berputar.

Karena itu, paradigma pembiayaan infrastruktur modern tidak boleh hanya mengandalkan APBN/APBD semata. Creative financing hadir sebagai solusi pendanaan tanpa membebani kas negara.

*** 

Pernahkah kita berpikir apa rasanya bepergian tanpa jalan tol, jalur kereta api, atau bandara? Sempatkah kita merenung apa jadinya aktivitas perdagangan tanpa pelabuhan? Atau sudahkah kita bertafakur bagaimana nasib petani tanpa aliran irigasi dari bendungan?

Tanpa kehadiran tol, jalur kereta api, dan bandara; kemacetan pasti merajalela. Perjalanan menuju kantor, sekolah, atau lokasi usaha bakal terhambat.

Tanpa peran pelabuhan, aliran barang dan logistik dari dan luar negeri pasti akan tersendat. Seperti halnya nasib petani tanpa bendungan. Tanaman pangan rentan terserang risiko gagal panen akibat kekurangan asupan air.

Kawan, itulah makna penting pembangunan infrastruktur. Dengan jalan tol, kereta api, atau bandara; ruang gerak dan aktivitas tentu menjadi lebih luas. Kita bisa melakukan lebih banyak hal produktif seperti menuntut ilmu dan bekerja.

Dengan pelabuhan, aliran logistik jadi lebih lancar sehingga hasil produksi bisa tersebar merata ke seluruh penjuru Nusantara. Begitu pula dengan keberadaan bendungan sebagai sarana irigasi. Petani bakal hidup sejahtera karena tanaman tumbuh subur dan produktivitas hasil pertanian meningkat.


 
Jadi, tidaklah berlebihan bila infrastruktur disebut sebagai syarat utama menuju bangsa sejahtera. Berkat infrastruktur, sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah akan tumbuh dan berkembang. Hasilnya bisa dirasakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Hanya saja, pembangunan infrastruktur kita belumlah sempurna. Kajian Global Infrastructure Hub (GIH) pada 2017 menyebut masih ada celah (gap) pembiayaan sebesar 140 miliar Dolar AS hingga 2040 mendatang agar Indonesia bisa meningkatkan kualitas infrastrukturnya hingga setara dengan negara-negara kelas menengah.

Studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyodorkan hal senada. Menurut Bappenas, dibutuhkan belanja infrastruktur hingga Rp7.000 triliun pada 2020—2024 agar pertumbuhan ekonomi bisa optimal. 

Sementara kapasitas APBN dalam mendanai infrastruktur hanya sekitar Rp5.000 triliun saja. Gap sebesar Rp2.000 triliun mesti dipenuhi dari luar kas negara. Di sinilah peran creative financing dibutuhkan.


 


Sesuai namanya, creative financing ialah pembiayaan infrastruktur yang dananya tidak bersumber dari APBN/APBD. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur dibiayai melalui berbagai skema kerja sama antara pemerintah, BUMN, swasta, maupun masyarakat.

Creative financing adalah paradigma anyar dalam membiayai kebutuhan pembangunan. Dengan konsep ini, tanggung jawab pembiayaan infrastruktur tidak semata-mata dibebankan pada pundak pemerintah.

Akan tetapi, semua pihak bersatu-padu dan bahu-membahu demi terciptanya Indonesia maju. Skema kerja sama ini sering disebut dengan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Lantas, apa saja jenis proyek infrastruktur yang dapat dibiayai melalui creative financing? Kementerian Keuangan telah membaginya ke dalam tiga jenis, yakni proyek yang: (i) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal terbatas; (ii) layak secara ekonomi tetapi finansial marjinal dengan kapasitas fiskal memadai; dan (iii) layak secara ekonomi dan finansial.

Dengan kata lain, jika proyek infrastruktur dinilai menguntungkan dan mampu menghasilkan pendapatan setelah beroperasi, maka sebaiknya tidak dibiayai melalui kas negara.

Apa sebab? Karena proyek seperti ini sudah menjadi keahlian BUMN dan Swasta. Dengan begitu, dana APBN/APBD bisa digunakan untuk proyek infrastruktur umum yang memang bersifat nirlaba, seperti jalan raya, fasilitas umum, dan kesehatan masyarakat.

  
Sekarang, mari saya sodorkan satu contoh. Jalan tol Gempol—Pandaan, misalnya. Jalan tol yang beroperasi sejak 2019 ini tidak dibiayai APBN/APBD ataupun perbankan, melainkan dari dana investasi infrastruktur (DINFRA).

DINFRA adalah wadah berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK) guna menghimpun dana dari masyarakat, yang selanjutnya digunakan Manajer Investasi untuk berinvestasi pada aset infrastruktur dalam bentuk utang atau ekuitas.

Jadi, skemanya seperti ini. PT Jasamarga Pandaan Tol sebagai pemilik konsesi jalan tol Gempol—Pandaan menjual sahamnya kepada Mandiri Investasi selaku Manajer Investasi. 

Kemudian, Mandiri Investasi menerbitkan DINFRA yang dapat dibeli oleh investor dan masyarakat di pasar modal, dengan potensi imbal hasil sekitar 9 persen per tahun. Hak imbal hasil ini akan dibayar dari pendapatan jalan tol itu sendiri.

Singkat kata, melalui DINFRA, masyarakat punya opsi investasi yang menguntungkan. Selain itu, masyarakat juga bisa berperan aktif dan turut serta menyukseskan pembangunan bangsa lewat infrastruktur jalan tol.

Selain DINFRA, contoh lain creative financing juga bisa kita temui dari skema pembiayaan efek beragun aset (EBA) atas ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi. PT Jasa Marga selaku operator jalan tol mengagunkan hak atas pendapatan ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi selama lima tahun ke depan.

Hak atas pendapatan itu kemudian dijual kepada masyarakat, melalui perantara Manajer Investasi, dalam bentuk surat utang yang disebut EBA.

Dengan membeli EBA, masyarakat bisa memperoleh imbal hasil hingga 9 persen per tahun. Dana hasil penjualan EBA itu nantinya akan digunakan PT Jasa Marga untuk membangun ruas jalan tol di daerah lain di seluruh Indonesia.

  
Dari contoh EBA di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Manfaat creative financing tidak sekadar menuntaskan proyek yang sedang dibangun saja, tetapi juga punya efek berganda. 

Dengan berinvestasi pada EBA, artinya kita tidak hanya ikut serta membiayai ruas tol Jakarta—Bogor—Ciawi saja, tetapi juga berbagai ruas tol lainnya milik PT Jasa Marga di seluruh Indonesia.

Dampaknya pun bisa dirasakan secara lebih luas. Saudara kita di luar daerah juga bisa merasakan kemudahan dan kecepatan bertransportasi melalui jalan tol. Konektivitas antar-daerah akan meningkat, sehingga roda perekonomian bakal berputar secara lebih cepat.

Contoh jalan tol di atas hanyalah dua di antara beragam proyek infrastruktur yang dibiayai melalui creative financing. Selain itu, ada pula proyek infrastruktur tanpa pembiayaan kas negara seperti pembangkit listrik milik PT Indonesia Power senilai Rp78,3 triliun, bandara Kulon Progo besutan PT Angkasa Pura I senilai Rp6,7 triliun, maupun tol Trans Jawa buatan PT Waskita Toll Road senilai Rp135 triliun.

Yang jelas, peran kita sebagai warga negara yang baik adalah mendukung rencana pembangunan infrastruktur yang ditetapkan pemerintah. Syukur-syukur bila mampu terlibat aktif dengan membeli produk investasi creative financing. Itu lebih baik.

Sebab kita paham, tujuan pembangunan infrastruktur adalah untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Persis seperti tagar yang mengawali judul artikel ini: #IniUntukKita. [Adhi]

  
*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Merah Putih Creator Competition kategori Blog Writing Competition yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Menitip Masa Depan pada Energi Terbarukan



Indonesia memang belum sepenuhnya lepas dari ketergantungan energi fosil. Tapi bukan berarti kita berdiam diri saja. Banyak cara untuk menghasilkan energi terbarukan. Biodiesel, lampu tenaga surya, dan kulit cokelat adalah tiga di antaranya.

*** 

Lebih dari seratus tahun lalu, Henry Ford, pencetus revolusi industri transportasi asal Amerika Serikat, pernah membuat ramalan. Katanya, energi masa depan akan berasal dari rumput, buah, tanaman—hampir apa saja.

Kala itu, banyak orang yang meragukan kebenaran ucapan Sang Revolutor. Namun seiring perkembangan zaman, ketika teknologi dan ilmu pengetahuan semakin maju dan berkembang, mayoritas orang sepakat bahwa apa yang diucapkan Ford bukanlah pepesan kosong belaka.

Energi fosil yang lazim kita gunakan, seperti batu bara dan minyak bumi, memang punya beragam efek negatif. Mulai dari polusi udara, efek gas rumah kaca, pemanasan global, hingga hujan asam. Penelitian Gopal dan Reddy (2015) juga membuktikan bahwa proses eksploitasi energi fosil punya dampak buruk terhadap keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

Selain merusak lingkungan, energi konvensional juga dapat menurunkan kualitas kesehatan. Pembakaran pabrik dan kendaraan bermotor menyebabkan kita sesak napas. Itulah mengapa, kita lebih senang menghirup segarnya udara pegunungan ketimbang menyesap sesaknya hawa perkotaan.

Lagi pula, energi fosil bukanlah sumber daya abadi. Suatu saat nanti, jika dieksploitasi terus-menerus, akan habis dari muka bumi. Gioietta Kuo, peneliti dari Stanford, memprakirakan energi fosil akan habis pada 2090. Dengan demikian, jelaslah bahwa mencari sumber energi terbarukan mesti menjadi prioritas bangsa mana pun di dunia, termasuk Indonesia.

Di tengah pencarian sumber energi terbarukan, kita patut bersyukur. Capaian produksi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia terus meningkat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat angka produksi EBT hingga Mei 2020 sudah mencapai 15.805,59 GWh, atau setara dengan 14,21 persen total produksi energi nasional.

Dibanding dua tahun lalu, angka bauran EBT kita mencatat lonjakan yang cukup menggembirakan. Pada 2018, pangsa EBT terhadap total energi nasional hanya berkisar di angka 8,55 persen saja. Dengan kata lain, kita membukukan kenaikan hampir dua kali lipat hanya dalam waktu singkat.




Namun demikian, kita pun sadar bahwa kita tidak boleh lekas berpuas diri. Sebab masih tersisa ruang perbaikan agar cita-cita meningkatkan bauran EBT hingga 23 persen pada 2025, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, benar-benar dapat diwujudkan.

Upaya pencarian sumber energi alternatif terus dilakukan. Banyak penelitian telah membuktikan komoditas alam dan organik bisa menjadi sumber energi terbarukan. Mulai dari singkong, sampah organik, hingga tebu. Hanya saja, penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan.

Tingginya biaya produksi masih menjadi kendala terbesar. Sumber energi ramah lingkungan seringkali gagal mencapai pasar gara-gara mahalnya ongkos produksi. Karena alasan itulah batubara masih menjadi penyumbang bahan baku terbesar energi listrik nasional hingga sekarang.

Maka dari itu, energi alternatif yang perlu didorong dan dikembangkan harus berasal dari komoditas yang pasokannya melimpah dan punya daya saing. Agar ongkos produksinya bisa menandingi energi konvensional. Di antara beragam energi alternatif, ada tiga sumber energi yang keberadaannya patut dicermati, yakni biodiesel, lampu tenaga surya, dan kulit cokelat.

Nah, faktor apa yang menyebabkan ketiga sumber energi itu mampu menjadi tulang punggung EBT nasional pada masa depan? Sabar. Tarik napas dalam-dalam. Jangan lupa sediakan kopi dan camilan. Jika sudah, ayo kita ulas satu per satu.



Pemanfaatan biodiesel sebagai sumber energi bersih dan ramah lingkungan sebenarnya sudah dilakukan sejak dua belas tahun silam. Kala itu, kadar biodiesel baru mencapai 2,5 persen. Artinya, setiap 100 liter biodiesel terdiri atas campuran 2,5 liter bahan bakar nabati atau energi terbarukan dan 97,5 liter bahan bakar solar. Seiring perkembangan teknologi, kandungan bahan bakar nabati terus ditingkatkan.

Keseriusan kita dalam mengembangkan biodiesel baru terlihat sejak 2016. Pada tahun itu, program mandatori B20 (biodiesel dengan kadar campuran bahan bakar nabati sebesar 20%) mulai digalakkan. Sesuai namanya, mandatori merupakan kewajiban atau keharusan. Dengan kata lain, sektor tertentu seperti usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum wajib menggunakan bahan bakar ramah lingkungan ini.

Upaya kita tidak berhenti sampai di situ. Pada 2020, program biodiesel terus ditingkatkan menjadi B30. Itu berarti, kadar energi terbarukan dalam tiap tetes solar semakin tinggi. Secara bertahap, kadar nabati dalam solar akan terus dinaikkan hingga berada di titik maksimal, yakni B100. Jika itu terlaksana, maka 100 persen kandungan solar bukan lagi berasal dari minyak bumi melainkan energi terbarukan.

Asa menciptakan B100 pada masa depan memang bukan sekadar impian. Sebab kandungan nabati dari biodiesel sejatinya berasal dari ekstraksi minyak kelapa sawit bernama bioetanol. Di sinilah kita patut bersyukur. Karena Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi minyak kelapa sawit nasional pada 2019 mencapai 51,8 juta ton, atau meningkat sekitar 9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 16,7 juta ton dimanfaatkan untuk kepentingan domestik. Yang melegakan, setengah dari permintaan minyak kelapa sawit domestik diserap oleh program biodiesel.


  

Sederet catatan di atas tentu membanggakan. Akan tetapi, bukan berarti program biodiesel bebas hambatan. Tantangan terbesar, seperti yang dikemukakan di awal, ialah menekan harga jual biodiesel agar, paling tidak, setara dengan bahan bakar konvensional.

Untuk saat ini, selisih ongkos produksi biodiesel disubsidi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Konsep pengelolaannya pun sangat baik, karena menjunjung tinggi semboyan “dari kita untuk kita”. Perusahaan sawit berorientasi ekspor dipungut iuran sejumlah tertentu. Dana iuran itu digunakan untuk menambal selisih ongkos produksi biodiesel, agar harga jual biodiesel di pasaran bisa bersaing dengan bahan bakar minyak (BBM).

Kita pun berharap banyak pada perkembangan teknologi. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya konsumsi biodiesel dalam negeri, teknologi produksi pun akan terus berkembang. Ongkos produksi biodiesel pun suatu saat akan lebih murah daripada biaya produksi bahan bakar konvensional.

Yang jelas, peran kita sebagai warga negara yang baik adalah mendukung program yang telah dicanangkan pemerintah ini. Secara bertahap, gantilah bahan bakar mesin dan kendaraan kita dengan biodiesel. Selain ramah lingkungan, kita juga berperan serta dalam membantu bangsa menekan defisit neraca perdagangan dan mengurangi impor BBM. Keren, kan?




Selain biodiesel, tenaga surya juga menjadi sumber alternatif EBT yang potensial. Apalagi, sumber energi yang satu ini tidak akan habis dimakan zaman. Selama ada sinar matahari, selama itu pula energi bisa dihasilkan.

Saat ini, teknologi yang mengubah radiasi sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung sudah tersedia. Namanya solar panel atau photovoltaic. Di Indonesia, teknologi solar panel sudah banyak digunakan untuk Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS) dan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE).

Yang menarik, penggunaan tenaga surya sebagai sumber energi listrik alternatif pengganti batubara terus meningkat. Apa sebab? Sama seperti biodiesel, keseriusan pemerintah dalam mendorong penggunaan energi terbarukan memang memegang peranan yang begitu besar.

Kementerian ESDM, melalui Permen ESDM No.12/2008, telah meneguhkan penggunaan tenaga surya sebagai sumber penerangan jalan. Dampaknya, pembangunan infrastruktur penerangan jalan berbasis tenaga surya pun terus meningkat. Selama 2016—2019, sudah ada 46.613 unit PJU-TS yang dibangun.

Lampu tenaga surya itu telah menerangi 2.300 km jalan di 258 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, target pembangunan PJU-TS kembali dinaikkan. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 45.000 unit dalam setahun, atau hampir setara dengan torehan pembangunan selama 4 tahun terakhir.


  

Bukan hanya jalan raya saja yang mendapat sentuhan tenaga surya. Lampu tenaga surya juga sudah menerangi puluhan ribu desa yang tersebar di 22 provinsi berkat program bantuan LTSHE. Sepanjang 2017—2019, ada 363.220 unit LTSHE dibagikan secara cuma-cuma kepada desa yang belum menikmati listrik sama sekali.

Dari keseluruhan daerah, Nusa Tenggara Barat dan Papua menjadi dua provinsi dengan jatah pembagian LTSHE terbesar. Secara berturut-turut, jumlah LTSHE yang diterima oleh kedua provinsi di Kawasan Timur Indonesia itu mencapai 21.558 unit dan 13.252 unit.

Selain sebagai upaya mengurangi peran batubara yang saat ini menjadi sumber energi listrik terbesar nasional, program bantuan LTSHE juga menjadi ejawantah sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan bantuan LTSHE, saudara kita yang berada di area terdepan, tertinggal, dan terluar (3T) bisa mendapat penerangan yang sama dengan kita yang berada di daerah jangkauan aliran listrik.

Kita paham bahwa penerangan merupakan salah satu prasyarat mutlak dalam mencapai kesejahteraan. Melalui penerangan yang baik, kegiatan belajar-mengajar dan ekonomi kerakyatan bisa tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penerangan adalah sumber harapan bangsa.

Ke depan, pemanfaatan tenaga surya tidak berhenti sebagai sumber penerangan saja. Pada Februari lalu, PT Indonesia Power, anak perusahaan PT PLN, sudah menggunakan teknologi solar panel di atap gedung kantor dan unit bisnis pembangkitnya di Bali, untuk menghasilkan energi listrik yang ramah lingkungan.

Dengan demikian, bukan mustahil bila teknologi solar panel nantinya akan digunakan secara masif di gedung perkantoran di daerah perkotaan. Atau bahkan di rumah-rumah sebagai alternatif pengganti listrik. Jika itu terjadi, harapan menurunkan emisi karbon dan membangun manusia Indonesia yang peduli akan kelestarian lingkungan pasti bakal terwujud.


 
Jika biodiesel dan tenaga surya sudah tidak asing kita dengar, maka yang satu ini pasti belum banyak diketahui orang. Ya, tidak banyak yang mengira kulit cokelat bisa digunakan sebagai sumber alternatif energi terbarukan. Dan yang paling membanggakan, temuan mengenai potensi kulit cokelat sejatinya datang dari ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Dieni Mansur.

Pada 2014, Dieni mempublikasikan jurnal bertajuk Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals. Dalam kajiannya, ia membuktikan kulit cokelat bisa menghasilkan minyak nabati, bernama pyrolysis oil, yang dapat digunakan sebagai sumber energi listrik.

Pyrolysis oil selama ini memang dikenal punya beragam manfaat. Di bidang kesehatan, minyak nabati ini dimanfaatkan sebagai bahan baku antiseptik dan cairan pembersih luka. Dalam bidang pangan, pyrolysis oil lazim digunakan sebagai cairan pembuat cuka.

Khusus di bidang energi, belum banyak yang memanfaatkan pyrolysis oil. Padahal, menurut Dr. Dieni, potensinya sangat besar. Kulit cokelat—bahan baku pyrolysis oil—berasal dari residu atau limbah kebun cokelat. Cokelat yang biasa kita konsumsi berasal dari biji cokelat. Sedangkan kulitnya biasanya dibuang petani dan menjadi limbah. Itu artinya, memanfaatkan kulit cokelat sama dengan melestarikan lingkungan.

Dengan demikian, tinggal satu pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah biaya produksi pyrolysis oil dari kulit cokelat bisa menandingi ongkos produksi batubara? Untuk menjawab pertanyaan itu, dua tahun lalu saya bertemu Dr. Dieni secara langsung. Kebetulan, saya bekerja sebagai analis ekonomi yang terbiasa menghitung ongkos produksi.


  

Setelah kami kalkulasi, hasilnya cukup mencengangkan. Ongkos produksi pyrolysis oil lebih hemat sekitar 20—30 persen ketimbang batubara. Selain itu, tingkat kalori yang dihasilkan pyrolysis oil lebih tinggi daripada batubara. Tingkat kalori batubara yang lazim digunakan PLN hanya berkisar 4.400 kcal. Sedangkan pyrolysis oil mampu menghasilkan energi setara 5.200 kcal. Hebat, kan?

Untuk urusan pasokan, kita tidak perlu khawatir. Indonesia adalah negara penghasil cokelat terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Kementerian Pertanian mencatat produksi cokelat nasional pada 2019 mencapai 783,97 ribu ton, meningkat 2,18 persen dibanding tahun sebelumnya. Itu semua bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil pyrolysis oil.

Apa yang ditemukan Dr. Dieni memberi banyak harapan sekaligus—sekali lagi—membuktikan bahwa Indonesia kaya akan sumber energi bersih dan terbarukan. Ke depan, apabila temuan Dr. Dieni bisa diekskalasi ke tingkat produksi masal, tentu akan meningkatkan capaian EBT dalam bauran energi nasional.




Dari ulasan tiga sumber energi terbarukan di atas, tentu kita berharap banyak. Bahkan, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa semestinya kita menitipkan masa depan bangsa pada energi terbarukan. Karena Indonesia, nyatanya memang punya kekayaan alam melimpah, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.

Tinggal bagaimana kita yang hidup pada zaman sekarang menentukan langkah ke depan. Sudahkan kita berperan serta dalam proses penciptaan dan pemanfaatan energi terbarukan? Ingat, apa yang kita kerjakan saat ini pasti punya dampak bagi generasi mendatang. Jadi, ayo gunakan energi terbarukan untuk masa depan yang lebih gemilang. [Adhi]

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Jurnalistik 2020 bertema Energi untuk Indonesia kategori blogger yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.



Daftar Referensi

1. Gopal, D, dan Reddy, R.T. 2015. Exploitation of Conventional Energy Resources—Impacts on Environment—A Legal Strategy for Sustainable Development. 4th International Conference on Informatics, Environment, Energy and Applications Volume 82 of IPCBEE.

2. Kuo, Gioietta. 2019. When Fossil Fuels Run Out, What Then? [daring, https://mahb.stanford.edu/library-item/fossil-fuels-run/, diakses pada 29 Agustus 2020].

3. Kementerian ESDM. 2020. Capaian Kinerja 2019 dan Program 2020. Jakarta: Kementerian ESDM.

4. Yolanda, F. 2020. Produksi Sawit 2019 Capai 51,8 Juta Ton [daring, https://republika.co.id/berita/q54sje370/produksi-sawit-2019-capai-518-juta-ton, diakses pada 29 Agustus 2020].

5. Mansur D. dkk. 2014. Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals.

6. Kementerian Pertanian. 2020. Produksi Kakao Menurut Provinsi di Indonesia 2016—2020. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Senyum Ceria di Balik Ikhtiar Sejuta Griya



Raut wajah Tomi tampak berseri. Setelah lama menanti, impiannya punya rumah pertama bakal segera terpenuhi. Berkat program rumah bersubsidi, akhirnya ia memiliki tempat berlindung dari deras hujan dan terik matahari usai menikah nanti.

*** 

Hunian adalah impian setiap insan. Siapa pun pasti bermimpi punya rumah sendiri. Alasannya bermacam-macam. Ada yang mempersiapkan tempat tinggal untuk berumah tangga nanti, ada pula yang berinvestasi supaya hartanya tak tergerus inflasi. Yang jelas, sejak dulu papan memang menjadi salah satu kebutuhan utama manusia selain sandang dan pangan.

Hanya saja, sebagian orang masih merasa kesulitan mewujudkan mimpinya. Selain harganya relatif mahal, dibutuhkan kesabaran dan kegigihan menabung untuk bisa membeli rumah. Inilah mengapa, sebagian kalangan milenial atau pekerja anyar sering mengeluh kesulitan ketika ditanya kapan punya rumah sendiri. Padahal, penghasilan pas-pasan semestinya tidak menjadi halangan dalam meraih rumah impian.

Kalau tak percaya, tengok saja kisah Tomi. Pemuda asal Medan ini bekerja sebagai seorang satuan pengamanan (satpam). Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Boro-boro nongkrong tiap akhir pekan, ia harus membiayai keperluan hidup kedua orangtuanya setiap bulan. Kalaulah ada sisa uang, pasti ia tabung untuk modal membeli hunian.

Tomi memang berasal dari keluarga sederhana. Orangtuanya menggantungkan rezeki dari berjualan nasi padang pinggir jalan di bilangan Medan Johor. Ukurannya juga tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk sekitar 20 pelanggan saja. Apalagi, tahun ini adalah periode yang sulit bagi keluarga Tomi. Sama seperti kebanyakan bisnis kuliner lainnya, usaha yang dilakoni orangtua Tomi juga terdampak badai Korona.

Omzetnya menurun gara-gara minimnya aktivitas warga di luar rumah. Tak seperti hari-hari sebelumnya, pelanggan Nasi Padang Uni Lis—sebutan rumah makan milik orangtua Tomi—lebih memilih memasak di rumah ketimbang santap di tempat. Alhasil, kini rumah makannya tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan itulah, Tomi menjadi tulang punggung keluarga bersama kedua orang kakaknya.

Meski tantangan menghadang, Tomi tak pernah menyerah. Situasi sulit tidak membuatnya putus asa. Tomi tetap giat bekerja sembari berbakti kepada kedua orangtua. Tidak lupa, ia juga selalu menyisihkan sisa uang bulanan untuk menggapai mimpinya. Tak seperti kebanyakan milenial seusianya, dirinya memang punya visi jauh ke depan.

Sejak pertama bekerja dua tahun silam, ia sudah bercita-cita punya rumah sendiri. Padahal, usianya kala itu baru 24 tahun. Tatkala kawan sebayanya masih disibukkan dengan bermain gim online atau berburu kopi kekinian, ia malah rela mengencangkan ikat pinggang. Alasannya satu: supaya ketika menikah nanti tidak lagi numpang di rumah ortu.

 

Pernah suatu ketika, Tomi diajak kawannya bertamasya ke Berastagi. Kata kawannya, sekadar cuci mata sekaligus mempererat tali silaturahmi. Namun Tomi sadar, segala aktivitas di luar rumah berpotensi menimbulkan biaya tak terduga. Ia tidak ingin impiannya tertunda hanya karena alasan tenggang rasa. Tawaran kawan ditampiknya dengan sopan.

Akan tetapi, bukan rasa kepedulian yang ia dapatkan melainkan seloroh ejekan. “Sombong betul kau, Tom. Sudahlah, sadar diri saja. Kau tak akan sanggup membeli rumah dengan gaji satpam-mu,” ejek kawannya.

Meski kerap dicemooh, Tomi tetap bergeming. Keputusannya memiliki hunian sudah dipatok bulat-bulat. Ia tolak mentah-mentah ajakan kawannya dengan alasan ingin hidup hemat. Supaya pundi-pundi tabungannya tidak terbuang sia-sia hanya karena melakukan sesuatu yang tiada berguna dan tidak jelas hasilnya.

Lebih baik mengelus dada dan bersabar ketimbang mengubur impian yang sudah lama ia pendam. Skala prioritas sudah disusun dengan jelas. Ia mesti menunda kesenangan demi mewujudkan impian, sekalipun harus menolak ajakan bersenang-senang dari seorang kawan.

Lagi pula, tugasnya sebagai satpam membutuhkan fisik yang prima. Tidak jarang ia harus begadang karena kebagian jaga malam. Ia tidak ingin tanggung jawabnya jadi terbengkalai gara-gara tidak enak badan andai mengiyakan ajakan temannya. Ia juga tidak ingin dipecat gara-gara, misalnya, ketiduran saat bertugas. Saat lepas tugas, lebih baik beristirahat di rumah daripada susah beli rumah.

 

Setiap kegigihan dan kesabaran pasti membuahkan hasil yang menggembirakan. Betul saja, perjuangan Tomi tidak sia-sia. Setelah dua tahun lebih menanti, kini tabungannya cukup untuk membayar uang muka. Usai mencari ke sana kemari, akhirnya pilihannya jatuh kepada sepetak rumah bertipe 36 di perumahan Griya Permata Indah IV, Sunggal, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Griya Permata Indah IV merupakan salah satu permukiman bersubsidi. Dibangun oleh pengembang lokal, bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pembiayaannya disokong dari sejumlah bank pendukung. Target pasarnya jelas, yakni masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan per bulan di bawah Rp8 juta.

Tomi terlihat semringah ketika menunjukkan buah kesabarannya kepada saya. Rumah mungil bercat kuning itu tampak berdiri kokoh. Letaknya tepat di sudut kompleks, membuat Tomi punya sejengkal lahan tambahan dibanding penghuni lainnya. Ketika sudah ditempati nanti, ia berencana menjadikan lahan kecil itu sebagai media bercocok tanam. Supaya terasa lebih asri dan hijau, begitu kata Tomi.

Rumah seharga Rp132 juta itu memang belum ditempati Tomi. Ia baru melunasi uang muka sebesar Rp7 juta dan menandatangani akad pembiayaan pada Februari lalu. Pihak bank dan pengembang menjanjikan serah terima kunci pada September mendatang. Ketika sudah dihuni nanti, Tomi mesti membayar angsuran sebesar Rp1,05 juta per bulan selama sepuluh tahun ke depan.

 

Kalau tidak ada aral melintang, Tomi akan pindah bulan depan. Sekarang, ia tengah mempersiapkan kepindahannya. Barang-barangnya yang kini berada di rumah orangtuanya sudah dikemasi dengan rapi. Sebagian baju-bajunya juga sudah dimasukkan ke dalam tas. Pokoknya, siap angkut pada saatnya nanti.

Yang jelas, Tomi sangat bersyukur menjadi salah satu penerima manfaat program rumah bersubsidi. Meski berpenghasilan pas-pasan, impiannya punya rumah sendiri jadi bisa terpenuhi. Dengan begitu, calon istri dan anaknya bisa terlindungi dari deras hujan dan terik matahari ketika mengarungi kehidupan berumah tangga nanti.


Sejuta Griya bagi Warga Indonesia

Senyum Tomi kepada saya seakan merepresentasikan kebahagiaan yang dirasakan jutaan warga Indonesia lainnya. Program kepemilikan rumah bersubsidi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak 2015 nyatanya memang menjadi sarana pewujud mimpi warga pra-sejahtera untuk memiliki rumah pertama. Melalui program itu, warga yang berpenghasilan pas-pasan bisa memiliki rumah dengan harga dan angsuran yang terjangkau.

Dalam mewujudkan mimpi warganya, pemerintah pusat tidak berjalan seorang diri. Kementerian PUPR menerapkan pola kerja sama dengan berbagai pihak. Selain dibangun oleh Kementerian PUPR sendiri, pembangunan rumah bersubsidi juga dilakoni oleh pemerintah daerah, pengembang lokal, maupun perusahaan swasta lewat dana tanggung jawab sosial. Untuk urusan pendanaan, sejumlah bank—baik BUMN maupun swasta—juga ikut andil.

 

Cita-cita pemerintah menyediakan rumah murah bagi warganya tergambar jelas dari semboyan yang diusung: Program Sejuta Rumah. Targetnya pun jelas. Selama program digelar, minimal ada sejuta hunian dengan harga terjangkau yang tuntas dibangun. Berkat kerja sama erat antar-pihak, sejak 2014 hingga 2019 sebanyak 4.800.170 unit rumah dilaporkan sudah berdiri dan dihuni.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar memang dikhususkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada 2019 saja, sebanyak 1.257.852 unit rumah berhasil dibangun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 945.161 unit diperuntukkan bagi MBR. Sedangkan sisanya sebanyak 312.691 unit diperuntukkan bagi non-MBR. Dengan demikian, warga berpenghasilan rendah maupun generasi milenial yang baru bekerja bisa merasakan nikmatnya memiliki rumah sendiri.

Meski target terlampaui, pemerintah tetap melanjutkan program kepemilikan rumah. Tujuannya untuk mengatasi permasalahan kekurangan suplai rumah atau backlog bagi segenap warganya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024, pemerintah telah menetapkan target pembangunan rumah rakyat sebanyak 5 juta unit.

 

Untuk mencapainya, sejumlah program baru pun disiapkan. Yang terkini, ada Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diketok palu pada 20 Mei 2020 lalu, setiap pekerja diwajibkan menabung agar kelak bisa punya rumah sendiri. Melalui program ini, sebanyak 500 ribu unit rumah dicita-citakan rampung dibangun hingga 2024 nanti.

Tidak hanya pegawai instansi pemerintah atau kenegaraan saja, pekerja swasta pun diwajibkan menjadi peserta Tapera. Asalkan, pendapatannya paling tidak setara dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Jadi, bukan hanya aparatur sipil negara, prajurit TNI, anggota kepolisian, atau pegawai BUMD saja yang diberi kemudahan memiliki rumah sendiri. Pegawai swasta maupun generasi milenial yang baru bekerja juga bisa menikmati fasilitas ini.

Besaran iuran Tapera pun sudah ditata agar tidak memberatkan pekerja. Hanya 3 persen dari penghasilan setiap bulan saja. Dari jumlah tersebut, sebesar 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Barulah sisa sebesar 2,5 persen ditanggung secara mandiri oleh pekerja.

 

Yang jelas, semangat menabung warga memang perlu dipupuk kembali. Apalagi, hasil Tapera memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer warga Indonesia. Dengan kewajiban menabung, para pekerja mau tidak mau harus menyisihkan pendapatan demi menggapai impian: memiliki rumah idaman. Sebab kalau tidak dipaksa dan dibiasakan, mustahil asa punya rumah pertama bakal terlaksana.

Semangat Tapera sejatinya persis dengan kisah Tomi di atas. Untuk menggapai mimpi memiliki rumah pertama, kita harus rela menyisihkan sebagian pendapatan. Kita harus ikhlas menunda kesenangan demi meraih griya idaman. Ini yang patut disadari oleh siapa pun yang bercita-cita memiliki hunian.

Apalagi, dukungan Program Sejuta Rumah dari pemerintah terbukti berhasil sejauh ini. Dengan harga rumah dan cicilan yang tidak menguras kantong, kalangan berpenghasilan rendah bisa memperoleh tempat tinggal yang layak dan bermartabat. Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi bangsa akan berputar dan taraf hidup warga akan meningkat. Dengan begitu, kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila, pasti akan tercipta. [Adhi]

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR dalam rangka memperingati Hari Perumahan Nasional 2020. Pengambilan foto, gambar, dan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Bermodal Kreativitas, Jengkol Sumedang Bisa Naik Kelas

keripik jengkol kekinian

Bagi banyak orang, jengkol sering dianggap produk kampungan. Hanya saja, Imas Mintarsih (25) tidak seperti kebanyakan orang. Lewat tangan dingin dan ide kreatifnya, gadis asal Sumedang itu berhasil menyulap jengkol menjadi keripik kekinian. Setelah berulang kali menepis cibiran, kini ia bisa bertolak pinggang lantaran omzetnya telah menembus angka Rp30 juta dalam sebulan. 

*** 

Jengkol ibarat kotak pandora pangan Indonesia. Banyak yang menghujat, tetapi tidak sedikit pula yang memuja. Barisan penghujat menjadikan bau tak sedap sebagai alasan mengapa jengkol bukanlah sumber pangan yang baik untuk dikonsumsi. Sementara penggemarnya berdalih, jengkol tetap nikmat disantap apabila diolah dan diracik dengan cara yang tepat. 

Apa pun alasannya, faktanya jengkol tetaplah menjadi hidangan kelas dua bagi masyarakat Indonesia. Tidak ada restoran bintang lima yang berani menyajikan buah berbau menyengat ini sebagai menu utama. Peminatnya paling-paling mereka yang hobi makan di warteg atau rumah makan kaki lima. Mustahil rasanya memesan semangkuk semur jengkol saat santap malam di hotel bintang lima.

jengkol dihujat dan dipuja

Akan tetapi, fakta tersebut tidak menyurutkan langkah Imas untuk berjualan jengkol. Ia menggantungkan sumber rezeki dan penghasilannya dari sepetak kebun jengkol milik almarhum ayahnya di Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat. 

Sebagai seorang anak, awalnya Imas hanya ingin bantu-bantu orangtuanya saja. Maklum saja, kedua orangtuanya memang berprofesi sebagai petani jengkol. Penghasilannya pun tidak seberapa, lantaran jengkol bukanlah sajian yang disukai banyak orang. 

Harga jual jengkol mentah selalu kalah dibanding bawang putih, bawang merah, atau kacang panjang. Kalaupun naik, paling-paling disebabkan faktor musiman seperti jelang Lebaran. Sudah begitu, pohon jengkol tidak bisa berbuah sepanjang tahun. Musim panen jengkol hanya berkisar antara dua hingga tiga kali dalam setahun. 

Itulah sebabnya, banyak petani jengkol yang hidup pas-pasan, termasuk orangtua Imas. Lahan jengkol seringkali dianggap kurang menguntungkan. Untuk menambah pendapatan, menanam komoditas lain seperti kentang, buncis, dan kangkung; mafhum dilakukan oleh banyak petani jengkol di Sumedang.

keripik jengkol Sumedang

Akan tetapi, Imas tidak pernah menyerah. Ia percaya bahwa dengan metode pengolahan yang tepat, jengkol juga bisa disulap menjadi produk bernilai tambah. Ia pun mencoba peruntungan dengan mengolah jengkol menjadi keripik. Dibantu Sang Ibu, mereka kemudian bahu-membahu membuat olahan keripik jengkol. 

Seperti bisnis rintisan pada umumnya, Imas mesti berjuang keras memasarkan produknya. Kala itu ia masih duduk di bangku SMA. Tanpa rasa malu dan ragu, keripik jengkol buatannya ia coba pasarkan kepada teman-teman sekolahnya. Hanya saja, bukan penjualan yang ia dapatkan, melainkan segudang ejekan. 

Teman-temannya mengatakan keripik jengkol buatan Imas kampungan. Tidak cocok disantap sebagai camilan kalangan milenial. Berulang kali Imas promosikan, berulang kali pula ia mendapat cibiran. Sayang seribu sayang, nasib “orang kecil” tidak memberikan ia banyak kebebasan. Lantaran mesti membayar iuran sekolah, ia tetap berjualan meski seringkali pulang tanpa cuan

Bak pebisnis berpengalaman, semangat Imas tidak pernah pupus di tengah jalan. Ratusan cibiran ia jadikan masukan bagi pengembangan usahanya. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa faktor utama yang bisa melesatkan usahanya adalah kreativitas. 


Dari Kampungan Menjadi Kekinian 

Gerah dibilang kampungan, Imas mengganti jenis dan desain kemasan agar tampilan produknya lebih sedap dipandang dan punya nilai jual. Dari semula menggunakan plastik transparan murahan, ia mengganti kemasannya dengan alumunium foil berperekat yang bisa dibuka-tutup. Selain lebih kekinian, keripik jengkolnya jadi tidak gampang melempem dan tahan lebih lama. 

Sedikit demi sedikit keripik jengkol Imas mulai dikenal banyak orang. Pemasarannya tidak lagi dilakukan dari mulut ke mulut, tetapi mulai menyasar warung-warung kecil di sekitar tempat tinggalnya. Ia pun menambahkan berbagai varian rasa ke dalam keripik jengkolnya. Mulai dari original, pedas, hingga sapi panggang.

Jengkol Oyoh Sumedang

Tak ingin area pemasarannya terbatas di Desa Pamulihan, pada 2014 Imas mendaftarkan produk keripik jengkolnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Ia beri nama Jengkol Oyoh, terinspirasi dari nama Sang Ibu, Yoyoh. Ia pun sukses mengantongi sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), sebuah izin yang wajib dimiliki produsen pangan berskala rumah tangga. 

Walau bermodal pas-pasan, Imas meyakini bahwa sertifikasi adalah modal dasar untuk memperoleh kepercayaan konsumen. Sebagai produsen, Imas bisa lebih leluasa memperluas pasar. Pasalnya, pasar modern dan swalayan akan meminta izin PIRT sebelum memasarkan produk makanan atau minuman berskala rumah tangga. 

Tak puas sampai di sana, Imas nekat bergabung dengan komunitas bisnis lokal binaan Pemerintah Kabupaten Sumedang. Dengan begitu, ia bisa belajar banyak tentang pengelolaan usaha dari para ahlinya. Pada 2015 ia pun terdaftar sebagai mahasiswa Program Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) yang dibentuk oleh Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, kampusnya kala itu.

Ridwan Kamil jengkol

Usaha Imas akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Bisnisnya berkembang pesat karena mampu dikelola dengan baik. Laporan keuangannya selalu sehat, lantaran dikelola dengan sangat cermat. Sampai di sini, Imas mulai berani mengikuti kompetisi wirausaha untuk mencari tambahan modal. 

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Imas mendapat kabar dari salah seorang temannya bahwa kompetisi wirausaha bertajuk The Big Star Indonesia Season 2 yang diadakan oleh salah satu pasar daring (online marketplace) ternama akan segera dimulai. Tanpa pikir panjang, Imas langsung mendaftarkan bisnis keripik jengkolnya pada kompetisi yang diikuti oleh lebih dari 20 ribu peserta itu. 

Hasilnya tak disangka. Imas berhasil merebut juara ke-3 dan mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp200 juta. Selama mengikuti kompetisi, ia juga dimentori langsung oleh Daniel Mananta, mantan video jockey terkenal sekaligus pengusaha busana bermerek “Damn I Love Indonesia”. 

Pada saat karantina, Daniel banyak menyumbang ide untuk pengembangan bisnis keripik jengkol Imas. Salah satunya ialah desain kemasan yang lebih kekinian untuk menjangkau pasar kelas menengah-atas. Asal tahu saja, desain kemasan Jengkol Oyoh yang beredar saat ini adalah buah kolaborasi Imas dan Daniel.

Jengkol Oyoh juara

Seluruh uang hadiah kompetisi Imas gunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Kini, ia sanggup mempekerjakan dua orang karyawan tetap. Saat kebanjiran pesanan, ia pun tak segan-segan merekrut karyawan sementara sesuai dengan kebutuhan produksi. 

Berkembangnya usaha keripik jengkol Imas tidak hanya memberi berkah bagi diri dan keluarganya, tetapi juga petani jengkol di Sumedang. Demi mencapai target produksi, Imas membeli bahan baku dari para petani jengkol secara langsung di sekitar tempat tinggalnya. 

Imas pun tak segan membeli jengkol dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga jual petani kepada tengkulak. Hal tersebut semata-mata ia lakukan agar meningkatkan derajat ekonomi petani jengkol di Desa Pamulihan. Ia percaya, dengan berbuat baik kepada sesama, kebaikan pula yang akan kembali kepada diri dan keluarganya. 

Apa yang Imas yakini tampaknya benar. Penjualannya meningkat tajam. Jika dahulu maksimal 50 bungkus terjual dalam sebulan, kini ia sanggup menjual minimal 1.000 bungkus dalam tempo yang sama. Bahkan, kalau sedang ramai angka penjualannya bisa menembus 3.000 bungkus per bulan. Asal tahu saja, Jengkol Oyoh dibanderol dengan harga Rp15.000 per bungkus.

Keripik jengkol oyoh sumedang

Kesuksesan bisnis keripik jengkol Imas bukan semata-mata disebabkan peningkatan kapasitas produksi semata, tetapi juga strategi pemasaran yang tepat sasaran. Selain dipasarkan melalui sejumlah toko oleh-oleh di Sumedang dan Bandung, Jengkol Oyoh Imas jual pula secara online

Tak ketinggalan, media sosial pun turut ia gunakan sebagai sarana promosi demi mendongkrak penjualan. Hingga kini, ia pun masih rajin mengikuti bazar di berbagai acara berskala nasional. Supaya jengkol Sumedang bisa “meledak” dan dikenal oleh lebih banyak orang. 

Dengan strategi pemasaran tersebut, produk Imas mampu menembus pasar nasional. Belum lama ini, Jengkol Oyoh baru saja dipesan secara online oleh salah seorang pelanggannya di Biak, Papua. Dengan bermodal kreativitas, kini keripik jengkol Sumedang buatan Imas bisa naik kelas. 



Potensi Jengkol Sebagai Sumber Ekonomi Kreatif Sumedang 

Kisah keripik jengkol Imas, seperti yang dituturkan di atas, menggambarkan betapa besarnya potensi ekonomi kreatif di Sumedang bila dikembangkan dengan cara yang benar. Bukan hanya tahu dan kopi semata, Sumedang juga punya keripik jengkol kekinian yang jauh dari kata kampungan. 

Selain bernilai tambah, pengembangan ekonomi kreatif berbasis pangan akan meningkatkan daya saing petani lokal dan pengusaha mikro dan kecil. Usaha produktif berskala rumah tangga juga punya peran penting dalam mengentaskan kemiskinan. Sebab paling tidak, industri rumah tangga bakal menyerap banyak tenaga kerja, khususnya bagi mereka yang punya keterbatasan pendidikan. 

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengatakan, jumlah UMKM pada 2018 mencapai 64,19 juta unit, atau setara dengan 99,99 persen jumlah usaha yang ada di Indonesia. UMKM juga menyerap 120,59 juta tenaga kerja, atau setara dengan 97 persen tenaga kerja nasional. 

Sumbangsih UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional juga tidak main-main. Sekitar Rp5.721,14 triliun mampu dihasilkan UMKM, atau setara dengan 61,07 persen dari total PDB Indonesia. Dari Rp4.244,68 triliun total investasi di Indonesia, lebih dari setengahnya (60,42 persen) ditanam pada sektor UMKM.

UMKM dongkrak ekonomi

Data tersebut memberi gambaran yang sangat jelas kepada kita, bagaimana UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Bahkan, simulasi Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2019 menyatakan, jika omzet UMKM naik hingga 30 persen, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan terdongkrak hingga 7 persen. 

Di Sumedang, menurut data Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Sumedang, jumlah UMKM pada 2013 tercatat sebanyak 6.872 unit usaha. Peningkatan jumlah dan produktivitas UMKM, sudah tentu akan meningkatkan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumedang yang pada 2018 mencapai 5,83 persen. 

Hanya saja, mengembangkan UMKM tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dari sekian banyak tantangan, seperti akses pembiayaan, pemasaran, hingga pencatatan keuangan; problem terbesar UMKM di Indonesia—termasuk Sumedang—adalah kesulitan mengembangkan produk yang bernilai tambah. 

Jengkol, misalnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumedang menunjukkan, produksi jengkol di Sumedang terus menurun. Dari semula 688,80 ton pada 2017, turun sebanyak 11,76 persen menjadi 607,80 ton pada 2018. 

Padahal, Jawa Barat merupakan sentra produksi jengkol. Sebanyak 10.929 ton, atau setara dengan 18,63 persen produksi jengkol nasional berasal dari Jawa Barat. Sumedang sendiri punya kontribusi sebesar 5,56 persen terhadap produksi jengkol di Jawa Barat.

Potensi jengkol Sumedang

Menurunnya produksi jengkol di Sumedang sedikit banyak disebabkan oleh ketidakmampuan UMKM dalam menciptakan produk turunannya. Jengkol dianggap murahan lantaran masih sering disajikan begitu saja. Kalaupun diolah, paling-paling sebatas pelengkap kudapan atau lalapan saja. 

Selain Imas, belum banyak pengusaha di Sumedang yang pandai mengolah jengkol menjadi produk yang laris di pasaran. Apa yang Imas lakukan seharusnya bisa menjadi bukti dan landasan bahwa apabila diolah dengan kreativitas, jengkol Sumedang pun sanggup naik kelas. 

Apalagi, jengkol adalah salah satu produk pertanian yang punya potensi tinggi untuk dikembangkan. Dua tahun lalu Presiden Joko Widodo mengimbau petani sawit agar beralih menanam komoditas yang lebih menguntungkan, salah satunya jengkol. Selain biaya tanamnya murah, harga jual jengkol biasanya meningkat jelang Idul Fitri.

Jokowi imbau petani tanam jengkol

Selain itu, potensi ekspor jengkol pun masih terbuka luas. Badan Karantina Pertanian mengatakan, total ekspor jengkol pada 2017 mencapai 26,5 ton. Sejumlah negara seperti Hong Kong, Arab Saudi, Qatar, Belanda, Korea Selatan, dan Timor Leste, menjadi pelanggan setia dan turut merasakan kelezatan jengkol Indonesia. 

Ingat, data ekspor jengkol yang dimaksud paragraf di atas ialah jengkol mentah. Belum ada produk jengkol olahan—seperti keripik jengkol buatan Imas—yang berhasil menembus pasar dunia. 

Jadi, bisa dibayangkan apabila keripik jengkol Sumedang bisa diekspor. Nilai tambahnya sudah tentu akan meningkat berkali-kali lipat. Pundi-pundi devisa pun turut meningkat. Alhasil, masalah defisit neraca pembayaran—lantaran impor selalu lebih besar dari ekspor—yang menjadi persoalan utama perekonomian bangsa ini, sebagaimana sering diwanti-wanti oleh Presiden Jokowi, bisa segera terselesaikan. 

Namun sebelum terlampau jauh menuju ke sana, marilah kita bersama-sama dukung produk ekonomi kreatif Sumedang agar berjaya di negeri sendiri. Salah satu caranya dengan membeli keripik jengkol buatan Imas. Tidak perlu jauh-jauh ke Sumedang, Jengkol Oyoh sudah bisa dipesan lewat ponsel pintar. 

Sebab kalau tidak dimulai dari kita sendiri, lantas mau bergantung kepada siapa lagi? [Adhi]

keripik jengkol kekinian jengkol oyoh sumedang

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Nasional: Writingthon Jelajahi Sumedang. Gambar bersumber dari koleksi pribadi penulis, akun Instagram @oyohjengkol, pngimage.net, dan Nuansa Pos. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis. 



Referensi: 

[1] BPS Kabupaten Sumedang. 2019. Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2019. BPS Kabupaten Sumedang. Sumedang. 

[2] Fauzia, Mutia. 2018. The Big Start Indonesia: Mimpi Imas yang Ingin Keripik Jengkol Olahannya Naik Kelas [daring], (https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/22/160806726/the-big-start-indonesia-mimpi-imas-yang-ingin-keripik-jengkol-olahannya-naik?page=all, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[3] Kementerian Koperasi dan UMKM. 2019. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2017—2018 [daring], (http://www.depkop.go.id/data-umkm, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[4] Mulyani. 2018. Presiden Jokowi Sarankan Petani Tanam Jengkol, Ini Faktanya [daring], (https://economy.okezone.com/read/2018/12/23/320/1995151/presiden-jokowi-sarankan-petani-tanam-jengkol-ini-faktanya, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[5] Prayogo, Cahyo. 2019. Dulu Sering Diledek, Kini Pengusaha Jengkol Ini Beromzet Rp30 Juta [daring], (https://republika.co.id/berita/pupmtg/dulu-sering-diledek-kini-pengusaha-jengkol-ini-beromzet-rp30-juta, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[6] Rentjoko, Antyo. 2016. Jateng Tanah Petai, Jabar Tanah Jengkol [daring], (https://lokadata.id/artikel/jateng-tanah-petai-jabar-tanah-jengkol, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[7] Syafina, Dea Chadiza. 2019. Saat Jokowi Cari "Lawan" Sawit dengan Jengkol Hingga Petai [daring], (https://tirto.id/saat-jokowi-cari-lawan-sawit-dengan-jengkol-hingga-petai-dcQt, diakses tanggal 9 Februari 2020).