Beranda

Navigation Menu

featured Slider

Featured Posts!

Random Post

Telaga Cinta di Mata Nabi


Telaga Cinta di Mata Nabi

Di padang derita, lelaki itu membaringkan cinta
Kau kenal lelaki itu, kita tahu lelaki itu
Yang Tepercaya, begitu mereka menyapa sosoknya
Hanya karena beda prasangka lantas kau tega bentangkan batu di udara?
Menghujam, menukik, menghempas raga

Bukankah dia anakmu jua?
Anak yang kaususui dari rahim bangsamu
Tidakkah kau ingat cahaya putih yang ditebarnya kala itu?
Saat kau berteriak lapar, keberadaannya mengundang kasih Tuhan
Menghadirkan limpahan susu dari hamparan ternak sekarat

Bermandi cahaya matahari, dia bernaung di bawah teduh pohon
Daun-daun menangis, menatap peluh-luka yang melekati tubuhnya
Dia berhenti, bersandar, mengatur ulang napasnya
Tiba-tiba gelegar guntur membelah langit
Jibril turun ke bumi, membawa gunung di genggam jemari

“Biar kubalas mereka, wahai Kekasih Allah!”
Lelaki itu menggeleng, menolak dendam
Berhias darah di wajah, serumpun senyum tumbuh merekah
Senyum cinta kepada mereka yang tega menyakiti
Senyum laksana embun pagi, menandai kebersihan hati

Lelaki itu mengadahkan tangan, memohon ampunan
Meminta hidayah kepada Sang Pemberi Berkah
“Sungguh, mereka tidak tahu,” katamu
Di balik sujud, aku menangis mengingat teladanmu
Seraya menahan rindu, akankah kita berjumpa di telaga itu?

***

Makna Puisi:

Ketika Nabi Muhammad berdakwah ke Thaif, Beliau dilempari batu oleh penduduknya. Padahal, Thaif adalah tempat Nabi disusui saat kecil dulu.

Melihat Sang Kekasih Allah dilukai, Jibril AS tidak tinggal diam. Pemimpin para malaikat itu menawarkan tenaganya kepada Nabi untuk membalas kezaliman penduduk Thaif. Tetapi Sang Teladan malah menolak, seraya berdoa:

“Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Itulah bukti cinta Nabi kepada umatnya. Sudahkah kita berselawat kepadanya?

Pelangi di Sudut Kala



Di balik bumantara, hujan turun menanak luka
Memanggul pilu, memeram duka
Bersenyum paksa, bersolek durja
Bertanyalah kami kepada Sang Pelipur Lara
Kapankah pelangi itu tiba?

Tiba-tiba ia datang membawa senyuman
Merobek legam yang telah lama menodai awang
Merajut sukacita, menuai tawa
Mengudar warna dalam setiap tutur kata
Iya, kami bahagia

Pelangi itu tak ubahnya sosok ksatria
Ia selalu ada untuk membasuh luka
Ia selalu tegar dalam menepis bimbang
Ia selalu hadir demi memberi pasti
Dan ia selalu berenergi saat menaruh apresiasi

Maka ketika ia berkata, “Aku harus pergi”
Batin kami lantas menjerit, tiada daya memendam getir
Kata-katanya bagai terompet sangkakala yang siap menutup tirai bahagia
Untuk kali kedua, bertanyalah kami kepada Sang Pelipur Lara
Secepat itukah kala memisahkan kita?

Karena waktu kita berjumpa, lantaran waktu pula kita bersabda sampai jumpa
Namun kami percaya, waktu tiada diukur dari seberapa detik yang berganti
Tapi dari seberapa banyak cinta dan rindu yang bersemi
Oleh sebab itu, di sudut kala yang singkat ini
Izinkanlah kami berkata, “Pelangi itu telah memenuhi hati.”

***



Ada Senyum di Balik Charging Bull

Charging Bull
Ada Senyum di Balik Charging Bull


Gugur daun maple di tengah bulan Oktober menambah hawa dingin kota New York. Bagi penduduk negara tropis seperti kami, rasanya seperti mendaki bukit atau pegunungan.

Tapi bagi warga Negeri Paman Sam, musim gugur adalah saat yang tepat untuk berjalan-jalan. Jauh lebih dingin ketimbang musim panas, tetapi tidak sampai sebeku musim salju.

Kendati suhu bergeming di angka belasan derajat Celcius—bahkan terkadang lebih rendah lagi, kami bersyukur diberi kesempatan bertualang ke kota terpadat di Amerika Serikat (AS) ini.

Patung Liberty
Patung Liberty, salah satu ikon wisata Amerika Serikat.

Selain penuh hiburan, New York juga kaya akan tengaran (landmark). Mulai dari Patung Liberty, Jembatan Brooklyn, Times Square, hingga Central Park. Tapi di antara itu semua, ada satu tengaran yang menurut saya punya sejarah paling unik: Charging Bull di Wall Street, Manhattan.

Patung banteng seberat 3.200 kilogram itu berkali-kali muncul di layar lebar besutan Hollywood. Sebut saja The Big Short (2015), The Wolf of Wall Street (2013), The Sorcerer’s Apprentice (2010), atau Hitch (2005).

Berlokasi di pusat finansial, maskulinitas rupa patung banteng itu memang melambangkan agresivitas dan optimisme pasar keuangan AS.

Jika harus menyebut satu nama, adalah mendiang Arturo di Modica, seniman asal Italia, yang paling berjasa. Dari kedua tangannya-lah Charging Bull lahir ke dunia.

Bermula dari peristiwa Black Monday—kehancuran pasar saham AS pada 1987, Sang Seniman sengaja membuat patung banteng yang tengah berkuda-kuda demi memberi semangat dan membangkitkan lagi pasar keuangan Negara Adidaya itu.

Hingga satu malam pada 14 Desember 1989, Charging Bull diletakkan begitu saja di luar Gedung New York Stock Exchange. Jelas ini perkara ilegal. Seperti membuang sampah sembarangan.

Imbasnya, patung banteng setinggi 3,4 meter itu segera diambil dan diamankan oleh pihak berwajib pada hari yang sama.

Akan tetapi, warga New York punya keinginan berbeda. Mereka ingin Charging Bull tetap dipajang dan bisa dinikmati siapa saja.

Hingga akhirnya, tepat pada 20 Desember 1989, Charging Bull kembali diletakkan di kawasan Bowling Green dengan izin pajang sementara, yang terus-menerus diperpanjang hingga kini, lantaran menjadi salah satu pusat atraksi dan ikon pariwisata.


Pesan di Balik Charging Bull

Sejarah soal Charging Bull yang saya baca dari laman Wikipedia itu tepat menggambarkan kondisi ekonomi AS saat ini.

Demi menghindari stagflasi, Bank Sentral AS secara agresif mengambil kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga acuan. Pembalikan arus modal dari negara berkembang dan tekanan nilai tukar pun tidak bisa dihindari.

Dari apa yang saya lihat, tanda-tanda resesi ekonomi memang mulai terlihat. Ketimpangan mulai menganga. Para tunawisma kian banyak terlihat di tengah ingar-bingar dan hedonisme kehidupan kota New York.

Tapi anomali juga terjadi. Kendati harga barang dan jasa melambung tinggi, lowongan pekerjaan malah kian bersemi. Papan bertulis “We’re Hiring” tampak menghiasi toko-toko di sepanjang jalan.

Pemandu wisata kami bercerita, bantuan tunai Covid-19 yang diterima oleh warga AS malah berdampak kontraproduktif. Warga AS jadi enggan bekerja karena merasa biaya hidupnya sudah terpenuhi dari dana bantuan.

Pantas saja petugas imigrasi berulang kali menanyakan ihwal pekerjaan ketika kami tiba di Bandara JFK. Mereka khawatir, warga asing bervisa turis malah jadi pekerja ilegal di Negeri Paman Sam.

Central Park New York
Bergaya di antara daun maple yang tengah menguning di Centrak Park, New York.

Apa pun itu, yang jelas, daya tarik Charging Bull memang memikat hati banyak pelancong. Kendati ekonomi AS berulang kali naik-turun dengan segudang alasannya, setiap hari, ratusan kepala rela mengantre demi berfoto bersama karya seni yang terbuat dari perunggu itu.

Hari itu, saya salah satunya. Bingung berpose apa, saya pasang kuda-kuda dengan niat menandingi figur garang Sang Banteng.

Tapi apa daya, celetukan teman saat bergaya membuat saya kontan tertawa. Jadilah Yin dan Yang. Yang satu garang, yang satu lagi riang.

Berpose bersama Charging Bull

Dari foto bersama Sang Banteng yang telah saya pajang di laman akun Instagram itu, saya menarik satu kesimpulan.

Dalam hidup, semangat dan agresivitasmu saat bekerja harus melahirkan senyum bagi orang di sekitarmu. Jika tidak, apalah arti hidupmu? [Nodi]



--oo0oo--


Menara Air di Tubuh Bank Sentral



“Ada banyak sekali sumbangan yang bisa diberikan institusi penting ini kepada pembangunan institusi ekonomi Indonesia, yang jauh lebih penting daripada sekadar mengutak-atik instrumen moneter.” ~ halaman 15

Bank sentral tidak melulu soal teori moneter atau makroekonomi. Melalui buku ini, Darmin Nasution menawarkan sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan buku bank sentral lainnya. Buku ini berisi kepingan memoar Darmin selama 3 tahun 8 bulan memimpin Bank Indonesia.

Kepingan itu dirajut menjadi sebuah pesan sarat makna, yang tidak hanya ditujukan kepada pegawai bank sentral semata, tetapi juga kepada para pemimpin lembaga atau institusi mana pun di Indonesia. Pesan itu berbunyi, “Jadilah menara air.”

Analogi “menara air” itulah yang mengawali perjalanan buku setebal 272 halaman ini. Analogi itu timbul dari keresahan Darmin ketika masyarakat kerap mengasosiasikan Bank Indonesia sebagai “menara gading”. Indah dipandang, tetapi hanya ada di awang-awang. Menurut Darmin, semestinya kebijakan bank sentral serupa “menara air”, yang manfaatnya mampu dirasakan oleh masyarakat luas.

Teori dan model makroekonomi canggih yang digunakan Bank Indonesia kerap kali mandek saat berhadapan dengan realita persoalan di tataran mikro. Pegawai bank sentral terlalu yakin bahwa dengan menaik-turunkan suku bunga, maka kestabilan harga akan tercapai.

Padahal, sebelum mencapai sasaran akhir, ada banyak isu yang berpotensi menghambat efektivitas transmisi, seperti pasar keuangan yang dangkal dan struktur pasar yang oligopolistik. Menurut Darmin, itulah kausa mengapa kebijakan Bank Indonesia seperti “cantik di atas kertas, tetapi loyo di medan perang”.

Dalam pandangan Darmin, Bank Indonesia mesti berupaya membuka kebijakan ekonomi “ruang ketiga” bernama “perbaikan institusi ekonomi”. Ruang ketiga itu akan melengkapi dua kebijakan ekonomi konvensional terdahulu, yakni moneter dan fiskal, yang selama ini hanya berkutat pada area memperketat dan memperlonggar aktivitas ekonomi. Darmin yakin, perbaikan institusi ekonomi, termasuk di Bank Indonesia, dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia.

Apa yang Darmin katakan sebagai ruang ketiga benar-benar dipraktikkan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia. Yang paling menarik tersaji pada lembaran ke-112. Kepingan memoar itu ia beri tajuk “Di Balik Menyatunya ATM BCA dan Mandiri”. Pada bagian itu, Darmin bercerita soal kegelisahannya saat memimpin rapat yang dihadiri para pemimpin satuan kerja (satker) kantor pusat Bank Indonesia.

Darmin naik pitam tatkala peserta rapat tidak berhasil memberinya pemahaman yang utuh soal National Payment Gateway (NPG). Darmin merasa apa yang disajikan pemimpin satker hanya berkutat di tataran konseptual semata. Padahal, menurut pandangan Darmin, isu riil di lapangan soal interkoneksi sistem pembayaran kala itu adalah sesederhana ATM Bank Mandiri dan BCA tidak bisa digunakan untuk transfer dana satu sama lain.

Isu diskoneksi antara Bank Mandiri dan BCA memang sudah berlarut-larut. Sementara Bank Indonesia masih sibuk berkutat soal konsep NPG yang digadang-gadang bakal mengintegrasikan seluruh layanan sistem pembayaran.

Darmin berpendapat, Bank Indonesia jangan bermain di tataran konseptual saja, tetapi juga perlu bertindak cepat untuk atasi permasalahan mikro di antara kedua bank besar tadi. Sebab 65% dari keseluruhan nilai layanan ATM di Indonesia ada di tangan Bank Mandiri dan BCA.

Tanpa berpanjang lebar, hari itu juga Darmin meminta pucuk pimpinan Bank Mandiri dan BCA mendatanginya. Pertemuan trilateral langsung digelar. Darmin meminta agar Bank Mandiri dan BCA, bagaimanapun caranya, saling membuka diri dan membangun jembatan antara dua sistem ATM yang dimiliki. Di luar dugaan, tidak sampai 5 menit, kedua pemimpin bank itu langsung setuju.

Empat bulan berselang, hampir 20 juta pemilik simpanan di kedua bank papan atas nasional itu bergembira. Mulai Januari 2012, mereka sudah bisa memeriksa saldo, menarik uang tunai, dan transfer dana lintas jaringan ATM milik kedua bank itu. Sekat yang sudah membatu selama 14 tahun—jika ada niat, kemauan, dan tindakan nyata—ternyata bisa dirontokkan dalam waktu sekejap. Praktik itulah yang Darmin sebut sebagai kebijakan ekonomi ruang ketiga: perbaikan institusi ekonomi.

Kebijakan ekonomi ruang ketiga ala Darmin bukan hanya menyasar pada institusi lain, tetapi juga di internal Bank Indonesia. Kesimpulan itu bisa kita temui pada bab-bab selanjutnya. Pada era Darmin, banyak kebijakan Bank Indonesia yang lahir dari kemauan melihat realita, bukan sekadar mengutak-atik teori dan model ekonomi belaka. Uniknya, kebijakan-kebijakan itu bahkan masih relevan hingga sekarang.

Misalnya saja pada isu devisa hasil ekspor (DHE). Mula-mula, Darmin mewajibkan eksportir untuk melaporkan DHE kepada Bank Indonesia. Supaya Bank Indonesia bisa mengukur seberapa banyak DHE yang masuk ke bank dalam negeri. Hasilnya mencengangkan. Ternyata, eksportir kita lebih suka menempatkan dananya di bank di luar negeri. Inilah alasan mengapa ketersediaan valas di pasar menjadi terbatas dan akhirnya menekan stabilitas nilai tukar Rupiah.

Agar eksportir tertarik menempatkan valasnya di dalam negeri, setahun kemudian Darmin menggagas penerbitan instrumen baru bernama Term Deposit Valas. Instrumen ini hadir untuk memberikan alternatif penempatan valas jangka pendek yang optimal bagi eksportir. Pasar uang valas dalam negeri menjadi semakin dalam dan bergairah, tercermin dari tingkat suku bunga valas yang kompetitif—lebih tinggi dari suku bunga valas di luar negeri.

Selain DHE, dalam buku ini kita juga akan menemukan banyak kebijakan non-konvensional bank sentral yang lahir dari pemikiran membumi seorang Darmin. Di antaranya adalah kebijakan transparansi suku bunga kredit perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit yang terlampau tinggi. Ada pula kebijakan multi-lisensi perbankan untuk membedakan dan membatasi kegiatan usaha bank berdasarkan modal inti—yang kita kenal sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU).

Tidak berhenti sampai di sana, kebijakan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit Ratio (GWM-LDR) juga lahir di bawah kepemimpinan Darmin. Kebijakan yang bertujuan mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan itulah yang kemudian melandasi lahirnya kebijakan makroprudensial bernama Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang diterapkan hingga sekarang.

Di tataran Kantor Perwakilan Dalam Negeri, Darmin juga menanamkan tiga aspek penting selain fungsi pengedaran uang yang masih berjalan hingga saat ini: inklusi keuangan, pengendalian inflasi daerah, dan kajian ekonomi regional.

Tonggak perubahan fundamental juga diletakkan Darmin pada urusan internal. Misalnya saja, Darmin berani memodifikasi skema mutasi yang telah mengakar kuat selama puluhan tahun di Bank Indonesia. Pada skema lama, peran pemimpin satker asal dan pemimpin satker tujuan sangat kental, sehingga kesepakatan di antara keduanya kerap kali mengorbankan kepentingan institusi yang jauh lebih besar.

Dari kacamata Darmin, Bank Indonesia bukan hanya Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) saja, sehingga tidak boleh orang berkualitas hanya berkumpul di sana. Ada bidang lain yang juga memerlukan orang berkualitas agar organisasi tidak berjalan sebelah kaki alias pincang. Perimbangan kualitas sumber daya manusia (SDM) antar-bidang itulah yang melandasi reformasi kebijakan mutasi dan promosi di Bank Indonesia hingga kini.

Dalam buku ini Darmin juga bercerita soal kelemahan utama pegawai Bank Indonesia: tidak terbiasa berbeda pendapat. Kelemahan ini, menurut Darmin, mengemuka karena kemapanan pegawai Bank Indonesia dalam meyakini pemikiran-pemikiran miliknya. Seolah-olah pemikiran mereka paling benar dan tidak pernah salah. Darmin merasa kesulitan untuk meyakinkan mereka, bahwa di luar sana masih ada pemikiran yang sama baiknya atau bahkan lebih baik.

Padahal, kemampuan untuk bisa menerima pendapat dan bersikap positif terhadap benturan pemikiran adalah ciri karakter yang matang. Untuk menjawab isu ini, Darmin merancang skema rapat yang memungkinkan semua orang bebas berbicara tanpa terbelenggu oleh tingkat jabatannya. Darmin meyakini, ketika bicara substansi, ukurannya adalah substansi, bukan hierarki. Upaya ini secara perlahan mengubah budaya dan pola interaksi di Bank Indonesia menjadi lebih cair dan berwarna.

Pada akhirnya, buku ini menyampaikan urgensi kepada kita semua, bahwa kebijakan itu lebih bersifat seni ketimbang sains. Permasalahan ekonomi di negeri ini tidak bisa hanya ditangani oleh cara-cara simplifikasi-mekanistis. Terkadang, bank sentral harus mengambil langkah berani, yang tidak melulu selaras dengan teori, tetapi atas dasar keyakinan dan kemampuan melihat ke depan. Itulah cerminan pegawai bank sentral yang membumi di mata seorang Darmin.

Tidak banyak kritik yang bisa disematkan dalam buku ini. Satu-satunya kritik yang bisa diajukan ialah, pada beberapa bagian—misalnya pada artikel berjudul “Dilema Operasi Kembar”—Darmin terkesan enggan berbeda pendapat. Ini kontradiktif dengan pemikirannya yang mendorong agar pegawai Bank Indonesia lebih bersikap positif terhadap perbedaan pendapat.

Namun demikian, secara umum buku ini dapat melengkapi koleksi buku sejenis. Dua di antaranya ialah Bank Indonesia and the Crisis: An Insider’s View besutan Soedradjad Djiwandono (2005) dan The Mystery of Banking karya Murray N. Rothbard (2008), yang sama-sama menguliti bank sentral dari sudut pandang yang tidak biasa. Bahkan, karya Darmin boleh dibilang unggul dari sisi keterbukaan dan lebih mudah dicerna oleh semua kalangan pembaca.

Akhir kata, buku ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Meski sebagian besar bercerita mengenai sisik-melik dan seluk-beluk di Bank Indonesia, tetapi buah pikir yang terkandung dalam buku ini juga dapat digunakan oleh para pemimpin di lembaga pemerintahan dan institusi non-profit lainnya. Selamat membaca!

***

Judul Buku: Bank Sentral Itu Harus Membumi
Penulis: Darmin Nasution
Penerbit: Galang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-8174-78-7
Penulis Resensi: Adhi Nugroho

Menggagas Insentif PPh Kesehatan bagi Usaha Menengah



Silakan klik tautan berikut ini untuk mengunyah artikel secara utuh.

***

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Pajak yang diselenggarakan oleh DDTC News.

Pendidikan Bermutu Lahir dari Guru yang Berilmu



Saya bukan guru, tetapi saya gemar berbagi ilmu. Saya bukan pengajar, tetapi saya senang tatkala diminta mengajar. Saya juga bukan pendidik, tetapi saya peduli akan kapabilitas tenaga didik.

Inilah secuil opini, upaya, dan pitawat saya bagi kemajuan pendidikan Indonesia.


*** 

Setiap peradaban dibangun dari pendidikan.

Kata-kata di atas bukanlah pendapat saya, melainkan buah pikir Andrew Targowski, seorang ilmuwan berdarah Polandia-Amerika. Di kalangan akademisi, ia dikenal luas sebagai pencetus teori peradaban. Menurutnya, faktor utama dalam membangun peradaban yang unggul adalah dengan meletakkan pendidikan pada pondasinya.

Kita boleh percaya, boleh juga tidak. Namanya saja teori, bukan firman Tuhan yang mesti kita imani. Akan tetapi, menilik fakta yang ada, tampaknya kita harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Targowski benar adanya. Setidaknya untuk saat ini.



Data CEOWORLD Magazine berbicara, sepuluh besar negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia merupakan negara maju. Inggris menempati peringkat pertama, disusul oleh Amerika Serikat dan Australia. Di bawahnya, berderet negara-negara Eropa Barat macam Belanda, Swedia, Prancis, dan Jerman.

Sajian data di atas menyodorkan seutas benang merah kepada kita. Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan peradaban yang maju. Siapa yang serius menata pendidikan, dialah yang akan menciptakan peradaban gemilang.

Lantas, di mana posisi Indonesia?



Masih dari survei yang sama, kualitas pendidikan kita berada di peringkat ke-70 dari total 93 negara. Bukan yang terburuk, tetapi cukup mengkhawatirkan bagi bangsa kita yang bercita-cita masuk ke dalam lima besar ekonomi dunia pada 2045 nanti. Pertanyaan besarnya ialah, akankah harapan itu bakal terwujud?

Bisa ya, bisa juga tidak. Semua bergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Yang jelas, jika kita benar-benar serius ingin menjadi bangsa yang maju, maka memajukan kualitas pendidikan menjadi prasyarat utama yang tidak bisa dinafikan begitu saja.



 

Menyoal pendidikan di dalam negeri, kita tidak bisa memisahkannya dengan perkembangan zaman. Idealnya, semakin deras arus informasi beredar, semakin cepat pula ilmu pengetahuan termutakhirkan.

Misalnya, begini. Sepuluh tahun lalu, kecerdasan buatan (artificial intelligence) mungkin hanya menjadi diskursus di kalangan ilmuwan dan perekayasa (engineer) semata. Sekarang, kecerdasan buatan telah menjadi salah satu cabang ilmu yang paling banyak dicari pemberi kerja.

Apa sebab? Kemajuan teknologi menjadi kausanya.

Perkembangan teknologi itu ibarat lompatan kuantum (quantum leap). Ada selang waktu hampir 200 tahun di antara penemuan mesin uap (1769) dan penciptaan mesin komputer (1945). Namun, sejak komputer ditemukan, kita hanya perlu waktu 24 tahun saja untuk melahirkan jaringan internet (1969).

Oleh sebab itu, pendidikan bukanlah kitab suci yang selalu benar sepanjang waktu. Justru sebaliknya. Pendidikan yang baik itu bersifat dinamis dan cepat berubah—secepat perubahan zaman dan teknologi itu sendiri.



Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti yang tidak bisa kita mungkiri. Pandemi korona memaksa dunia pendidikan berubah dalam sekejap. Aktivitas belajar-mengajar mesti dilakukan dari jarak jauh supaya menekan risiko penularan virus mematikan itu.

Imbasnya, kita semua ikut merasakannya. Dari semula tatap muka, berubah menjadi tatap layar. Dari tadinya papan tulis, berganti menjadi papan kibor. Guru kepayahan, siswa kesulitan. Keduanya sama-sama belajar, bagaimana proses transfer ilmu tetap berjalan meski dibatasi segudang tantangan.

Orang bijak pernah berkata. Siapa yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, dialah yang akan keluar sebagai pemenang.

Ya, adaptasi. Satu kata yang cukup mudah dilafalkan tetapi belum tentu gampang dilakukan.

Mengapa saya sebut tidak gampang? Karena setiap proses beradaptasi memerlukan pengorbanan, keuletan, kegigihan, dan kemauan yang kuat.

Memakai masker, misalnya. Semula merasa risih, lama-lama jadi terbiasa. Sekarang, saya pribadi seperti merasa “telanjang” apabila keluar rumah tanpa menggunakan masker. Sebuah perasaan yang tidak pernah terlintas dalam pikiran sebelum pandemi.

Belajar-mengajar sama saja. Sering tersiar kabar para siswa kesulitan mencerna pelajaran gara-gara merasa terbatasi dengan diberlakukannya program sekolah dari rumah. Di sisi sebaliknya, guru pun mengamini bahwa tingkat kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran jauh menurun, terutama pada masa awal pandemi.

Itulah yang saya maksud dengan “ketidakmudahan beradaptasi”. Tapi ingat! “Tidak mudah” berbeda makna dengan “mustahil”. Alah bisa karena biasa. Jika guru dan siswa sama-sama bersabar melewati proses adaptasi tadi, niscaya pandemi bukan lagi menjadi perintang bagi kemajuan pendidikan bangsa.



 

Pandemi memang menyusahkan banyak orang, termasuk bagi tenaga pendidik. Itu sudah pasti. Hanya saja, para pengajar tidak boleh berdiam diri meratapi nasib. Kalaulah sudi menengok sisi positifnya, pandemi semestinya kita jadikan momentum untuk beradaptasi dengan teknologi.

Omong-omong soal adaptasi, saya termasuk orang yang merasakan benar bagaimana teknologi mengubah cara mengajar. Beberapa tahun ke belakang, saya kerap diminta mengajar di berbagai kelas kepenulisan. Kebetulan, saya memang hobi menulis. Bagi saya, mengajar ilmu menulis sama asyiknya dengan menulis itu sendiri.



Pihak penyelenggara pun bermacam-macam. Mulai dari kantor sendiri, komunitas menulis, hingga perusahaan rintisan. Sebelum pandemi, hampir seluruh kelas digelar dalam format tatap muka. Sejak Maret kemarin, keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat. Kini, semua kelas menulis bergulir di ruang virtual.

Pada awalnya saya merasa aneh. Betapa tidak? Saya tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah peserta. Padahal, respons peserta adalah salah satu hal yang paling saya sukai ketika bercuap-cuap di depan orang banyak.

Bukan apa-apa, jika raut wajah peserta mengisyaratkan kebingungan, maka saya bisa segera mengulang materi. Di ranah digital, keistimewaan itu tidak bisa saya dapati. Air muka peserta terbatasi oleh nyala tidaknya fitur kamera dan jumlah slot kamera yang bisa ditampilkan dalam satu layar.



Akan tetapi, berbagai halangan itu mesti saya lalui. Saya mesti beradaptasi dengan cepat, bagaimana bisa berbagi ilmu di ruang maya sebaik dan seefektif ketika bertatap muka. Saya yakin, hal serupa juga menjadi dilema dan tantangan bagi guru atau tenaga pengajar, selama pandemi belum angkat kaki.

Bagi saya, kuncinya ada tiga.



Pertama, bersabar. Jika seseorang dijejali suatu hal yang baru, maka ia perlu bersabar menelan kesalahan atau kekeliruan. Jangan lupa, seseorang harus melakukan hal yang sama berulang-ulang kali sebelum akhirnya menyandang status ahli.

Binaragawan, misalnya. Ia harus mengangkat beban berulang kali sebelum otot-ototnya menjadi kekar. Sama halnya dengan pengajar virtual. Ia mesti melewati banyak jam terbang sebelum bisa mengerti apakah ilmu yang disampaikannya bisa diserap oleh pelajar.

Singkat kata, jangan takut mencoba dan melakukan kesalahan. Karena hanya dari kesalahan-lah, kita bisa paham mana yang dikatakan sebagai kebenaran.

Kedua, belajar mengoperasikan perangkat digital. Seperti disinggung sebelumnya, digitalisasi bukan lagi menjadi opsi. Ia telah berubah menjadi kebutuhan. Sejak pandemi—dan saya yakin kondisi ini akan berlanjut bahkan setelah pandemi angkat kaki—jalannya proses belajar-mengajar akan sangat bergantung pada ketersediaan perangkat digital.

Oleh karenanya, seorang pengajar dituntut cakap mengoperasikan gawai digital. Empat belas tahun lalu, ketika saya masih duduk di bangku S-1, laptop belum menjadi kebutuhan primer. Sekarang, keponakan saya yang berusia 7 tahun sudah diwajibkan memakai laptop untuk belajar dan mengerjakan tugas.

Maka dari itu, seorang pengajar harus lebih pandai mengoperasikan perangkat digital dibanding pelajar. Jika tidak, bagaimana mungkin Sang Pengajar bisa mentransfer ilmunya secara utuh? Ini yang menjadi catatan tersendiri bagi pengajar era digital.

Terakhir, senantiasa menimba ilmu. Idealnya, seorang pendidik harus lebih banyak tahu dibanding yang dididik. Sebaiknya, setiap pengajar harus lebih banyak menguasai ilmu ketimbang pelajar. Itulah prinsip dasar belajar-mengajar.

Jika kita kaitkan prinsip di atas dengan perkembangan teknologi, maka tuntutan bagi seorang pengajar era digital akan lebih berat dibanding era konvensional. Pasalnya, arus informasi datang begitu cepat. Sumber ilmu bukan diperoleh dari diktat lawas semata, tetapi juga dari data-data yang berserakan di jagat maya.

Oleh sebab itu, seorang pengajar dituntut untuk senantiasa mengasah kemampuan. Seorang guru diwajibkan tahu banyak hal, sekalipun itu bukan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang pendidik harus tahu berita terkini, lebih dari apa yang diketahui oleh orang yang dididiknya.

O ya, mengajar itu ada ilmunya, Kawan! Bukan asal mengajar atau berbagi ilmu secara asal-asalan. Di balik kegiatan mengajar, ada seni menyusun materi ajar, memahami situasi yang tengah dialami pelajar, hingga menetapkan tujuan pembelajaran.

Di sinilah pentingnya menguasai pedagogi atau seni mengajar.



 

Di tengah pandemi, jiwa pedagogi guru bakal diuji. Pasalnya, aktivitas belajar-mengajar jarak jauh bukanlah perkara yang mudah untuk dilakoni. Namun demikian, pandemi sebetulnya juga menghadirkan banyak peluang. Tanpa pergi ke sekolah, guru punya lebih banyak waktu luang untuk mengasah kemampuan.

Pertanyaannya, ke mana dan dengan cara apa guru mengasah keterampilan pedagoginya?

Untungnya, teknologi telah menghadirkan banyak kemudahan. Sekarang, guru bisa meningkatkan kualitas pengajaran tanpa harus keluar rumah dengan mengakses GuruInovatif.id. Dengan kata lain, Guru Belajar Mengajar di GuruInovatif.id.

GuruInovatif.id adalah platform berbasis website yang menyediakan kursus, pelatihan, dan sertifikasi secara daring (online) bagi guru di seluruh Indonesia. Secara singkat, platform yang dibesut oleh HAFECS ini ibarat Tempat Belajar Guru di ranah digital.


GuruInovatif.id menyediakan ratusan video pengajaran dan pembelajaran secara cuma-cuma untuk para guru di seluruh Nusantara. Melalui video tersebut, para pengajar bisa meningkatkan kemampuan pedagogi. Mulai dari level yang paling dasar, hingga ke tingkatan yang paling tinggi.

Lantas, apa saja materi yang tersedia di GuruInovatif.id?

GuruInovatif.id menyediakan tiga jenis kursus daring (online course). Mulai dari Mini Course, Productivity Course, dan Online Certification. Supaya jelas, ayo kita ulas satu per satu.



 

Sesuai namanya, kursus ini berisi dasar-dasar pedagogi bagi guru. Hingga artikel ini diterbitkan, ada 18 modul yang bisa kita pilih. Ada Cara Mengajar dengan Contextual Learning, Teknik Menggunakan Revised Bloom Taxonomy untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa, Kiat Mengajar Efektif di Kelas, dan masih banyak lagi. Silakan teliti lebih lanjut infografis di bawah ini.



Dari sekian banyak kursus yang tersedia, mata saya tertambat pada satu modul bernama Peran Kompetensi Pedagogy & Pentingnya Literasi Abad 21. Pasalnya, pengajar modul yang berdurasi 2 jam itu tidak lain dan tidak bukan adalah Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.

Sang Profesor yang kini bertugas sebagai Executive Chairman UNESCO Indonesia itu pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan SMA Labschool Jakarta, tempat saya mengenyam pendidikan sewaktu masih remaja. Menonton beliau mengajar, rasanya seperti kembali duduk di bangku SMA.

Meski usianya tidak lagi muda, semangat beliau dalam mengajar tidak pernah redup sedikit pun. Pada kesempatan itu, beliau menggarisbawahi pentingnya kemampuan pedagogi bagi guru dalam memahami, merancang, dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki siswa.



Selain itu, beliau juga menekankan tiga aspek kecakapan yang mesti diajarkan guru kepada siswa. Ketiga aspek itu adalah karakter, kompetensi, dan literasi dasar. Aspek inilah yang akan menentukan kesuksesan siswa pada masa depan.

Saya yang bukan guru saja mendapat banyak manfaat dari video tersebut. Betapa tidak? Apa yang diajarkan Sang Profesor adalah prinsip paling dasar dari kegiatan belajar-mengajar, terlepas apa pun bentuknya. Saya bisa menggunakan prinsip tersebut ketika diminta mengajar menulis di kemudian hari.

Kalau saya saja banyak beroleh manfaat, bagaimana dengan para guru? Sudah pasti sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan, kecakapan, dan keahlian mengajarnya.



 

Productivity Course adalah kursus Pelatihan Guru secara daring yang berisi kiat-kiat mengoperasikan aplikasi, sistem, dan perangkat lunak lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas kegiatan belajar-mengajar. Singkatnya, kursus ini ibarat “tutorial how-to” bagi guru agar proses transfer ilmu dapat berlangsung secara efektif.

Pada kursus ini tersedia 10 pilihan modul. Beberapa di antaranya adalah Rumus-rumus Dasar Pembuatan Excel, Cara Menggunakan Zoom untuk Mengajar, Cara Menggunakan Whatsapp untuk Grup Belajar, dan Tutorial Membuat Absensi Online. Silakan telusuri lebih lanjut lewat infografis berikut.



Di antara semuanya, modul yang paling menarik di mata saya adalah Cara Menerbitkan Sertifikat Online Secara Otomatis.

Mengapa saya katakan demikian? Sederhana saja. Karena saya bekerja di lembaga negara yang gemar menyelenggarakan seminar ekonomi dan keuangan. Pada praktiknya, saya sering diminta mengurusi penerbitan sertifikat untuk para peserta seminar.

Nah, ilmu yang saya dapatkan dari modul di atas tentu sangat berguna untuk menunjang pekerjaan dan karier saya. Lagi pula, siapa juga yang tidak terbantu dengan fitur penerbitan sertifikat elektronik secara otomatis. Tentu ini akan meringankan beban kerja saya ketika didapuk jadi panitia seminar.

Manfaat yang sama juga bisa dirasakan oleh para guru. Beragam tip dan trik yang disediakan GuruInovatif.id bisa meringankan beban kerja guru ketika mengajar. Lebih dari itu, sudah tentu alur proses belajar mengajar menjadi efektif dan terasa lebih profesional.



 

Dari namanya saja kalian sudah bisa menerka. Online Certification adalah kursus yang berkaitan dengan program Sertifikasi Guru. Pada kursus ini, guru bisa mendalami materi ajar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Singkat kata, kursus ini hadir untuk membentuk pribadi guru yang berilmu, atau Teaching Mastery Framework.

Tersedia 15 modul pada kursus ini. Ada beragam Pedagogical Content Knowledge (PCK), yakni modul untuk memudahkan cara guru mengajar dan menumbuhkan semangat berinovasi dalam mengajar di kelas, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, atau SMA.



Ada pula berbagai modul tentang Higher Order Thinking Skill (HOTS), yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang tidak hanya memerlukan kemampuan mengingat, memahami, atau menerapkan saja; tetapi juga membutuhkan proses menganalisis, mengevaluasi, serta menciptakan. Keterampilan ini sangat dibutuhkan bagi kita yang hidup pada abad ke-21, termasuk kalangan guru.

Supaya lebih paham tentang PCK dan HOTS, silakan simak infografis berikut ini.



Lalu, mengapa sertifikasi penting bagi guru? Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya.

Pertama, bukti guru menguasai sebuah materi atau pelajaran yang diampu. Di dalam program sertifikasi, guru diminta mendalami bidang ilmu tertentu. Dengan itu, guru akan belajar banyak tentang seluk-beluk ilmu yang disertifikasi.

Nah, pada akhirnya, melalui guru yang berilmu, terciptalah pendidikan yang bermutu. Lewat guru yang berilmu, siswa dengan mudah menyerap ilmu. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini apabila ingin maju.

Kedua, menunjang karier seorang guru. Seseorang yang ingin kariernya berkembang mesti tahu banyak hal, termasuk guru. Guru yang kemampuan pedagoginya baik, ilmunya banyak, dan cara mengajarnya apik; akan mudah mengajukan kenaikan pangkat. Itu sudah hukum alam sejak bumi diciptakan.

Di sinilah pentingnya program sertifikasi guru. Lewat program ini, guru bisa meningkatkan kemampuan, kapabilitas, dan keahlian dalam mengajar bidang ilmu tertentu. Singkat kata, kehadiran kursus Online Certification di GuruInovatif.id menempatkan derajat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini ke tingkat yang lebih tinggi.



O ya, satu lagi. Sebagai bukti bahwa kita telah menyelesaikan modul pelatihan di GuruInovatif.id, apa pun jenis kursusnya, kita bisa meminta administrator (admin) HAFECS untuk menerbitkan sertifikat elektronik. Caranya, klik saja pada menu yang tersedia di modul yang sudah kalian tuntaskan.

Nanti kalian akan terhubung dengan obrolan (chat) pada aplikasi WhatsApp. Segera sampaikan data diri dan modul yang telah kalian selesaikan, admin HAFECS akan menyampaikan sertifikat elektronik ke alamat surel terdaftar.



 

Sebelum saya tutup artikel ini, izinkan saya mengurai satu pitawat.

Kawan, pendidikan adalah prasyarat utama kemajuan suatu bangsa. Tanpa kehadiran pendidikan, mustahil kita bisa membangun peradaban yang maju dan bermartabat.

Oleh karenanya, memuliakan guru tidak hanya dilakukan dengan cara menghormatinya, tetapi juga menyediakan ruang baginya untuk terus belajar dan mengasah kemampuan.



Kehadiran GuruInovatif.id di kancah pendidikan digital Indonesia memberi peluang kepada kita semua, termasuk guru, untuk terus mengasah ilmu. Lewat berbagai kursus yang disediakan, tenaga pendidik bisa dengan mudah memperoleh ilmu kapan pun dan di mana pun dia suka. Cukup bermodal perangkat digital, akses ilmu bermutu bisa dikenyam.

Karena sejatinya, kapabilitas gurulah yang menjadi titik tumpu kemajuan pendidikan suatu bangsa. Jangan lupa, pendidikan yang bermutu hanya lahir dari rahim guru yang berilmu. Maka dari itu, selamat menempa diri dan menuntut ilmu, wahai pahlawanku. [Adhi]

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog yang diselenggarakan HAFECS dan GuruInovatif.id. Foto bersumber dari koleksi pribadi penulis dan situs GuruInovatif.id. Video bersumber dari akun YouTube milik HAFECS. Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Milenial dan Masa Depan Ekonomi Syariah Nasional





Rencana pemerintah menggabungkan (merger) tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah pada 1 Februari 2021 mendatang menuai banyak harapan. Pasalnya, langkah itu diyakini bakal membawa tatanan ekonomi syariah nasional ke level yang lebih tinggi.

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan pemerintah dalam praktiknya nanti: peran generasi milenial.

*** 

Di tengah angka kasus korona yang terus meningkat, umat muslim Indonesia bisa sedikit bernapas lega pasca mendengar kabar rencana merger tiga bank syariah pelat merah. Ketiga bank itu ialah BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan BNI Syariah.

Jika terealisasi, gabungan bank ini akan menjadi bank syariah terbesar nasional berdasarkan nilai aset, dan masuk ke dalam sepuluh besar bank syariah dunia dari sisi kapitalisasi pasar.

Langkah besar ini patut mendapat apresiasi. Pasalnya, selama ini kinerja bank syariah selalu tersembunyi di balik hegemoni bank konvensional. Meski penghimpunan dana dan penyaluran pembiayaan terus tumbuh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir pangsa pasar perbankan syariah nasional mandek di kisaran 6 persen.

Total aset perbankan syariah pada Juni 2020 tercatat Rp545 triliun. Bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan total aset bank konvensional yang mampu menembus angka Rp8.818 triliun pada periode yang sama.

Ernst & Young, kantor akuntan publik internasional, bahkan memprediksi pangsa pasar bank syariah nasional akan tetap berada di bawah 10 persen, paling tidak hingga lima tahun mendatang.

Oleh karenanya, keputusan pemerintah menyatukan tiga bank BUMN syariah diprediksi bakal menambah taji kinerja bank syariah dalam dinamika perekonomian nasional.

Hanya saja, cita-cita mendongkrak ekonomi syariah nasional tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Langkah peleburan tiga bank BUMN syariah ke dalam salah satu entitas pembentuknya, dalam hal ini BRI Syariah, perlu dibarengi dengan strategi bisnis jangka panjang yang mumpuni. Jika tidak, ekonomi syariah akan berjalan di tempat.

Menyoal arah pengembangan ekonomi syariah ke depan, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peran generasi milenial. Tahun ini saja, jumlah milenial Indonesia sudah menembuh angka 100 juta jiwa. Dengan kata lain, sepertiga total penduduk Indonesia didominasi generasi muda.

Seiring berjalannya waktu, jumlah milenial akan mendominasi struktur kependudukan kita. Apalagi, pada 2045 nanti, bonus demografi akan terjadi. Artinya, 70 persen penduduk kita akan berada di rentang usia produktif. Tentu ini perlu menjadi catatan tersendiri.

Kalau kita tilik hasil Survei Nasional Literasi Keuangan Nasional 2019 besutan OJK, sebetulnya jawabannya sudah tersedia. Rendahnya indeks inklusi keuangan syariah (9,10 persen) dan indeks literasi keuangan syariah (8,93 persen) menjadi kausa utama mengapa kinerja perbankan syariah seperti berjalan di tempat.

Padahal, potensi ekonomi syariah sangatlah besar. Dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia semestinya menjadi pusat ekonomi syariah, dengan perbankan syariah sebagai pondasi utamanya.

Besarnya potensi ekonomi halal sendiri termaktub dalam State of the Global Economic Report 2019. Menurut laporan tersebut, potensi ekonomi industri halal yang belum tergarap maksimal mencapai angka 2,2 triliun Dollar AS. Potensi itu tersimpan dari berbagai bidang usaha, mulai dari makanan, busana, pariwisata, obat-obatan, hingga kosmetik.

Oleh karenanya, bank syariah perlu benar-benar memahami transaksi dan produk perbankan seperti apa yang dibutuhkan generasi milenial. Sebab masa depan ekonomi syariah nasional berada dalam genggaman mereka.

Peran Milenial dalam Ekonomi Syariah


Satu hal yang pasti, generasi milenial kerap diasosikan sebagai pribadi yang kreatif, inovatif, dan cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kombinasi ketiganya menjadikan produk-produk yang bersifat praktis, mudah, dan ramah pengguna (user friendly) pasti digandrungi kaum milenial.

Produk keuangan dan perbankan sama saja. Hasil studi Rossana dan Firmansyah (2019) dalam Analisis Rasch Pada Atribut Perbankan Syariah: Studi pada Generasi Milenial menyebut tiga aspek yang paling dipertimbangkan generasi milenial ketika memilih bank syariah adalah kecepatan, keramahan, dan kesesuaian dengan prinsip Islam.

Oleh sebab itu, ketiga faktor tadi mesti diperhatikan betul oleh perbankan syariah nasional dalam strategi bisnis jangka panjang. BRI Syariah, misalnya. Anak perusahaan BRI itu diganjar Top Brand Award 2019 pada kategori Tabungan Syariah.

Asal tahu saja, Top Brand Award adalah penghargaan paling tinggi untuk urusan merek dagang. Di tingkat nasional, tidak ada penghargaan yang lebih tinggi lagi.

Apresiasi ini patut dijadikan contoh untuk meningkatkan transaksi keuangan syariah milenial pada masa depan. Pasalnya, survei Top Brand Award dilakukan sendiri oleh konsumen. Oleh karenanya, upaya BRI Syariah memformulasi tabungan syariah yang pas bagi kalangan milenial bisa dijadikan acuan bagi perbankan syariah nasional.

Kalau kita teliti lebih dalam, ada tiga alasan mengapa generasi milenial memilih Tabungan Faedah BRI Syariah dalam bertransaksi.

Pertama, bebas biaya administrasi bulanan dan kartu ATM. Ini sejalan dengan hasil survei Cermati yang menyebut generasi milenial cenderung memilih tabungan yang minim—bahkan bebas—biaya. Prinsipnya, jika ada yang lebih hemat, kenapa harus pilih yang mahal?

Faktor kedua mengapa milenial gemar bertransaksi lewat BRI Syariah adalah ketersediaan kantor cabang dan ATM hingga pelosok negeri. Ini penting, sebab kalangan milenial senang dengan hal-hal serba praktis. Dengan puluhan ribu jaringan ATM di seluruh Nusantara, milenial bisa bertransaksi kapan dan di mana saja.

Ihwal ketiga yang mendorong minat milenial bertransaksi di BRI Syariah adalah ketersediaan layanan mobile banking. Ketika bertransaksi, mereka tidak perlu datang ke kantor cabang terdekat. Cukup ambil ponsel, segala transaksi bisa tuntas seketika. Tinggal klik langsung beres.

Apalagi, pandemi korona telah banyak mengubah gaya hidup kita. Dari semula tatap muka, menjadi lebih banyak di rumah saja. Dari semula saling berjabat tangan, menjadi saling memberi salam virtual.

Perubahaan kebiasaan inilah yang harus diperhatikan bank syariah nasional. Menjelang era komunikasi 5G, layanan perbankan tanpa cabang (branchless banking) menjadi suatu keniscayaan yang tidak boleh dialpakan.

Kalau boleh jujur, di sinilah tantangan sekaligus peluang terbesar bagi perbankan syariah nasional. Siapa yang beradaptasi dengan perkembangan zaman, dialah yang keluar sebagai pemenang dan menjadi motor penggerak ekonomi syariah nasional.

Pada akhirnya, sebagai konsumen, tentu kita berharap upaya merger tiga bank BUMN Syariah mampu menjawab kebutuhan transaksi milenial. Karena sejatinya, bank yang nantinya akan masuk ke dalam kelompok BUKU III itu semestinya tidak hanya menjadi bank syariah nasional terbesar semata, tetapi juga berperan sebagai lentera edukasi dan dakwah di bidang keuangan syariah. Semoga. [Adhi]

***
#ibmarcomm.id #shariabankingonlinefestival2020 #ojkindonesia #milenialasyikbertransaksisyariah #brisyariah #hidupharusberfaedah