“Ada banyak sekali sumbangan yang bisa diberikan institusi penting ini kepada pembangunan institusi ekonomi Indonesia, yang jauh lebih penting daripada sekadar mengutak-atik instrumen moneter.” ~ halaman 15
Bank sentral tidak melulu soal teori moneter atau makroekonomi. Melalui buku ini, Darmin Nasution menawarkan sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan buku bank sentral lainnya. Buku ini berisi kepingan memoar Darmin selama 3 tahun 8 bulan memimpin Bank Indonesia.
Kepingan itu dirajut menjadi sebuah pesan sarat makna, yang tidak hanya ditujukan kepada pegawai bank sentral semata, tetapi juga kepada para pemimpin lembaga atau institusi mana pun di Indonesia. Pesan itu berbunyi, “Jadilah menara air.”
Analogi “menara air” itulah yang mengawali perjalanan buku setebal 272 halaman ini. Analogi itu timbul dari keresahan Darmin ketika masyarakat kerap mengasosiasikan Bank Indonesia sebagai “menara gading”. Indah dipandang, tetapi hanya ada di awang-awang. Menurut Darmin, semestinya kebijakan bank sentral serupa “menara air”, yang manfaatnya mampu dirasakan oleh masyarakat luas.
Teori dan model makroekonomi canggih yang digunakan Bank Indonesia kerap kali mandek saat berhadapan dengan realita persoalan di tataran mikro. Pegawai bank sentral terlalu yakin bahwa dengan menaik-turunkan suku bunga, maka kestabilan harga akan tercapai.
Padahal, sebelum mencapai sasaran akhir, ada banyak isu yang berpotensi menghambat efektivitas transmisi, seperti pasar keuangan yang dangkal dan struktur pasar yang oligopolistik. Menurut Darmin, itulah kausa mengapa kebijakan Bank Indonesia seperti “cantik di atas kertas, tetapi loyo di medan perang”.
Dalam pandangan Darmin, Bank Indonesia mesti berupaya membuka kebijakan ekonomi “ruang ketiga” bernama “perbaikan institusi ekonomi”. Ruang ketiga itu akan melengkapi dua kebijakan ekonomi konvensional terdahulu, yakni moneter dan fiskal, yang selama ini hanya berkutat pada area memperketat dan memperlonggar aktivitas ekonomi. Darmin yakin, perbaikan institusi ekonomi, termasuk di Bank Indonesia, dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia.
Apa yang Darmin katakan sebagai ruang ketiga benar-benar dipraktikkan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia. Yang paling menarik tersaji pada lembaran ke-112. Kepingan memoar itu ia beri tajuk “Di Balik Menyatunya ATM BCA dan Mandiri”. Pada bagian itu, Darmin bercerita soal kegelisahannya saat memimpin rapat yang dihadiri para pemimpin satuan kerja (satker) kantor pusat Bank Indonesia.
Darmin naik pitam tatkala peserta rapat tidak berhasil memberinya pemahaman yang utuh soal National Payment Gateway (NPG). Darmin merasa apa yang disajikan pemimpin satker hanya berkutat di tataran konseptual semata. Padahal, menurut pandangan Darmin, isu riil di lapangan soal interkoneksi sistem pembayaran kala itu adalah sesederhana ATM Bank Mandiri dan BCA tidak bisa digunakan untuk transfer dana satu sama lain.
Isu diskoneksi antara Bank Mandiri dan BCA memang sudah berlarut-larut. Sementara Bank Indonesia masih sibuk berkutat soal konsep NPG yang digadang-gadang bakal mengintegrasikan seluruh layanan sistem pembayaran.
Darmin berpendapat, Bank Indonesia jangan bermain di tataran konseptual saja, tetapi juga perlu bertindak cepat untuk atasi permasalahan mikro di antara kedua bank besar tadi. Sebab 65% dari keseluruhan nilai layanan ATM di Indonesia ada di tangan Bank Mandiri dan BCA.
Tanpa berpanjang lebar, hari itu juga Darmin meminta pucuk pimpinan Bank Mandiri dan BCA mendatanginya. Pertemuan trilateral langsung digelar. Darmin meminta agar Bank Mandiri dan BCA, bagaimanapun caranya, saling membuka diri dan membangun jembatan antara dua sistem ATM yang dimiliki. Di luar dugaan, tidak sampai 5 menit, kedua pemimpin bank itu langsung setuju.
Empat bulan berselang, hampir 20 juta pemilik simpanan di kedua bank papan atas nasional itu bergembira. Mulai Januari 2012, mereka sudah bisa memeriksa saldo, menarik uang tunai, dan transfer dana lintas jaringan ATM milik kedua bank itu. Sekat yang sudah membatu selama 14 tahun—jika ada niat, kemauan, dan tindakan nyata—ternyata bisa dirontokkan dalam waktu sekejap. Praktik itulah yang Darmin sebut sebagai kebijakan ekonomi ruang ketiga: perbaikan institusi ekonomi.
Kebijakan ekonomi ruang ketiga ala Darmin bukan hanya menyasar pada institusi lain, tetapi juga di internal Bank Indonesia. Kesimpulan itu bisa kita temui pada bab-bab selanjutnya. Pada era Darmin, banyak kebijakan Bank Indonesia yang lahir dari kemauan melihat realita, bukan sekadar mengutak-atik teori dan model ekonomi belaka. Uniknya, kebijakan-kebijakan itu bahkan masih relevan hingga sekarang.
Misalnya saja pada isu devisa hasil ekspor (DHE). Mula-mula, Darmin mewajibkan eksportir untuk melaporkan DHE kepada Bank Indonesia. Supaya Bank Indonesia bisa mengukur seberapa banyak DHE yang masuk ke bank dalam negeri. Hasilnya mencengangkan. Ternyata, eksportir kita lebih suka menempatkan dananya di bank di luar negeri. Inilah alasan mengapa ketersediaan valas di pasar menjadi terbatas dan akhirnya menekan stabilitas nilai tukar Rupiah.
Agar eksportir tertarik menempatkan valasnya di dalam negeri, setahun kemudian Darmin menggagas penerbitan instrumen baru bernama Term Deposit Valas. Instrumen ini hadir untuk memberikan alternatif penempatan valas jangka pendek yang optimal bagi eksportir. Pasar uang valas dalam negeri menjadi semakin dalam dan bergairah, tercermin dari tingkat suku bunga valas yang kompetitif—lebih tinggi dari suku bunga valas di luar negeri.
Selain DHE, dalam buku ini kita juga akan menemukan banyak kebijakan non-konvensional bank sentral yang lahir dari pemikiran membumi seorang Darmin. Di antaranya adalah kebijakan transparansi suku bunga kredit perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit yang terlampau tinggi. Ada pula kebijakan multi-lisensi perbankan untuk membedakan dan membatasi kegiatan usaha bank berdasarkan modal inti—yang kita kenal sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU).
Tidak berhenti sampai di sana, kebijakan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit Ratio (GWM-LDR) juga lahir di bawah kepemimpinan Darmin. Kebijakan yang bertujuan mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan itulah yang kemudian melandasi lahirnya kebijakan makroprudensial bernama Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang diterapkan hingga sekarang.
Di tataran Kantor Perwakilan Dalam Negeri, Darmin juga menanamkan tiga aspek penting selain fungsi pengedaran uang yang masih berjalan hingga saat ini: inklusi keuangan, pengendalian inflasi daerah, dan kajian ekonomi regional.
Tonggak perubahan fundamental juga diletakkan Darmin pada urusan internal. Misalnya saja, Darmin berani memodifikasi skema mutasi yang telah mengakar kuat selama puluhan tahun di Bank Indonesia. Pada skema lama, peran pemimpin satker asal dan pemimpin satker tujuan sangat kental, sehingga kesepakatan di antara keduanya kerap kali mengorbankan kepentingan institusi yang jauh lebih besar.
Dari kacamata Darmin, Bank Indonesia bukan hanya Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) saja, sehingga tidak boleh orang berkualitas hanya berkumpul di sana. Ada bidang lain yang juga memerlukan orang berkualitas agar organisasi tidak berjalan sebelah kaki alias pincang. Perimbangan kualitas sumber daya manusia (SDM) antar-bidang itulah yang melandasi reformasi kebijakan mutasi dan promosi di Bank Indonesia hingga kini.
Dalam buku ini Darmin juga bercerita soal kelemahan utama pegawai Bank Indonesia: tidak terbiasa berbeda pendapat. Kelemahan ini, menurut Darmin, mengemuka karena kemapanan pegawai Bank Indonesia dalam meyakini pemikiran-pemikiran miliknya. Seolah-olah pemikiran mereka paling benar dan tidak pernah salah. Darmin merasa kesulitan untuk meyakinkan mereka, bahwa di luar sana masih ada pemikiran yang sama baiknya atau bahkan lebih baik.
Padahal, kemampuan untuk bisa menerima pendapat dan bersikap positif terhadap benturan pemikiran adalah ciri karakter yang matang. Untuk menjawab isu ini, Darmin merancang skema rapat yang memungkinkan semua orang bebas berbicara tanpa terbelenggu oleh tingkat jabatannya. Darmin meyakini, ketika bicara substansi, ukurannya adalah substansi, bukan hierarki. Upaya ini secara perlahan mengubah budaya dan pola interaksi di Bank Indonesia menjadi lebih cair dan berwarna.
Pada akhirnya, buku ini menyampaikan urgensi kepada kita semua, bahwa kebijakan itu lebih bersifat seni ketimbang sains. Permasalahan ekonomi di negeri ini tidak bisa hanya ditangani oleh cara-cara simplifikasi-mekanistis. Terkadang, bank sentral harus mengambil langkah berani, yang tidak melulu selaras dengan teori, tetapi atas dasar keyakinan dan kemampuan melihat ke depan. Itulah cerminan pegawai bank sentral yang membumi di mata seorang Darmin.
Tidak banyak kritik yang bisa disematkan dalam buku ini. Satu-satunya kritik yang bisa diajukan ialah, pada beberapa bagian—misalnya pada artikel berjudul “Dilema Operasi Kembar”—Darmin terkesan enggan berbeda pendapat. Ini kontradiktif dengan pemikirannya yang mendorong agar pegawai Bank Indonesia lebih bersikap positif terhadap perbedaan pendapat.
Namun demikian, secara umum buku ini dapat melengkapi koleksi buku sejenis. Dua di antaranya ialah Bank Indonesia and the Crisis: An Insider’s View besutan Soedradjad Djiwandono (2005) dan The Mystery of Banking karya Murray N. Rothbard (2008), yang sama-sama menguliti bank sentral dari sudut pandang yang tidak biasa. Bahkan, karya Darmin boleh dibilang unggul dari sisi keterbukaan dan lebih mudah dicerna oleh semua kalangan pembaca.
Akhir kata, buku ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Meski sebagian besar bercerita mengenai sisik-melik dan seluk-beluk di Bank Indonesia, tetapi buah pikir yang terkandung dalam buku ini juga dapat digunakan oleh para pemimpin di lembaga pemerintahan dan institusi non-profit lainnya. Selamat membaca!
***
Judul Buku: Bank Sentral Itu Harus Membumi
Penulis: Darmin Nasution
Penerbit: Galang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-8174-78-7
Penulis Resensi: Adhi Nugroho