Beranda

Navigation Menu

Telaga Cinta di Mata Nabi


Telaga Cinta di Mata Nabi

Di padang derita, lelaki itu membaringkan cinta
Kau kenal lelaki itu, kita tahu lelaki itu
Yang Tepercaya, begitu mereka menyapa sosoknya
Hanya karena beda prasangka lantas kau tega bentangkan batu di udara?
Menghujam, menukik, menghempas raga

Bukankah dia anakmu jua?
Anak yang kaususui dari rahim bangsamu
Tidakkah kau ingat cahaya putih yang ditebarnya kala itu?
Saat kau berteriak lapar, keberadaannya mengundang kasih Tuhan
Menghadirkan limpahan susu dari hamparan ternak sekarat

Bermandi cahaya matahari, dia bernaung di bawah teduh pohon
Daun-daun menangis, menatap peluh-luka yang melekati tubuhnya
Dia berhenti, bersandar, mengatur ulang napasnya
Tiba-tiba gelegar guntur membelah langit
Jibril turun ke bumi, membawa gunung di genggam jemari

“Biar kubalas mereka, wahai Kekasih Allah!”
Lelaki itu menggeleng, menolak dendam
Berhias darah di wajah, serumpun senyum tumbuh merekah
Senyum cinta kepada mereka yang tega menyakiti
Senyum laksana embun pagi, menandai kebersihan hati

Lelaki itu mengadahkan tangan, memohon ampunan
Meminta hidayah kepada Sang Pemberi Berkah
“Sungguh, mereka tidak tahu,” katamu
Di balik sujud, aku menangis mengingat teladanmu
Seraya menahan rindu, akankah kita berjumpa di telaga itu?

***

Makna Puisi:

Ketika Nabi Muhammad berdakwah ke Thaif, Beliau dilempari batu oleh penduduknya. Padahal, Thaif adalah tempat Nabi disusui saat kecil dulu.

Melihat Sang Kekasih Allah dilukai, Jibril AS tidak tinggal diam. Pemimpin para malaikat itu menawarkan tenaganya kepada Nabi untuk membalas kezaliman penduduk Thaif. Tetapi Sang Teladan malah menolak, seraya berdoa:

“Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Itulah bukti cinta Nabi kepada umatnya. Sudahkah kita berselawat kepadanya?

2 komentar:

Pelangi di Sudut Kala



Di balik bumantara, hujan turun menanak luka
Memanggul pilu, memeram duka
Bersenyum paksa, bersolek durja
Bertanyalah kami kepada Sang Pelipur Lara
Kapankah pelangi itu tiba?

Tiba-tiba ia datang membawa senyuman
Merobek legam yang telah lama menodai awang
Merajut sukacita, menuai tawa
Mengudar warna dalam setiap tutur kata
Iya, kami bahagia

Pelangi itu tak ubahnya sosok ksatria
Ia selalu ada untuk membasuh luka
Ia selalu tegar dalam menepis bimbang
Ia selalu hadir demi memberi pasti
Dan ia selalu berenergi saat menaruh apresiasi

Maka ketika ia berkata, “Aku harus pergi”
Batin kami lantas menjerit, tiada daya memendam getir
Kata-katanya bagai terompet sangkakala yang siap menutup tirai bahagia
Untuk kali kedua, bertanyalah kami kepada Sang Pelipur Lara
Secepat itukah kala memisahkan kita?

Karena waktu kita berjumpa, lantaran waktu pula kita bersabda sampai jumpa
Namun kami percaya, waktu tiada diukur dari seberapa detik yang berganti
Tapi dari seberapa banyak cinta dan rindu yang bersemi
Oleh sebab itu, di sudut kala yang singkat ini
Izinkanlah kami berkata, “Pelangi itu telah memenuhi hati.”

***



0 komentar:

Ada Senyum di Balik Charging Bull

Charging Bull
Ada Senyum di Balik Charging Bull


Gugur daun maple di tengah bulan Oktober menambah hawa dingin kota New York. Bagi penduduk negara tropis seperti kami, rasanya seperti mendaki bukit atau pegunungan.

Tapi bagi warga Negeri Paman Sam, musim gugur adalah saat yang tepat untuk berjalan-jalan. Jauh lebih dingin ketimbang musim panas, tetapi tidak sampai sebeku musim salju.

Kendati suhu bergeming di angka belasan derajat Celcius—bahkan terkadang lebih rendah lagi, kami bersyukur diberi kesempatan bertualang ke kota terpadat di Amerika Serikat (AS) ini.

Patung Liberty
Patung Liberty, salah satu ikon wisata Amerika Serikat.

Selain penuh hiburan, New York juga kaya akan tengaran (landmark). Mulai dari Patung Liberty, Jembatan Brooklyn, Times Square, hingga Central Park. Tapi di antara itu semua, ada satu tengaran yang menurut saya punya sejarah paling unik: Charging Bull di Wall Street, Manhattan.

Patung banteng seberat 3.200 kilogram itu berkali-kali muncul di layar lebar besutan Hollywood. Sebut saja The Big Short (2015), The Wolf of Wall Street (2013), The Sorcerer’s Apprentice (2010), atau Hitch (2005).

Berlokasi di pusat finansial, maskulinitas rupa patung banteng itu memang melambangkan agresivitas dan optimisme pasar keuangan AS.

Jika harus menyebut satu nama, adalah mendiang Arturo di Modica, seniman asal Italia, yang paling berjasa. Dari kedua tangannya-lah Charging Bull lahir ke dunia.

Bermula dari peristiwa Black Monday—kehancuran pasar saham AS pada 1987, Sang Seniman sengaja membuat patung banteng yang tengah berkuda-kuda demi memberi semangat dan membangkitkan lagi pasar keuangan Negara Adidaya itu.

Hingga satu malam pada 14 Desember 1989, Charging Bull diletakkan begitu saja di luar Gedung New York Stock Exchange. Jelas ini perkara ilegal. Seperti membuang sampah sembarangan.

Imbasnya, patung banteng setinggi 3,4 meter itu segera diambil dan diamankan oleh pihak berwajib pada hari yang sama.

Akan tetapi, warga New York punya keinginan berbeda. Mereka ingin Charging Bull tetap dipajang dan bisa dinikmati siapa saja.

Hingga akhirnya, tepat pada 20 Desember 1989, Charging Bull kembali diletakkan di kawasan Bowling Green dengan izin pajang sementara, yang terus-menerus diperpanjang hingga kini, lantaran menjadi salah satu pusat atraksi dan ikon pariwisata.


Pesan di Balik Charging Bull

Sejarah soal Charging Bull yang saya baca dari laman Wikipedia itu tepat menggambarkan kondisi ekonomi AS saat ini.

Demi menghindari stagflasi, Bank Sentral AS secara agresif mengambil kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga acuan. Pembalikan arus modal dari negara berkembang dan tekanan nilai tukar pun tidak bisa dihindari.

Dari apa yang saya lihat, tanda-tanda resesi ekonomi memang mulai terlihat. Ketimpangan mulai menganga. Para tunawisma kian banyak terlihat di tengah ingar-bingar dan hedonisme kehidupan kota New York.

Tapi anomali juga terjadi. Kendati harga barang dan jasa melambung tinggi, lowongan pekerjaan malah kian bersemi. Papan bertulis “We’re Hiring” tampak menghiasi toko-toko di sepanjang jalan.

Pemandu wisata kami bercerita, bantuan tunai Covid-19 yang diterima oleh warga AS malah berdampak kontraproduktif. Warga AS jadi enggan bekerja karena merasa biaya hidupnya sudah terpenuhi dari dana bantuan.

Pantas saja petugas imigrasi berulang kali menanyakan ihwal pekerjaan ketika kami tiba di Bandara JFK. Mereka khawatir, warga asing bervisa turis malah jadi pekerja ilegal di Negeri Paman Sam.

Central Park New York
Bergaya di antara daun maple yang tengah menguning di Centrak Park, New York.

Apa pun itu, yang jelas, daya tarik Charging Bull memang memikat hati banyak pelancong. Kendati ekonomi AS berulang kali naik-turun dengan segudang alasannya, setiap hari, ratusan kepala rela mengantre demi berfoto bersama karya seni yang terbuat dari perunggu itu.

Hari itu, saya salah satunya. Bingung berpose apa, saya pasang kuda-kuda dengan niat menandingi figur garang Sang Banteng.

Tapi apa daya, celetukan teman saat bergaya membuat saya kontan tertawa. Jadilah Yin dan Yang. Yang satu garang, yang satu lagi riang.

Berpose bersama Charging Bull

Dari foto bersama Sang Banteng yang telah saya pajang di laman akun Instagram itu, saya menarik satu kesimpulan.

Dalam hidup, semangat dan agresivitasmu saat bekerja harus melahirkan senyum bagi orang di sekitarmu. Jika tidak, apalah arti hidupmu? [Nodi]



--oo0oo--


0 komentar: