Beranda

Navigation Menu

Showing posts with label blogcompetition. Show all posts

Telaga Cinta di Mata Nabi


Telaga Cinta di Mata Nabi

Di padang derita, lelaki itu membaringkan cinta
Kau kenal lelaki itu, kita tahu lelaki itu
Yang Tepercaya, begitu mereka menyapa sosoknya
Hanya karena beda prasangka lantas kau tega bentangkan batu di udara?
Menghujam, menukik, menghempas raga

Bukankah dia anakmu jua?
Anak yang kaususui dari rahim bangsamu
Tidakkah kau ingat cahaya putih yang ditebarnya kala itu?
Saat kau berteriak lapar, keberadaannya mengundang kasih Tuhan
Menghadirkan limpahan susu dari hamparan ternak sekarat

Bermandi cahaya matahari, dia bernaung di bawah teduh pohon
Daun-daun menangis, menatap peluh-luka yang melekati tubuhnya
Dia berhenti, bersandar, mengatur ulang napasnya
Tiba-tiba gelegar guntur membelah langit
Jibril turun ke bumi, membawa gunung di genggam jemari

“Biar kubalas mereka, wahai Kekasih Allah!”
Lelaki itu menggeleng, menolak dendam
Berhias darah di wajah, serumpun senyum tumbuh merekah
Senyum cinta kepada mereka yang tega menyakiti
Senyum laksana embun pagi, menandai kebersihan hati

Lelaki itu mengadahkan tangan, memohon ampunan
Meminta hidayah kepada Sang Pemberi Berkah
“Sungguh, mereka tidak tahu,” katamu
Di balik sujud, aku menangis mengingat teladanmu
Seraya menahan rindu, akankah kita berjumpa di telaga itu?

***

Makna Puisi:

Ketika Nabi Muhammad berdakwah ke Thaif, Beliau dilempari batu oleh penduduknya. Padahal, Thaif adalah tempat Nabi disusui saat kecil dulu.

Melihat Sang Kekasih Allah dilukai, Jibril AS tidak tinggal diam. Pemimpin para malaikat itu menawarkan tenaganya kepada Nabi untuk membalas kezaliman penduduk Thaif. Tetapi Sang Teladan malah menolak, seraya berdoa:

“Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Itulah bukti cinta Nabi kepada umatnya. Sudahkah kita berselawat kepadanya?

Menara Air di Tubuh Bank Sentral



“Ada banyak sekali sumbangan yang bisa diberikan institusi penting ini kepada pembangunan institusi ekonomi Indonesia, yang jauh lebih penting daripada sekadar mengutak-atik instrumen moneter.” ~ halaman 15

Bank sentral tidak melulu soal teori moneter atau makroekonomi. Melalui buku ini, Darmin Nasution menawarkan sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan buku bank sentral lainnya. Buku ini berisi kepingan memoar Darmin selama 3 tahun 8 bulan memimpin Bank Indonesia.

Kepingan itu dirajut menjadi sebuah pesan sarat makna, yang tidak hanya ditujukan kepada pegawai bank sentral semata, tetapi juga kepada para pemimpin lembaga atau institusi mana pun di Indonesia. Pesan itu berbunyi, “Jadilah menara air.”

Analogi “menara air” itulah yang mengawali perjalanan buku setebal 272 halaman ini. Analogi itu timbul dari keresahan Darmin ketika masyarakat kerap mengasosiasikan Bank Indonesia sebagai “menara gading”. Indah dipandang, tetapi hanya ada di awang-awang. Menurut Darmin, semestinya kebijakan bank sentral serupa “menara air”, yang manfaatnya mampu dirasakan oleh masyarakat luas.

Teori dan model makroekonomi canggih yang digunakan Bank Indonesia kerap kali mandek saat berhadapan dengan realita persoalan di tataran mikro. Pegawai bank sentral terlalu yakin bahwa dengan menaik-turunkan suku bunga, maka kestabilan harga akan tercapai.

Padahal, sebelum mencapai sasaran akhir, ada banyak isu yang berpotensi menghambat efektivitas transmisi, seperti pasar keuangan yang dangkal dan struktur pasar yang oligopolistik. Menurut Darmin, itulah kausa mengapa kebijakan Bank Indonesia seperti “cantik di atas kertas, tetapi loyo di medan perang”.

Dalam pandangan Darmin, Bank Indonesia mesti berupaya membuka kebijakan ekonomi “ruang ketiga” bernama “perbaikan institusi ekonomi”. Ruang ketiga itu akan melengkapi dua kebijakan ekonomi konvensional terdahulu, yakni moneter dan fiskal, yang selama ini hanya berkutat pada area memperketat dan memperlonggar aktivitas ekonomi. Darmin yakin, perbaikan institusi ekonomi, termasuk di Bank Indonesia, dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia.

Apa yang Darmin katakan sebagai ruang ketiga benar-benar dipraktikkan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia. Yang paling menarik tersaji pada lembaran ke-112. Kepingan memoar itu ia beri tajuk “Di Balik Menyatunya ATM BCA dan Mandiri”. Pada bagian itu, Darmin bercerita soal kegelisahannya saat memimpin rapat yang dihadiri para pemimpin satuan kerja (satker) kantor pusat Bank Indonesia.

Darmin naik pitam tatkala peserta rapat tidak berhasil memberinya pemahaman yang utuh soal National Payment Gateway (NPG). Darmin merasa apa yang disajikan pemimpin satker hanya berkutat di tataran konseptual semata. Padahal, menurut pandangan Darmin, isu riil di lapangan soal interkoneksi sistem pembayaran kala itu adalah sesederhana ATM Bank Mandiri dan BCA tidak bisa digunakan untuk transfer dana satu sama lain.

Isu diskoneksi antara Bank Mandiri dan BCA memang sudah berlarut-larut. Sementara Bank Indonesia masih sibuk berkutat soal konsep NPG yang digadang-gadang bakal mengintegrasikan seluruh layanan sistem pembayaran.

Darmin berpendapat, Bank Indonesia jangan bermain di tataran konseptual saja, tetapi juga perlu bertindak cepat untuk atasi permasalahan mikro di antara kedua bank besar tadi. Sebab 65% dari keseluruhan nilai layanan ATM di Indonesia ada di tangan Bank Mandiri dan BCA.

Tanpa berpanjang lebar, hari itu juga Darmin meminta pucuk pimpinan Bank Mandiri dan BCA mendatanginya. Pertemuan trilateral langsung digelar. Darmin meminta agar Bank Mandiri dan BCA, bagaimanapun caranya, saling membuka diri dan membangun jembatan antara dua sistem ATM yang dimiliki. Di luar dugaan, tidak sampai 5 menit, kedua pemimpin bank itu langsung setuju.

Empat bulan berselang, hampir 20 juta pemilik simpanan di kedua bank papan atas nasional itu bergembira. Mulai Januari 2012, mereka sudah bisa memeriksa saldo, menarik uang tunai, dan transfer dana lintas jaringan ATM milik kedua bank itu. Sekat yang sudah membatu selama 14 tahun—jika ada niat, kemauan, dan tindakan nyata—ternyata bisa dirontokkan dalam waktu sekejap. Praktik itulah yang Darmin sebut sebagai kebijakan ekonomi ruang ketiga: perbaikan institusi ekonomi.

Kebijakan ekonomi ruang ketiga ala Darmin bukan hanya menyasar pada institusi lain, tetapi juga di internal Bank Indonesia. Kesimpulan itu bisa kita temui pada bab-bab selanjutnya. Pada era Darmin, banyak kebijakan Bank Indonesia yang lahir dari kemauan melihat realita, bukan sekadar mengutak-atik teori dan model ekonomi belaka. Uniknya, kebijakan-kebijakan itu bahkan masih relevan hingga sekarang.

Misalnya saja pada isu devisa hasil ekspor (DHE). Mula-mula, Darmin mewajibkan eksportir untuk melaporkan DHE kepada Bank Indonesia. Supaya Bank Indonesia bisa mengukur seberapa banyak DHE yang masuk ke bank dalam negeri. Hasilnya mencengangkan. Ternyata, eksportir kita lebih suka menempatkan dananya di bank di luar negeri. Inilah alasan mengapa ketersediaan valas di pasar menjadi terbatas dan akhirnya menekan stabilitas nilai tukar Rupiah.

Agar eksportir tertarik menempatkan valasnya di dalam negeri, setahun kemudian Darmin menggagas penerbitan instrumen baru bernama Term Deposit Valas. Instrumen ini hadir untuk memberikan alternatif penempatan valas jangka pendek yang optimal bagi eksportir. Pasar uang valas dalam negeri menjadi semakin dalam dan bergairah, tercermin dari tingkat suku bunga valas yang kompetitif—lebih tinggi dari suku bunga valas di luar negeri.

Selain DHE, dalam buku ini kita juga akan menemukan banyak kebijakan non-konvensional bank sentral yang lahir dari pemikiran membumi seorang Darmin. Di antaranya adalah kebijakan transparansi suku bunga kredit perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit yang terlampau tinggi. Ada pula kebijakan multi-lisensi perbankan untuk membedakan dan membatasi kegiatan usaha bank berdasarkan modal inti—yang kita kenal sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU).

Tidak berhenti sampai di sana, kebijakan Giro Wajib Minimum Loan-to-Deposit Ratio (GWM-LDR) juga lahir di bawah kepemimpinan Darmin. Kebijakan yang bertujuan mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan itulah yang kemudian melandasi lahirnya kebijakan makroprudensial bernama Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang diterapkan hingga sekarang.

Di tataran Kantor Perwakilan Dalam Negeri, Darmin juga menanamkan tiga aspek penting selain fungsi pengedaran uang yang masih berjalan hingga saat ini: inklusi keuangan, pengendalian inflasi daerah, dan kajian ekonomi regional.

Tonggak perubahan fundamental juga diletakkan Darmin pada urusan internal. Misalnya saja, Darmin berani memodifikasi skema mutasi yang telah mengakar kuat selama puluhan tahun di Bank Indonesia. Pada skema lama, peran pemimpin satker asal dan pemimpin satker tujuan sangat kental, sehingga kesepakatan di antara keduanya kerap kali mengorbankan kepentingan institusi yang jauh lebih besar.

Dari kacamata Darmin, Bank Indonesia bukan hanya Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) saja, sehingga tidak boleh orang berkualitas hanya berkumpul di sana. Ada bidang lain yang juga memerlukan orang berkualitas agar organisasi tidak berjalan sebelah kaki alias pincang. Perimbangan kualitas sumber daya manusia (SDM) antar-bidang itulah yang melandasi reformasi kebijakan mutasi dan promosi di Bank Indonesia hingga kini.

Dalam buku ini Darmin juga bercerita soal kelemahan utama pegawai Bank Indonesia: tidak terbiasa berbeda pendapat. Kelemahan ini, menurut Darmin, mengemuka karena kemapanan pegawai Bank Indonesia dalam meyakini pemikiran-pemikiran miliknya. Seolah-olah pemikiran mereka paling benar dan tidak pernah salah. Darmin merasa kesulitan untuk meyakinkan mereka, bahwa di luar sana masih ada pemikiran yang sama baiknya atau bahkan lebih baik.

Padahal, kemampuan untuk bisa menerima pendapat dan bersikap positif terhadap benturan pemikiran adalah ciri karakter yang matang. Untuk menjawab isu ini, Darmin merancang skema rapat yang memungkinkan semua orang bebas berbicara tanpa terbelenggu oleh tingkat jabatannya. Darmin meyakini, ketika bicara substansi, ukurannya adalah substansi, bukan hierarki. Upaya ini secara perlahan mengubah budaya dan pola interaksi di Bank Indonesia menjadi lebih cair dan berwarna.

Pada akhirnya, buku ini menyampaikan urgensi kepada kita semua, bahwa kebijakan itu lebih bersifat seni ketimbang sains. Permasalahan ekonomi di negeri ini tidak bisa hanya ditangani oleh cara-cara simplifikasi-mekanistis. Terkadang, bank sentral harus mengambil langkah berani, yang tidak melulu selaras dengan teori, tetapi atas dasar keyakinan dan kemampuan melihat ke depan. Itulah cerminan pegawai bank sentral yang membumi di mata seorang Darmin.

Tidak banyak kritik yang bisa disematkan dalam buku ini. Satu-satunya kritik yang bisa diajukan ialah, pada beberapa bagian—misalnya pada artikel berjudul “Dilema Operasi Kembar”—Darmin terkesan enggan berbeda pendapat. Ini kontradiktif dengan pemikirannya yang mendorong agar pegawai Bank Indonesia lebih bersikap positif terhadap perbedaan pendapat.

Namun demikian, secara umum buku ini dapat melengkapi koleksi buku sejenis. Dua di antaranya ialah Bank Indonesia and the Crisis: An Insider’s View besutan Soedradjad Djiwandono (2005) dan The Mystery of Banking karya Murray N. Rothbard (2008), yang sama-sama menguliti bank sentral dari sudut pandang yang tidak biasa. Bahkan, karya Darmin boleh dibilang unggul dari sisi keterbukaan dan lebih mudah dicerna oleh semua kalangan pembaca.

Akhir kata, buku ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Meski sebagian besar bercerita mengenai sisik-melik dan seluk-beluk di Bank Indonesia, tetapi buah pikir yang terkandung dalam buku ini juga dapat digunakan oleh para pemimpin di lembaga pemerintahan dan institusi non-profit lainnya. Selamat membaca!

***

Judul Buku: Bank Sentral Itu Harus Membumi
Penulis: Darmin Nasution
Penerbit: Galang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-8174-78-7
Penulis Resensi: Adhi Nugroho

Menggagas Insentif PPh Kesehatan bagi Usaha Menengah



Silakan klik tautan berikut ini untuk mengunyah artikel secara utuh.

***

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Pajak yang diselenggarakan oleh DDTC News.

Pendidikan Bermutu Lahir dari Guru yang Berilmu



Saya bukan guru, tetapi saya gemar berbagi ilmu. Saya bukan pengajar, tetapi saya senang tatkala diminta mengajar. Saya juga bukan pendidik, tetapi saya peduli akan kapabilitas tenaga didik.

Inilah secuil opini, upaya, dan pitawat saya bagi kemajuan pendidikan Indonesia.


*** 

Setiap peradaban dibangun dari pendidikan.

Kata-kata di atas bukanlah pendapat saya, melainkan buah pikir Andrew Targowski, seorang ilmuwan berdarah Polandia-Amerika. Di kalangan akademisi, ia dikenal luas sebagai pencetus teori peradaban. Menurutnya, faktor utama dalam membangun peradaban yang unggul adalah dengan meletakkan pendidikan pada pondasinya.

Kita boleh percaya, boleh juga tidak. Namanya saja teori, bukan firman Tuhan yang mesti kita imani. Akan tetapi, menilik fakta yang ada, tampaknya kita harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Targowski benar adanya. Setidaknya untuk saat ini.



Data CEOWORLD Magazine berbicara, sepuluh besar negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia merupakan negara maju. Inggris menempati peringkat pertama, disusul oleh Amerika Serikat dan Australia. Di bawahnya, berderet negara-negara Eropa Barat macam Belanda, Swedia, Prancis, dan Jerman.

Sajian data di atas menyodorkan seutas benang merah kepada kita. Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan peradaban yang maju. Siapa yang serius menata pendidikan, dialah yang akan menciptakan peradaban gemilang.

Lantas, di mana posisi Indonesia?



Masih dari survei yang sama, kualitas pendidikan kita berada di peringkat ke-70 dari total 93 negara. Bukan yang terburuk, tetapi cukup mengkhawatirkan bagi bangsa kita yang bercita-cita masuk ke dalam lima besar ekonomi dunia pada 2045 nanti. Pertanyaan besarnya ialah, akankah harapan itu bakal terwujud?

Bisa ya, bisa juga tidak. Semua bergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Yang jelas, jika kita benar-benar serius ingin menjadi bangsa yang maju, maka memajukan kualitas pendidikan menjadi prasyarat utama yang tidak bisa dinafikan begitu saja.



 

Menyoal pendidikan di dalam negeri, kita tidak bisa memisahkannya dengan perkembangan zaman. Idealnya, semakin deras arus informasi beredar, semakin cepat pula ilmu pengetahuan termutakhirkan.

Misalnya, begini. Sepuluh tahun lalu, kecerdasan buatan (artificial intelligence) mungkin hanya menjadi diskursus di kalangan ilmuwan dan perekayasa (engineer) semata. Sekarang, kecerdasan buatan telah menjadi salah satu cabang ilmu yang paling banyak dicari pemberi kerja.

Apa sebab? Kemajuan teknologi menjadi kausanya.

Perkembangan teknologi itu ibarat lompatan kuantum (quantum leap). Ada selang waktu hampir 200 tahun di antara penemuan mesin uap (1769) dan penciptaan mesin komputer (1945). Namun, sejak komputer ditemukan, kita hanya perlu waktu 24 tahun saja untuk melahirkan jaringan internet (1969).

Oleh sebab itu, pendidikan bukanlah kitab suci yang selalu benar sepanjang waktu. Justru sebaliknya. Pendidikan yang baik itu bersifat dinamis dan cepat berubah—secepat perubahan zaman dan teknologi itu sendiri.



Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti yang tidak bisa kita mungkiri. Pandemi korona memaksa dunia pendidikan berubah dalam sekejap. Aktivitas belajar-mengajar mesti dilakukan dari jarak jauh supaya menekan risiko penularan virus mematikan itu.

Imbasnya, kita semua ikut merasakannya. Dari semula tatap muka, berubah menjadi tatap layar. Dari tadinya papan tulis, berganti menjadi papan kibor. Guru kepayahan, siswa kesulitan. Keduanya sama-sama belajar, bagaimana proses transfer ilmu tetap berjalan meski dibatasi segudang tantangan.

Orang bijak pernah berkata. Siapa yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, dialah yang akan keluar sebagai pemenang.

Ya, adaptasi. Satu kata yang cukup mudah dilafalkan tetapi belum tentu gampang dilakukan.

Mengapa saya sebut tidak gampang? Karena setiap proses beradaptasi memerlukan pengorbanan, keuletan, kegigihan, dan kemauan yang kuat.

Memakai masker, misalnya. Semula merasa risih, lama-lama jadi terbiasa. Sekarang, saya pribadi seperti merasa “telanjang” apabila keluar rumah tanpa menggunakan masker. Sebuah perasaan yang tidak pernah terlintas dalam pikiran sebelum pandemi.

Belajar-mengajar sama saja. Sering tersiar kabar para siswa kesulitan mencerna pelajaran gara-gara merasa terbatasi dengan diberlakukannya program sekolah dari rumah. Di sisi sebaliknya, guru pun mengamini bahwa tingkat kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran jauh menurun, terutama pada masa awal pandemi.

Itulah yang saya maksud dengan “ketidakmudahan beradaptasi”. Tapi ingat! “Tidak mudah” berbeda makna dengan “mustahil”. Alah bisa karena biasa. Jika guru dan siswa sama-sama bersabar melewati proses adaptasi tadi, niscaya pandemi bukan lagi menjadi perintang bagi kemajuan pendidikan bangsa.



 

Pandemi memang menyusahkan banyak orang, termasuk bagi tenaga pendidik. Itu sudah pasti. Hanya saja, para pengajar tidak boleh berdiam diri meratapi nasib. Kalaulah sudi menengok sisi positifnya, pandemi semestinya kita jadikan momentum untuk beradaptasi dengan teknologi.

Omong-omong soal adaptasi, saya termasuk orang yang merasakan benar bagaimana teknologi mengubah cara mengajar. Beberapa tahun ke belakang, saya kerap diminta mengajar di berbagai kelas kepenulisan. Kebetulan, saya memang hobi menulis. Bagi saya, mengajar ilmu menulis sama asyiknya dengan menulis itu sendiri.



Pihak penyelenggara pun bermacam-macam. Mulai dari kantor sendiri, komunitas menulis, hingga perusahaan rintisan. Sebelum pandemi, hampir seluruh kelas digelar dalam format tatap muka. Sejak Maret kemarin, keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat. Kini, semua kelas menulis bergulir di ruang virtual.

Pada awalnya saya merasa aneh. Betapa tidak? Saya tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah peserta. Padahal, respons peserta adalah salah satu hal yang paling saya sukai ketika bercuap-cuap di depan orang banyak.

Bukan apa-apa, jika raut wajah peserta mengisyaratkan kebingungan, maka saya bisa segera mengulang materi. Di ranah digital, keistimewaan itu tidak bisa saya dapati. Air muka peserta terbatasi oleh nyala tidaknya fitur kamera dan jumlah slot kamera yang bisa ditampilkan dalam satu layar.



Akan tetapi, berbagai halangan itu mesti saya lalui. Saya mesti beradaptasi dengan cepat, bagaimana bisa berbagi ilmu di ruang maya sebaik dan seefektif ketika bertatap muka. Saya yakin, hal serupa juga menjadi dilema dan tantangan bagi guru atau tenaga pengajar, selama pandemi belum angkat kaki.

Bagi saya, kuncinya ada tiga.



Pertama, bersabar. Jika seseorang dijejali suatu hal yang baru, maka ia perlu bersabar menelan kesalahan atau kekeliruan. Jangan lupa, seseorang harus melakukan hal yang sama berulang-ulang kali sebelum akhirnya menyandang status ahli.

Binaragawan, misalnya. Ia harus mengangkat beban berulang kali sebelum otot-ototnya menjadi kekar. Sama halnya dengan pengajar virtual. Ia mesti melewati banyak jam terbang sebelum bisa mengerti apakah ilmu yang disampaikannya bisa diserap oleh pelajar.

Singkat kata, jangan takut mencoba dan melakukan kesalahan. Karena hanya dari kesalahan-lah, kita bisa paham mana yang dikatakan sebagai kebenaran.

Kedua, belajar mengoperasikan perangkat digital. Seperti disinggung sebelumnya, digitalisasi bukan lagi menjadi opsi. Ia telah berubah menjadi kebutuhan. Sejak pandemi—dan saya yakin kondisi ini akan berlanjut bahkan setelah pandemi angkat kaki—jalannya proses belajar-mengajar akan sangat bergantung pada ketersediaan perangkat digital.

Oleh karenanya, seorang pengajar dituntut cakap mengoperasikan gawai digital. Empat belas tahun lalu, ketika saya masih duduk di bangku S-1, laptop belum menjadi kebutuhan primer. Sekarang, keponakan saya yang berusia 7 tahun sudah diwajibkan memakai laptop untuk belajar dan mengerjakan tugas.

Maka dari itu, seorang pengajar harus lebih pandai mengoperasikan perangkat digital dibanding pelajar. Jika tidak, bagaimana mungkin Sang Pengajar bisa mentransfer ilmunya secara utuh? Ini yang menjadi catatan tersendiri bagi pengajar era digital.

Terakhir, senantiasa menimba ilmu. Idealnya, seorang pendidik harus lebih banyak tahu dibanding yang dididik. Sebaiknya, setiap pengajar harus lebih banyak menguasai ilmu ketimbang pelajar. Itulah prinsip dasar belajar-mengajar.

Jika kita kaitkan prinsip di atas dengan perkembangan teknologi, maka tuntutan bagi seorang pengajar era digital akan lebih berat dibanding era konvensional. Pasalnya, arus informasi datang begitu cepat. Sumber ilmu bukan diperoleh dari diktat lawas semata, tetapi juga dari data-data yang berserakan di jagat maya.

Oleh sebab itu, seorang pengajar dituntut untuk senantiasa mengasah kemampuan. Seorang guru diwajibkan tahu banyak hal, sekalipun itu bukan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang pendidik harus tahu berita terkini, lebih dari apa yang diketahui oleh orang yang dididiknya.

O ya, mengajar itu ada ilmunya, Kawan! Bukan asal mengajar atau berbagi ilmu secara asal-asalan. Di balik kegiatan mengajar, ada seni menyusun materi ajar, memahami situasi yang tengah dialami pelajar, hingga menetapkan tujuan pembelajaran.

Di sinilah pentingnya menguasai pedagogi atau seni mengajar.



 

Di tengah pandemi, jiwa pedagogi guru bakal diuji. Pasalnya, aktivitas belajar-mengajar jarak jauh bukanlah perkara yang mudah untuk dilakoni. Namun demikian, pandemi sebetulnya juga menghadirkan banyak peluang. Tanpa pergi ke sekolah, guru punya lebih banyak waktu luang untuk mengasah kemampuan.

Pertanyaannya, ke mana dan dengan cara apa guru mengasah keterampilan pedagoginya?

Untungnya, teknologi telah menghadirkan banyak kemudahan. Sekarang, guru bisa meningkatkan kualitas pengajaran tanpa harus keluar rumah dengan mengakses GuruInovatif.id. Dengan kata lain, Guru Belajar Mengajar di GuruInovatif.id.

GuruInovatif.id adalah platform berbasis website yang menyediakan kursus, pelatihan, dan sertifikasi secara daring (online) bagi guru di seluruh Indonesia. Secara singkat, platform yang dibesut oleh HAFECS ini ibarat Tempat Belajar Guru di ranah digital.


GuruInovatif.id menyediakan ratusan video pengajaran dan pembelajaran secara cuma-cuma untuk para guru di seluruh Nusantara. Melalui video tersebut, para pengajar bisa meningkatkan kemampuan pedagogi. Mulai dari level yang paling dasar, hingga ke tingkatan yang paling tinggi.

Lantas, apa saja materi yang tersedia di GuruInovatif.id?

GuruInovatif.id menyediakan tiga jenis kursus daring (online course). Mulai dari Mini Course, Productivity Course, dan Online Certification. Supaya jelas, ayo kita ulas satu per satu.



 

Sesuai namanya, kursus ini berisi dasar-dasar pedagogi bagi guru. Hingga artikel ini diterbitkan, ada 18 modul yang bisa kita pilih. Ada Cara Mengajar dengan Contextual Learning, Teknik Menggunakan Revised Bloom Taxonomy untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa, Kiat Mengajar Efektif di Kelas, dan masih banyak lagi. Silakan teliti lebih lanjut infografis di bawah ini.



Dari sekian banyak kursus yang tersedia, mata saya tertambat pada satu modul bernama Peran Kompetensi Pedagogy & Pentingnya Literasi Abad 21. Pasalnya, pengajar modul yang berdurasi 2 jam itu tidak lain dan tidak bukan adalah Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.

Sang Profesor yang kini bertugas sebagai Executive Chairman UNESCO Indonesia itu pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan SMA Labschool Jakarta, tempat saya mengenyam pendidikan sewaktu masih remaja. Menonton beliau mengajar, rasanya seperti kembali duduk di bangku SMA.

Meski usianya tidak lagi muda, semangat beliau dalam mengajar tidak pernah redup sedikit pun. Pada kesempatan itu, beliau menggarisbawahi pentingnya kemampuan pedagogi bagi guru dalam memahami, merancang, dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki siswa.



Selain itu, beliau juga menekankan tiga aspek kecakapan yang mesti diajarkan guru kepada siswa. Ketiga aspek itu adalah karakter, kompetensi, dan literasi dasar. Aspek inilah yang akan menentukan kesuksesan siswa pada masa depan.

Saya yang bukan guru saja mendapat banyak manfaat dari video tersebut. Betapa tidak? Apa yang diajarkan Sang Profesor adalah prinsip paling dasar dari kegiatan belajar-mengajar, terlepas apa pun bentuknya. Saya bisa menggunakan prinsip tersebut ketika diminta mengajar menulis di kemudian hari.

Kalau saya saja banyak beroleh manfaat, bagaimana dengan para guru? Sudah pasti sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan, kecakapan, dan keahlian mengajarnya.



 

Productivity Course adalah kursus Pelatihan Guru secara daring yang berisi kiat-kiat mengoperasikan aplikasi, sistem, dan perangkat lunak lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas kegiatan belajar-mengajar. Singkatnya, kursus ini ibarat “tutorial how-to” bagi guru agar proses transfer ilmu dapat berlangsung secara efektif.

Pada kursus ini tersedia 10 pilihan modul. Beberapa di antaranya adalah Rumus-rumus Dasar Pembuatan Excel, Cara Menggunakan Zoom untuk Mengajar, Cara Menggunakan Whatsapp untuk Grup Belajar, dan Tutorial Membuat Absensi Online. Silakan telusuri lebih lanjut lewat infografis berikut.



Di antara semuanya, modul yang paling menarik di mata saya adalah Cara Menerbitkan Sertifikat Online Secara Otomatis.

Mengapa saya katakan demikian? Sederhana saja. Karena saya bekerja di lembaga negara yang gemar menyelenggarakan seminar ekonomi dan keuangan. Pada praktiknya, saya sering diminta mengurusi penerbitan sertifikat untuk para peserta seminar.

Nah, ilmu yang saya dapatkan dari modul di atas tentu sangat berguna untuk menunjang pekerjaan dan karier saya. Lagi pula, siapa juga yang tidak terbantu dengan fitur penerbitan sertifikat elektronik secara otomatis. Tentu ini akan meringankan beban kerja saya ketika didapuk jadi panitia seminar.

Manfaat yang sama juga bisa dirasakan oleh para guru. Beragam tip dan trik yang disediakan GuruInovatif.id bisa meringankan beban kerja guru ketika mengajar. Lebih dari itu, sudah tentu alur proses belajar mengajar menjadi efektif dan terasa lebih profesional.



 

Dari namanya saja kalian sudah bisa menerka. Online Certification adalah kursus yang berkaitan dengan program Sertifikasi Guru. Pada kursus ini, guru bisa mendalami materi ajar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Singkat kata, kursus ini hadir untuk membentuk pribadi guru yang berilmu, atau Teaching Mastery Framework.

Tersedia 15 modul pada kursus ini. Ada beragam Pedagogical Content Knowledge (PCK), yakni modul untuk memudahkan cara guru mengajar dan menumbuhkan semangat berinovasi dalam mengajar di kelas, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, atau SMA.



Ada pula berbagai modul tentang Higher Order Thinking Skill (HOTS), yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang tidak hanya memerlukan kemampuan mengingat, memahami, atau menerapkan saja; tetapi juga membutuhkan proses menganalisis, mengevaluasi, serta menciptakan. Keterampilan ini sangat dibutuhkan bagi kita yang hidup pada abad ke-21, termasuk kalangan guru.

Supaya lebih paham tentang PCK dan HOTS, silakan simak infografis berikut ini.



Lalu, mengapa sertifikasi penting bagi guru? Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya.

Pertama, bukti guru menguasai sebuah materi atau pelajaran yang diampu. Di dalam program sertifikasi, guru diminta mendalami bidang ilmu tertentu. Dengan itu, guru akan belajar banyak tentang seluk-beluk ilmu yang disertifikasi.

Nah, pada akhirnya, melalui guru yang berilmu, terciptalah pendidikan yang bermutu. Lewat guru yang berilmu, siswa dengan mudah menyerap ilmu. Inilah yang dibutuhkan bangsa ini apabila ingin maju.

Kedua, menunjang karier seorang guru. Seseorang yang ingin kariernya berkembang mesti tahu banyak hal, termasuk guru. Guru yang kemampuan pedagoginya baik, ilmunya banyak, dan cara mengajarnya apik; akan mudah mengajukan kenaikan pangkat. Itu sudah hukum alam sejak bumi diciptakan.

Di sinilah pentingnya program sertifikasi guru. Lewat program ini, guru bisa meningkatkan kemampuan, kapabilitas, dan keahlian dalam mengajar bidang ilmu tertentu. Singkat kata, kehadiran kursus Online Certification di GuruInovatif.id menempatkan derajat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini ke tingkat yang lebih tinggi.



O ya, satu lagi. Sebagai bukti bahwa kita telah menyelesaikan modul pelatihan di GuruInovatif.id, apa pun jenis kursusnya, kita bisa meminta administrator (admin) HAFECS untuk menerbitkan sertifikat elektronik. Caranya, klik saja pada menu yang tersedia di modul yang sudah kalian tuntaskan.

Nanti kalian akan terhubung dengan obrolan (chat) pada aplikasi WhatsApp. Segera sampaikan data diri dan modul yang telah kalian selesaikan, admin HAFECS akan menyampaikan sertifikat elektronik ke alamat surel terdaftar.



 

Sebelum saya tutup artikel ini, izinkan saya mengurai satu pitawat.

Kawan, pendidikan adalah prasyarat utama kemajuan suatu bangsa. Tanpa kehadiran pendidikan, mustahil kita bisa membangun peradaban yang maju dan bermartabat.

Oleh karenanya, memuliakan guru tidak hanya dilakukan dengan cara menghormatinya, tetapi juga menyediakan ruang baginya untuk terus belajar dan mengasah kemampuan.



Kehadiran GuruInovatif.id di kancah pendidikan digital Indonesia memberi peluang kepada kita semua, termasuk guru, untuk terus mengasah ilmu. Lewat berbagai kursus yang disediakan, tenaga pendidik bisa dengan mudah memperoleh ilmu kapan pun dan di mana pun dia suka. Cukup bermodal perangkat digital, akses ilmu bermutu bisa dikenyam.

Karena sejatinya, kapabilitas gurulah yang menjadi titik tumpu kemajuan pendidikan suatu bangsa. Jangan lupa, pendidikan yang bermutu hanya lahir dari rahim guru yang berilmu. Maka dari itu, selamat menempa diri dan menuntut ilmu, wahai pahlawanku. [Adhi]

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog yang diselenggarakan HAFECS dan GuruInovatif.id. Foto bersumber dari koleksi pribadi penulis dan situs GuruInovatif.id. Video bersumber dari akun YouTube milik HAFECS. Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Milenial dan Masa Depan Ekonomi Syariah Nasional





Rencana pemerintah menggabungkan (merger) tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah pada 1 Februari 2021 mendatang menuai banyak harapan. Pasalnya, langkah itu diyakini bakal membawa tatanan ekonomi syariah nasional ke level yang lebih tinggi.

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan pemerintah dalam praktiknya nanti: peran generasi milenial.

*** 

Di tengah angka kasus korona yang terus meningkat, umat muslim Indonesia bisa sedikit bernapas lega pasca mendengar kabar rencana merger tiga bank syariah pelat merah. Ketiga bank itu ialah BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan BNI Syariah.

Jika terealisasi, gabungan bank ini akan menjadi bank syariah terbesar nasional berdasarkan nilai aset, dan masuk ke dalam sepuluh besar bank syariah dunia dari sisi kapitalisasi pasar.

Langkah besar ini patut mendapat apresiasi. Pasalnya, selama ini kinerja bank syariah selalu tersembunyi di balik hegemoni bank konvensional. Meski penghimpunan dana dan penyaluran pembiayaan terus tumbuh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir pangsa pasar perbankan syariah nasional mandek di kisaran 6 persen.

Total aset perbankan syariah pada Juni 2020 tercatat Rp545 triliun. Bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan total aset bank konvensional yang mampu menembus angka Rp8.818 triliun pada periode yang sama.

Ernst & Young, kantor akuntan publik internasional, bahkan memprediksi pangsa pasar bank syariah nasional akan tetap berada di bawah 10 persen, paling tidak hingga lima tahun mendatang.

Oleh karenanya, keputusan pemerintah menyatukan tiga bank BUMN syariah diprediksi bakal menambah taji kinerja bank syariah dalam dinamika perekonomian nasional.

Hanya saja, cita-cita mendongkrak ekonomi syariah nasional tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Langkah peleburan tiga bank BUMN syariah ke dalam salah satu entitas pembentuknya, dalam hal ini BRI Syariah, perlu dibarengi dengan strategi bisnis jangka panjang yang mumpuni. Jika tidak, ekonomi syariah akan berjalan di tempat.

Menyoal arah pengembangan ekonomi syariah ke depan, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peran generasi milenial. Tahun ini saja, jumlah milenial Indonesia sudah menembuh angka 100 juta jiwa. Dengan kata lain, sepertiga total penduduk Indonesia didominasi generasi muda.

Seiring berjalannya waktu, jumlah milenial akan mendominasi struktur kependudukan kita. Apalagi, pada 2045 nanti, bonus demografi akan terjadi. Artinya, 70 persen penduduk kita akan berada di rentang usia produktif. Tentu ini perlu menjadi catatan tersendiri.

Kalau kita tilik hasil Survei Nasional Literasi Keuangan Nasional 2019 besutan OJK, sebetulnya jawabannya sudah tersedia. Rendahnya indeks inklusi keuangan syariah (9,10 persen) dan indeks literasi keuangan syariah (8,93 persen) menjadi kausa utama mengapa kinerja perbankan syariah seperti berjalan di tempat.

Padahal, potensi ekonomi syariah sangatlah besar. Dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia semestinya menjadi pusat ekonomi syariah, dengan perbankan syariah sebagai pondasi utamanya.

Besarnya potensi ekonomi halal sendiri termaktub dalam State of the Global Economic Report 2019. Menurut laporan tersebut, potensi ekonomi industri halal yang belum tergarap maksimal mencapai angka 2,2 triliun Dollar AS. Potensi itu tersimpan dari berbagai bidang usaha, mulai dari makanan, busana, pariwisata, obat-obatan, hingga kosmetik.

Oleh karenanya, bank syariah perlu benar-benar memahami transaksi dan produk perbankan seperti apa yang dibutuhkan generasi milenial. Sebab masa depan ekonomi syariah nasional berada dalam genggaman mereka.

Peran Milenial dalam Ekonomi Syariah


Satu hal yang pasti, generasi milenial kerap diasosikan sebagai pribadi yang kreatif, inovatif, dan cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Kombinasi ketiganya menjadikan produk-produk yang bersifat praktis, mudah, dan ramah pengguna (user friendly) pasti digandrungi kaum milenial.

Produk keuangan dan perbankan sama saja. Hasil studi Rossana dan Firmansyah (2019) dalam Analisis Rasch Pada Atribut Perbankan Syariah: Studi pada Generasi Milenial menyebut tiga aspek yang paling dipertimbangkan generasi milenial ketika memilih bank syariah adalah kecepatan, keramahan, dan kesesuaian dengan prinsip Islam.

Oleh sebab itu, ketiga faktor tadi mesti diperhatikan betul oleh perbankan syariah nasional dalam strategi bisnis jangka panjang. BRI Syariah, misalnya. Anak perusahaan BRI itu diganjar Top Brand Award 2019 pada kategori Tabungan Syariah.

Asal tahu saja, Top Brand Award adalah penghargaan paling tinggi untuk urusan merek dagang. Di tingkat nasional, tidak ada penghargaan yang lebih tinggi lagi.

Apresiasi ini patut dijadikan contoh untuk meningkatkan transaksi keuangan syariah milenial pada masa depan. Pasalnya, survei Top Brand Award dilakukan sendiri oleh konsumen. Oleh karenanya, upaya BRI Syariah memformulasi tabungan syariah yang pas bagi kalangan milenial bisa dijadikan acuan bagi perbankan syariah nasional.

Kalau kita teliti lebih dalam, ada tiga alasan mengapa generasi milenial memilih Tabungan Faedah BRI Syariah dalam bertransaksi.

Pertama, bebas biaya administrasi bulanan dan kartu ATM. Ini sejalan dengan hasil survei Cermati yang menyebut generasi milenial cenderung memilih tabungan yang minim—bahkan bebas—biaya. Prinsipnya, jika ada yang lebih hemat, kenapa harus pilih yang mahal?

Faktor kedua mengapa milenial gemar bertransaksi lewat BRI Syariah adalah ketersediaan kantor cabang dan ATM hingga pelosok negeri. Ini penting, sebab kalangan milenial senang dengan hal-hal serba praktis. Dengan puluhan ribu jaringan ATM di seluruh Nusantara, milenial bisa bertransaksi kapan dan di mana saja.

Ihwal ketiga yang mendorong minat milenial bertransaksi di BRI Syariah adalah ketersediaan layanan mobile banking. Ketika bertransaksi, mereka tidak perlu datang ke kantor cabang terdekat. Cukup ambil ponsel, segala transaksi bisa tuntas seketika. Tinggal klik langsung beres.

Apalagi, pandemi korona telah banyak mengubah gaya hidup kita. Dari semula tatap muka, menjadi lebih banyak di rumah saja. Dari semula saling berjabat tangan, menjadi saling memberi salam virtual.

Perubahaan kebiasaan inilah yang harus diperhatikan bank syariah nasional. Menjelang era komunikasi 5G, layanan perbankan tanpa cabang (branchless banking) menjadi suatu keniscayaan yang tidak boleh dialpakan.

Kalau boleh jujur, di sinilah tantangan sekaligus peluang terbesar bagi perbankan syariah nasional. Siapa yang beradaptasi dengan perkembangan zaman, dialah yang keluar sebagai pemenang dan menjadi motor penggerak ekonomi syariah nasional.

Pada akhirnya, sebagai konsumen, tentu kita berharap upaya merger tiga bank BUMN Syariah mampu menjawab kebutuhan transaksi milenial. Karena sejatinya, bank yang nantinya akan masuk ke dalam kelompok BUKU III itu semestinya tidak hanya menjadi bank syariah nasional terbesar semata, tetapi juga berperan sebagai lentera edukasi dan dakwah di bidang keuangan syariah. Semoga. [Adhi]

***
#ibmarcomm.id #shariabankingonlinefestival2020 #ojkindonesia #milenialasyikbertransaksisyariah #brisyariah #hidupharusberfaedah

Menjadi Bagian dari Lentera Masa Depan





Sorot mata lugu itu jatuh tepat di hadapanku. Wajahnya berseri-seri, tak sabar menanti giliran bersalaman. Sesekali ia tengok pengasuhnya yang tengah sibuk menata barisan.

Dari gerak-geriknya, tampaknya ia ingin berteriak meluapkan kegembiraan. Namun apa daya, keinginan itu terpaksa ia pendam lantaran khawatir pengasuhnya bakal datang membawa sempritan.

Lima menit berselang, tiba saatnya kami berhadapan.

“Yang terakhir, ya? Namamu siapa?” aku bertanya.

“Mukhlis, Pak,” jawabnya.

“Ini buat jajan Mukhlis, ya,” bisikku seraya menyodorkan amplop.

“Alhamdulillah,” timpalnya girang, “makasih, Pak.”

Ia pun berlari seraya mengepalkan tangan ke udara, bersorak-sorai penuh sukacita. Dari kejauhan, aku tersenyum lega.

*** 

Ramadan 2018. Ada yang berbeda pada bulan puasa kala itu. Biasanya, aku dan kawan-kawanku berbuka puasa bersama di kafe atau restoran. Namun, kali ini lokasinya sengaja kami alihkan ke Panti Asuhan Annajah, Petukangan, Jakarta.

Memajukan pendidikan. Itulah alasan kami berbagi rezeki dengan anak-anak panti asuhan. Mas Syarif, pengasuh di Panti Asuhan Annajah, bercerita bahwa anak asuhnya yang berjumlah 45 orang, semuanya berstatus yatim piatu dan berasal dari berbagai penjuru Nusantara.

Batin kami meringis saat mendengar cerita Mas Syarif. Betapa tidak? Anak-anak itu terpaksa putus sekolah lantaran kesulitan biaya. Padahal, pendidikan adalah satu-satunya jalan mendobrak kemiskinan.

Di usia yang begitu muda, mereka mungkin belum menyadari hal itu. Namun, kami tahu persis, tanpa pendidikan, hampir mustahil mereka bisa meraih masa depan gemilang. Rasanya sungguh keterlaluan jika kami yang sudah berpenghasilan enggan berbagi kepada mereka yang serba kekurangan.



Jujur saja, kami tak kuasa membayangkan. Betapa sedihnya mereka tiap kali bersua malam. Tanpa sosok orangtua, mereka dipaksa tegar meski usianya belum genap remaja. Dengan berbagi, sekalipun jumlahnya tak seberapa, paling tidak kami bisa sedikit meringankan beban penderitaan mereka.

Kita memang tidak boleh menghitung-hitung pahala. Itu hak prerogatif Allah semata. Namun, melihat mereka tersenyum bahagia itu sungguh melegakan jiwa.

Maka benarlah firman Allah dalam kitab-Nya:

“…Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” ~ QS. Al Hadiid: 7.

Apa yang kami lakukan dua tahun silam mungkin tidak akan mengubah nasib mereka dalam sekejap. Akan tetapi, kejadian itu betul-betul mengubah caraku bersikap.

Apalagi, sejak membaca rilis Bappenas yang menyebut ada sekitar 4,3 juta anak putus sekolah di Indonesia sepanjang 2019, kontan hatiku terenyuh. Tanpa pikir panjang, aku langsung ikut program orangtua asuh besutan lembaga donasi Islam yang terafiliasi dengan masjid di kantorku. 



Anak asuhku bernama Fathir Putra Fredyansha. Sejak Juni 2019, aku rutin menyisihkan sebagian penghasilanku untuk biaya sekolahnya.

Sekarang, Fathir bersekolah di SMP Adzkia Islamic School, Tangerang, Banten. Ayahnya seorang supir, ibunya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tanpa uluran tangan para dermawan, dirinya tidak bisa mengenyam pendidikan.

Namun, segala keterbatasan itu tidak membuat Fathir berputus asa. Prestasinya justru luar biasa. Asal tahu saja, ia tergabung dalam Divisi Dakwah OSIS dan didapuk sebagai Koordinator Fraksi Bahasa dan IPTEK di sekolahnya.

Untuk urusan menghapal Alquran, jangan ditanya. Ia sanggup melantunkan Surat Al Baqarah dan Juz 30 di luar kepala! Jadi, bagaimana hati ini tidak menangis jika ada anak sehebat itu terpaksa putus sekolah gara-gara masalah biaya.



 

Meski sampai sekarang aku belum pernah bertemu Fathir, tetapi semangatku dalam berbagi tak pernah pudar. Sebab pada era digital, donasi bisa kulakoni lewat sentuhan jari. Cukup ambil ponsel, dana santunan bisa dikirim seketika.

Memang benar, demi alasan kesehatan, kita tidak disarankan bertemu banyak orang. Memang betul, untuk mencegah penularan virus korona, kita juga diimbau tidak sering bertatap muka.

Namun, sekalipun pandemi terasa mengungkung diri, sudah sepatutnya kita tidak menghentikan kebiasaan berdonasi. Sebab teknologi telah membuat aktivitas transfer dana bisa dilakoni semudah menjetikkan jari.

Justru sebaliknya. Dalam situasi sulit, sekecil apa pun pundi-pundi yang kita sumbangkan, sudah pasti meringankan beban mereka yang tengah dirundung kemalangan.

Percayalah, Kawan. Dengan berbagi, justru kita tidak akan pernah merugi. Sebab Allah telah berjanji:

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya”. ~QS. Saba: 39.

Lagi pula, cara berbagi itu bermacam-macam. Jika tidak dengan harta, bisa juga dengan ilmu. Contohnya tiga bulan lalu. Aku diminta mengajar kelas menulis daring oleh salah satu komunitas. Kebetulan, aku memang hobi menulis. Mereka yang berminat ikut kelasku diwajibkan membayar Rp50 ribu.

Sejujurnya, aku kurang sepakat dengan keputusan penyelenggara menarik bayaran dari peserta. Karena bagiku, segala jenis ilmu, termasuk ilmu kepenulisan, semestinya bisa diakses setiap orang secara cuma-cuma.

Lantas, apa yang kulakukan?



Ada dua. Pertama, aku berikan beasiswa kepada 10 orang peserta. Teknisnya, aku mentransfer uang senilai Rp500 ribu ke rekening penyelenggara supaya 10 orang peserta tadi bisa ikut kelasku tanpa biaya.

Kedua, aku menolak diberikan honor barang sepeser pun. Aku niatkan semata-mata untuk bersedekah ilmu. Biarlah Allah, pemilik segala harta, yang mengganti semua jerih payahku. Harapanku cuma satu. Lewat berbagi ilmu, dunia kepenulisan digital bisa sedikit lebih maju.


 

Seperti kisahku di atas, era digital benar-benar memudahkan kita dalam berbagi. Hanya saja, dari sekian banyak lembaga donasi, mana yang betul-betul bisa kita percayai?

Jangan bingung. Sesuai Keputusan Menag No.333/2015, pilihlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang direkomendasikan BAZNAS dan memperoleh izin operasional dari Kemenag. Sebab LAZ terdaftar wajib diaudit oleh Kantor Akuntan Publik secara berkala. Dengan kata lain, penyaluran donasinya pasti terjamin.

Kalau sudah, pilih program donasi sesuai niat kita. Aku sendiri paling senang berdonasi di bidang pendidikan. Karena itulah aku memilih LAZ UCare Indonesia.




Yang menarik, LAZ binaan Yayasan Ukhuwah Care Indonesia ini punya program Semarak Yatim. Lewat program ini, kita bisa ikut mewujudkan mimpi puluhan—bahkan ratusan—anak yatim untuk masa depan yang lebih baik.

Masih ragu berbagi? Simak betapa mulianya cita-cita anak yatim binaan LAZ UCare Indonesia lewat video berikut.



Mengharukan, bukan?

Bagi LAZ UCare Indonesia, pendidikan memang jadi prioritas utama. Buktinya, dari total Rp4,77 miliar ZIS yang disalurkan, sekitar 55 persennya dialokasikan untuk pendidikan. Data ini tercantum dalam Laporan Pengelolaan Zakat 2019 milik LAZ yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat itu.

Jadi, tunggu apa lagi? Segera ambil ponselmu dan ikuti langkah-langkah berdonasi pada infografis di bawah ini.



Sebelum kuakhiri, izinkan aku mengurai satu pitawat. Kawan, jangan sampai pandemi meredupkan semangat berbagi di era baru. Ada jutaan anak menanti uluran tangan para dermawan. Jadilah bagian dari lentera masa depan mereka. Barangkali, donasi itulah yang bakal meringankan langkah kita menuju surga-Nya.

Selamat berbagi! [Adhi]



*** 

Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka Lomba Blog LAZ UCare Indonesia 2020.



Kerja dan Karya: Hidupku pada Era Adaptasi Kebiasaan Baru




Minggu malam. Sudah satu jam lebih aku terpaku di depan meja kerja, menatapi layar laptop yang sebentar lagi kehabisan dayanya.

Tapi, awas! Jangan terburu-buru salah sangka. Aku tidak sedang menonton seri podcast terbaru Deddy Corbuzier di YouTube ataupun memandangi foto-foto terkini Anya Geraldine di Instragram. Sama sekali tidak.

Yang tengah kulakukan adalah menyusun agenda selama seminggu ke depan.

Bukan apa-apa. Sejak pandemi korona tiba di Indonesia delapan bulan lalu, sejak saat itu pula aku mesti bekerja dari rumah. Aku yang hampir sepuluh tahun bekerja di kantor, perlu me-restart ulang pikiran dan kebiasaan agar bisa bekerja secara optimal pada era adaptasi kebiasaan baru.

Dan, inilah secuil kisah hidupku…

*** 

Aku bekerja di Bank Indonesia. Lembaga negara yang bertugas menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Institusi bangsa independen yang berwenang dalam merumuskan dan menetapkan tiga kebijakan utama di bidang perekonomian: moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran.

Sebagaimana imbauan Presiden Joko Widodo kepada kementerian dan lembaga negara agar menerapkan kebijakan bekerja dari rumah bagi karyawannya untuk mencegah penularan virus korona, kantorku juga menerapkan hal serupa. Aku termasuk salah satu di antara ribuan pegawai Bank Indonesia yang berpindah meja kerja dari kantor ke rumah.

Kalau pembaca bertanya kepada diriku apa rasanya bekerja dari rumah, tentu nuansanya sangat jauh berbeda.

Jikalau di kantor aku bisa berdiskusi secara tatap muka dengan sejawat, kini segala bentuk komunikasi nyaris dilakukan di ranah virtual. Jikalau di kantor aku bisa bertanya kepada senior atau atasan tiap kali menemukan kendala di tengah pekerjaan, kini aku mesti memutar otak lebih keras lantaran ruang tanya jawab virtual begitu terbatas.

Sulit? Sudah pasti. Pusing? Tentu saja. Akan tetapi, bukan berarti mustahil dijalani.

Ibarat pepatah, alah bisa karena biasa. Ketika dijalani berulang kali dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, segala hal yang semula jadi tantangan kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi deretan peluang.

Yang kumaksud dengan “peluang” adalah kesempatan memiliki kebiasaan baru yang bernilai positif. Sebentar. Positif? Gak salah?

Iya, aku paham. Korona memang tidak menyenangkan banyak pihak. Kita tidak bebas pergi ke sana kemari lantaran khawatir terserang virus mematikan ini. Jangankan nongkrong bersama teman-teman, Lebaran tahun ini saja kita gagal pulang kampung. Benar, kan?

Well, itu kalau kita melihat pakai kacamata negatif. Hidup terus berjalan, Kawan. Di satu sisi, waspada itu penting dan sangat dianjurkan. Namun, jangan sampai kewaspadaan kita menghentikan semangat bekerja atau berkarya. Itu yang terpenting.

Kalau boleh jujur, pandemi korona memang menumbuhkan kebiasaan baru dalam diri setiap orang. Pada tataran yang paling sederhana, menerapkan protokol kesehatan 4M: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari keramaian.

Di bidang pekerjaan, ada beberapa hal positif yang bisa kukemukakan ke hadapan pembaca budiman. Yang kurasakan paling tidak ada empat hal.


Empat Hal Positif Selama Bekerja dari Rumah


Pertama, lebih pandai mengatur jadwal. Seperti yang kusebut pada tutur pembuka artikel, aku jadi terbiasa mengatur jadwal bekerja. Paling tidak selama seminggu ke depan.

Maklum saja, Kawan. Kita yang bekerja dari rumah pasti paham bahwa kuantitas agenda rapat atau seminar virtual melonjak tajam saat pandemi datang. Itu bisa kita lihat dari harga saham Zoom Communication Inc. di pasar modal yang meningkat hingga 200 persen dibanding saat pertama kali melantai di bursa.

Sejak bekerja dari rumah, aku sering dihadapkan pada agenda rapat virtual yang super padat. Bisa empat hingga lima kali rapat dalam sehari. Lebih-lebih dari jadwal minum obat, bahkan. Sekali rapat bisa memakan waktu satu hingga dua jam.

Kalau tidak diatur atau ditata dengan baik, bisa-bisa ada agenda rapat yang bertabrakan. Ini yang ingin kuhindari. Maka dari itu, saban Minggu malam, aku selalu mengecek kembali jadwal rapat untuk seminggu ke depan.

Jika ternyata ada yang bertabrakan, aku punya kesempatan untuk mengatur ulang. Dengan demikian, semua agenda kerja dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak ada satu pun yang terlewat.




Kedua, lebih pintar berkomunikasi. Ketika bekerja dari rumah, sebagian besar komunikasi dan koordinasi dengan rekan sejawat aku lakukan dalam bentuk digital. Entah itu lewat surel ataupun obrolan Whatsapp (WA).

Nah, seorang pekerja dari rumah dituntut untuk bisa mengomunikasikan ide dan gagasannya dengan baik lewat untaian aksara. Jangan lupa, salah memilih kata atau frasa bisa berujung keliru makna. Kalau yang merasa keliru adalah atasanmu, bisa-bisa kena omelan. Aih, jangan!

Maka dari itu, aku jadi terbiasa menyusun aksara dengan lebih cermat dan teliti. Caranya dengan mengasah kemampuan menulis dan berkomunikasi. Misalnya, jangan samakan mengetik pesan kepada bos dengan menyusun obrolan dengan sohib. Itu jauh berbeda.

Misal, Si Bos meminta kita menyiapkan laporan. Sayangnya, saat itu kebetulan kita sedang mengerjakan tugas lain yang bersifat lebih mendesak. Dari empat contoh jawaban di bawah, kira-kira mana yang lebih pantas kita sampaikan kepada atasan lewat WA?

[A] Yaaah… Ga janji ya, Bos… Lagi ngerjain yang lain, nih.

[B] Bentar. Lagi tanggung, nih.

[C] Jangan sekarang, Pak. Saya sedang ngerjain tugas yang lain, nih.

[D] Baik, Bapak. Tapi sebelum itu saya mohon izin. Permintaan Bapak akan saya kerjakan setelah saya menyelesaikan tugas yang lain, yang tenggatnya kebetulan jatuh pada hari ini.

Kamu bisa menebak, kan? Jika kita berada di posisi atasan, maka jawaban [D] yang paling enak didengar. Itulah pentingnya menguasai teknik berkomunikasi, Kawan!

Ketiga, lebih cerdas bersyukur. Kita yang masih bekerja saat pandemi korona melanda, sudah sepatutnya bersyukur. Mengapa? Karena jutaan saudara kita di luar sana tidak seberuntung kita.

Kalaulah sudi mengulik data, maka kita akan menganga. Kementerian Tenaga Kerja, sebagaimana dilansir Kompas (4/8), menyebut lebih dari 3,5 juta pekerja terpaksa di-PHK dan dirumahkan gara-gara korona. Sementara itu jutaan pelaku usaha dikabarkan tutup usaha atau sedikitnya mengalami penurunan omzet akibat minimnya aktivitas di luar rumah.




Maka dari itu, sudah sepatutnya kita bersyukur. Kita masih dipercaya menjadi karyawan di saat orang lain banyak kehilangan pekerjaan.

Dan, rasa syukur itu tidak cukup kita tunjukkan dengan menyebut “alhamdulillah” saja, tetapi juga harus dibarengi dengan bekerja keras. Semakin produktif, semakin baik. Kalau bisa, buah karya kita seyogianya tidak hanya diniatkan untuk memenuhi tugas kantor belaka, tetapi juga punya makna dan manfaat bagi bangsa.

Berbekal rasa syukur itu, maka tiba saatnya kuungkap hal positif yang keempat: bisa berkarya dari mana saja.


Berkarya dari Mana Saja


Segala hal dalam kehidupan memerlukan keseimbangan. Begitu pula dengan ihwal pekerjaan. Tidak baik bekerja siang-malam terus-menerus jika tidak diimbangi dengan melakukan hobi yang membuat kita senang.

Bicara soal hobi, aku sangat suka menulis. Bahkan lebih dari itu. Bagiku, menulis bukanlah sekadar hobi yang menyenangkan tetapi juga media untuk menyalurkan gagasan dan berprestasi.

Uniknya, dengan bekerja dari rumah, waktu bekerja jadi lebih fleksibel. Asalkan tugas sudah kelar, aku bisa menyalurkan hobi menulis dengan tenang. Aku pun bisa menulis dari mana saja, asalkan kuota internet masih tersedia.

Tidak seperti dulu saat bekerja dari kantor, aku mesti menunggu jam pulang kerja untuk bisa menulis. Sekarang, waktu menulis jadi lebih bebas. Sekali lagi, asalkan pekerjaan kantor sudah selesai dikerjakan.

Berbicara soal menulis, aku tidak pernah membatasi diri dalam berkarya. Apa pun medianya, asalkan sejalan dengan ide dan gagasan, semuanya aku gunakan. Nah, berkaitan dengan dunia tulis-menulis, ada empat media yang biasa aku pergunakan untuk berkarya.


1. Menulis Opini di Surat Kabar


Lantaran bekerja di bidang yang bersinggungan erat dengan ekonomi, aku terbiasa memiliki ide dan gagasan tentang ekonomi. Nah, supaya ide itu tidak terbuang sia-sia, makanya aku sering menulis di kolom opini surat kabar.

Selain kepuasan pribadi, tulisanku di surat kabar juga berfungsi sebagai media diseminasi kebijakan Bank Indonesia. Apalagi dalam kondisi pandemi, peran bank sentral begitu dibutuhkan dalam upaya pemulihan ekonomi. Salah satu karyaku bisa kamu baca di bawah ini.



Artikel yang tayang di harian Kontan pada 19 September 2020 di atas, adalah buah pikiranku tentang bagaimana memacu digitalisasi UMKM. Kita paham, bahwa UMKM adalah tulang punggung perekonomian.

Hanya saja, tidak banyak pelaku UMKM yang bisa mengadopsi teknologi digital. Padahal, pandemi korona memaksa pelaku usaha lebih banyak bertransaksi tanpa tatap muka. Berbekal isu tadi, aku mencoba menyodorkan gagasan bagi masyarakat Indonesia bagaimana cara memacu digitalisasi bagi pelaku UMKM.


2. Menulis Buku


Selain menulis opini di surat kabar, masa bekerja dari rumah juga kumanfaatkan untuk menulis buku. Biasanya, buku yang kutulis bertema selain ekonomi, seperti teknologi, inspirasi hidup, maupun cerita sosial. Sejak 2018 hingga saat ini, aku sudah menerbitkan tiga buah buku.

Buku pertama, Innovation for All (2018), bercerita tentang potensi kulit cokelat menjadi sumber alternatif energi terbarukan, untuk mengatasi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang jumlahnya terbatas. Buku kedua, Inspirasi untuk Indonesia (2019), bercerita tentang kisah hidup Tung Desem Waringin, seorang motivator yang mengajarkan pentingnya berhemat untuk ketenangan hidup.




Buku terbaru, Impianku untuk Indonesia (2020), bercerita tentang mimpiku melihat Indonesia menjadi negara maju dan upaya yang harus kita tempuh untuk mewujudkannya.

Sebagai informasi, buku itu baru saja rilis pada April 2020, ketika Indonesia sudah terdampak virus korona. Karena itu, penting bagi kita untuk terus bermimpi dan berupaya keras mewujudkan mimpi itu, agar kelak Indonesia bisa menjadi negara maju saat era pandemi berakhir.

Ya, menulis buku adalah salah satu caraku menuangkan gagasan atau buah pikir, sekaligus tetap produktif selama bekerja dari rumah. Dengan berbagi tulisan, mana tahu ada pembaca yang terinspirasi atau mengambil manfaat dari tulisanku. Terlepas dari itu semua, paling tidak, aku tidak berdiam diri saja melihat negeri yang kucintai sakit diterpa korona. Itu saja.


3. Mengajar Kelas Menulis Daring


Tidak hanya menulis, beberapa kali aku juga mengajar kelas menulis. Permintaan itu berasal dari beragam penyelenggara, mulai dari instansi pemerintahan, komunitas menulis, ataupun perorangan. Topiknya tentu tidak jauh-jauh dari menulis.

Ada belasan kelas menulis yang telah aku narasumberi. Sebelum pandemi, biasanya kelas ditata dalam format tatap muka. Sekarang, seluruhnya mengandalkan aplikasi rapat virtual di ranah maya.

Uniknya, justru tawaran mengajar lebih banyak kuterima saat pandemi berlangsung. Sepanjang 2020 saja, sudah ada empat kelas atau acara yang saya narasumberi. Rinciannya bisa kalian temui pada gambar di bawah ini.




Tentu saja, kisahku menjadi pengajar kelas menulis virtual tidak dimulai dari kebetulan. Aku menduga, mungkin karena orang lain melihat prestasi menulisku yang hingga kini jumlahnya di atas 60, sehingga mengundangku sebagai pengajar. O ya, rincian prestasi menulisku dapat dilihat di sini.

Meskipun menulis adalah proses yang tidak mengenal kata “pensiun”, dan karenanya hingga kini aku pun masih terus mengasah kemampuan menulis, tetapi berbagi ilmu tidak akan pernah keliru. Termasuk ilmu menulis. Oleh karena itu, inilah sedikit upayaku bisa bermanfaat bagi orang lain ketika bekerja dari rumah.


Teruslah Berkarya Selama Hayat Masih Dikandung Raga


Pandemi korona memang tidak menyenangkan. Namun, sebagai karyawan kita tidak bisa melepaskan diri dari kata berkarya. Karena secara harfiah, “karyawan” sejatinya memiliki makna “orang yang berkarya”. Selama hayat masih dikandung raga, jangan pernah berhenti menyajikan karya.

Karena hanya dengan berkarya-lah kita bisa terus menafkahi hidup di era yang penuh tantangan seperti ini. Bahkan, syukur-syukur kalau karya kita bisa mengangkat beban saudara kita yang tengah dirundung kesulitan. Itu lebih baik.



Sebelum kuakhiri artikel ini, kutitipkan satu pesan kepada pembaca budiman.

Dalam hidup, susah dan senang akan datang silih berganti. Itu sudah pasti. Namun demikian, manusia terbaik adalah mereka yang bisa mengarungi segala kondisi dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.


Maka dari itu, jadikanlah pandemi korona sebagai momentum mengasah diri agar menjadi pribadi yang siap menghadapi era adaptasi kebiasaan baru. Selamat bekerja dari rumah, Kawan! [Adhi]

***

Website perusahaan tempat penulis bekerja: https://www.bi.go.id/

Artikel ini diikutsertakan dalam Blog Competition yang diselenggarakan Xsis Academy dan Xsis Mitra Utama. Foto bersumber dari koleksi pribadi penulis. Sedangkan olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.