Beranda

Navigation Menu

Kota Cerdas Berbasis Sensor Sanitasi, Wujudkan Warga Sehat Melalui Teknologi

Senyum Andi kembali semringah. Pagi itu, ia bahagia menatap notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya. Warnanya hijau tua. Artinya, kesehatan diri dan keluarganya berada dalam kondisi prima.
Sebagai kepala keluarga, tentu saja ia riang gembira. Kesehatan istri dan dua anaknya adalah yang utama. Ia sangat bersyukur. Hidupnya benar-benar berubah sejak pemerintah kota memasang sensor sanitasi pintar di kediamannya.
Setiap hari, pusat kendali data di tengah kota mengirim berbagai indikator kesehatan keluarganya lewat aplikasi. Ia bisa mengaksesnya kapan dan di mana saja. Tanpa perlu datang ke dokter, ia bisa memantau kesehatan istri dan buah hatinya.
Tak hanya itu, ia juga dapat melakukan upaya preventif bilamana indikatornya berubah warna menjadi kuning atau merah muda. Kuning untuk siaga, merah muda untuk waspada.
Artinya, ada potensi penyakit yang menyerang anggota keluarganya. Secepat kilat, ia bisa memesan obat yang tepat di apotek atau mengunjungi dokter dekat rumahnya.
Bekerja mencari nafkah untuk keluarga, kini bisa dilakukannya dengan hati lega.



~
Seperti Andi, teknologi sensor sanitasi pintar juga mengubah hidup Dewi. Sebagai seorang data scientist di Rumah Sakit Koja, tugasnya kini sangat ringan. Setiap petang, ia hanya perlu mengunduh hasil analisis data kesehatan warga yang dikirim oleh command center ke layar dashboard laptop-nya.
Data tersebut menyajikan berbagai indikator kesehatan dan pola penyakit yang berpotensi diderita oleh warga Jakarta Utara. Sekaligus daftar rekomendasi obat-obatan dan dokter spesialis yang sesuai dengan patron data hasil olahan komputer artificial inteligence.
Kini, tak ada lagi keraguan dalam benaknya. Ia bisa mengatur persediaan obat-obatan di apotek dan jadwal praktek dokter dengan tepat. Tak ada lagi cerita kehabisan obat atau ketiadaan dokter ahli yang dapat mengganggu kenyamanan pasien dalam berobat.



~
Mata Bambang berkilat-kilat melihat layar monitor yang berkedip-kedip di hadapannya. Meski malam telah pekat, semangat menegakkan hukum seketika membuncah dari pelipis kepala. Sebagai Kepala Satuan Narkoba Polres Jakarta Selatan, ia segera mengumpulkan jajarannya dengan penuh wibawa.
Indikator merah di layar monitor menjadi penyebabnya. Artinya, ada potensi penyalahgunaan narkoba di wilayahnya. Dari titik lokasinya, ia bisa menduga bahwa sebuah kafe di daerah Kemang yang menjadi sumber masalahnya.
Sama seperti Andi dan Dewi, teknologi sensor sanitasi pintar yang dipasang di sejumlah fasilitas umum telah menjadikan tugas Bambang lebih terarah. Bila layar monitor berubah menjadi merah, maka dapat dipastikan bahwa seseorang telah mengonsumsi narkoba.
Diiringi deru sirene, ia pun segera meluncur ke lokasi demi menyelamatkan generasi bangsa.


Jakarta Nelangsa

Seperti yang kalian duga, ketiga cerita di atas hanyalah imajinasi saya belaka. Tapi, jangan dulu dihina. Berilah saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Siapa tahu berguna. Boleh, ya?
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di Jakarta, saya merasa prihatin dan nelangsa ketika membaca data kesehatan. Polusi udara dan padatnya penduduk nampaknya membuat ibukota semakin tak layak huni. Pasalnya, semakin banyak penyakit yang datang menghinggapi warganya.
Adalah Laporan Profil Kesehatan DKI Jakarta terbaru keluaran Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang menjadi acuannya. Ambil saja Tuberkolusis (TB) paru sebagai contohnya. Tingkat kesembuhan penyakit jenis tersebut merosot, dari semula 80,59% pada tahun 2016 menjadi 77,26% pada tahun 2017.
Infeksi saluran pernapasan, seperti TB, memang menjadi momok bagi Jakarta. Hingga kuartal ketiga tahun ini, Dinas Kesehatan mencatat sudah ada 137.621 kasus. Tertinggi pertama setelah penyakit darah tinggi yang menyerang warga Jakarta sebanyak 172.163 kali.
Belumlah selesai masalah penyakit, generasi muda Jakarta juga terancam narkoba. Barang haram ini yang membuat kita berulang kali harus mengelus dada dan geleng-geleng kepala. Sebab, ada 50 orang meninggal setiap harinya karena penyalahgunaan narkoba.
Darurat narkoba juga terbukti dari data. Dilansir dari detikcom, Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Eko Daniyanto mengungkapkan bahwa terdapat 3.213 kasus narkoba yang terjadi di sepanjang bulan September 2018. Dari jumlah tersebut, Jakarta menempati peringkat pertama dengan 169 kasus, disusul dengan Sumatera Utara (126 kasus) dan Jawa Timur (81 kasus).

Sensor Sanitasi

Pada era digital seperti sekarang, pemanfaatan teknologi acapkali menjadi solusi atas berbagai permasalahan kota. Tidak terkecuali dengan perkara kesehatan dan narkoba seperti yang dialami Jakarta. Asalkan mau berimajinasi, bukan tidak mungkin dua masalah akut tersebut bisa lenyap tak bersisa.
Sejak beberapa tahun lalu, para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Amerika Serikat (AS), tengah menyelesaikan sebuah proyek yang dinamakan Underworlds. Penelitian berbiaya 4 juta Dollar AS itu bertujuan untuk mempelajari pola kesehatan manusia lewat saluran sanitasi.
Urin dan feses yang kita buang begitu saja, ternyata merupakan sumber informasi yang sangat kaya. Berbagai spesies bakteri, virus, mikroba, dan zat-zat kimia yang dikandungnya, dapat dijadikan data untuk mendeteksi berbagai macam penyakit dan gangguan kesehatan.
Nah, sensor pintar yang tengah dikembangkan untuk meneliti sanitasi manusia tersebut dinamakan Luigi. Alat ini bertugas mengambil sejumlah sampel kotoran manusia dari saluran sanitasi, serta mengirimnya ke pusat kendali data.
Berbekal teknologi kecerdasan buatan yang menjadi “otak” Luigi, mereka yakin dalam beberapa tahun ke depan, sensor berkuran mungil itu bisa menghasilkan data yang sangat berguna untuk memonitor kesehatan dan mengambil kebijakan, serta mendukung terciptanya Kota Cerdas.
Untuk lebih jelasnya, mari kita tonton video liputan The Economist di bawah ini.

Memanfaatkan Teknologi

Sekarang, mari kita berandai-andai. Jikalau Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia dapat memanfaatkan teknologi sensor sanitasi, maka masalah kesehatan dan narkoba, menurut saya, bisa tuntas.

Saya membayangkan sensor sanitasi pintar tersebut dipasang di setiap saluran pembuangan hunian, baik rumah apartemen, dan hotel. Tidak lupa, juga diinstal di saluran pembuangan fasilitas umum, seperti kafe dan pusat perbelanjaan.
Data yang terkumpul, kemudian dikirim ke pusat kendali data lewat teknologi awan (cloud technology), dan diolah lebih lanjut menjadi berbagai informasi yang berharga. Informasi ini kemudian bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak sesuai kebutuhannya.
Pertama, bagi warga. Setiap warga dapat memantau kondisi kesehatannya lewat aplikasi ponsel yang terhubung dengan pusat kendali data, seperti cerita Andi di atas. Ibarat tes urin, warga bisa mengetahui gejala penyakit yang dideteksi dari air seni. Seperti gangguan ginjal, demam, nyeri pinggang, kerusakan otot, gula darah, hati, dan lain-lain. Tanpa perlu repot-repot datang ke dokter!
Bagi wanita, sensor sanitasi ini juga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi kehamilan secara dini. Tanpa perlu membeli test-pack, kabar gembira bisa segera disampaikan kepada suami.
Kedua, bagi fasilitas kesehatan. Seperti cerita Dewi, fasilitas kesehatan—seperti rumah sakit, klinik, posyandu, dan apotek—dapat memanfaatkan informasi dari sensor sanitasi untuk kepentingan penyediaan obat-obatan dan tenaga medis yang lebih tepat.
Jika musimnya sakit flu, maka obatnya flu. Jika sedang wabah demam berdarah, maka obat demam berdarah pula yang akan distok. Tidak keliru apalagi tertukar. Dengan demikian, penanganan pasien akan lebih efektif dan rasio harapan sembuh akan membaik.
Ketiga, bagi aparat penegak hukum. Sepenggal kisah Bambang di atas menjadi contohnya. Sensor sanitasi bisa mendeteksi secara dini saat terjadi penyalahgunaan narkoba. Di mana pun pengguna berada, maka lokasinya dapat diketahui dengan serta-merta.
Sensor sanitasi pintar dapat mengetahui sekresi manusia yang mengandung zat berbahaya, seperti opiate/opioid, benzodiazepine, barbiturate, phencyclidine, ganja, metamphetamine, amphetamine, kokain, dan lain-lain.
Dengan demikian, upaya penegakkan hukum dalam memberantas barang haram tersebut menjadi lebih terukur dan terarah. Ujung-ujungnya, cita-cita menjadi kota bebas dari narkoba bisa kita amini bersama.
Terakhir, bagi pemerintah. Informasi yang dihasilkan pusat kendali data dapat digunakan untuk memantau kesehatan warga. Tentu saja digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan, agar makin tepat sasaran.


Bila pemanfaatan sensor sanitasi sudah terintegrasi dalam sebuah kerangka Smart City seperti imajinasi tadi, tentu banyak manfaat yang bisa dihadirkan. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, “Imajinasi adalah segalanya. Ia adalah pratinjau dari kehidupan di masa depan.”
Pertanyaannya, apakah kita merasa cukup dengan berimajinasi saja? Tentu tidak.
Oleh karena itu, mari bersama lakukan aksi nyata untuk mendukung pengembangan Kota Cerdas dalam menangkap potensi dan memecahkan masalah di kotamu. Ini ideku, mana punyamu?
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog “Ini Kota Cerdasku!” yang diselenggarakan oleh Majalah Info Komputer.



Referensi: Profil Kesehatan DKI Jakarta 2017, Detik.com, dan The Economist.



2 comments:

  1. Mantab banget yah bang klo gitu mah, semua berbasis digital hehe benar2 konsep kota cerdas nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, iya Bang. Terima kasih sudah mampir, Bang.

      Delete