Beranda

Navigation Menu

Edukasi Masa Kini untuk Si Buah Hati



Anak adalah anugerah yang dititipkan Tuhan kepada orangtua. Karenanya, mendidik anak menjadi kewajiban bagi orangtua. Sebab setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak sebagai bekal meraih masa depan.
Meskipun begitu, orangtua sering kali menemui kendala ketika mendidik anak. Salah satunya lantaran faktor generation gap atau celah generasi.
Apa yang dulu diajarkan, belum tentu sesuai dengan era kekinian. Apa yang dulu dianggap benar, boleh jadi dibilang aneh pada era digital. Singkat kata, kalau ingin anak Anda cerdas dan pintar, cara mendidiknya pun harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.


Sekarang, saya coba sodorkan satu contoh. Dua puluh lima tahun lalu, perangkat elektronik yang ada di rumah hanyalah televisi. Itu pun tidak berbayar atau dilengkapi kuota internet.
Alhasil, masa kecil kita dipenuhi dengan aktivitas fisik di luar rumah. Main karet atau kelereng adalah dua amsal sarana belajar untuk mengasah ketangkasan, bersosialisasi, hingga mencari hiburan.
Dewasa ini, segalanya berubah. Digitalisasi telah menyusup ke berbagai sendi kehidupan. Di kota-kota besar, karet dan kelereng sudah tidak lagi ditemukan. Perannya kini digantikan oleh gawai digital dengan beragam gim dan hiburan yang bisa diakses setiap orang, termasuk anak-anak.
Orangtua jadi serba salah. Melarang anak menyentuh gawai—seperti cara belajar mereka dahulu—ibarat merenggut masa depan anak. Pasalnya, gawai adalah gerbang informasi yang, bila digunakan dengan benar, bisa menunjang tumbuh kembang anak.


Sebaliknya, membebaskan anak bermain gawai tanpa kenal waktu juga berakibat buruk. Sundus (2018) dalam penelitian bertajuk The Impact of using Gadgets on Children menyebut anak yang sering bermain gawai berisiko terpapar sejumlah efek negatif.
Mulai dari keterlambatan berbicara (speech delay), kurang fokus, hiperaktif, perkembangan otak terhambat, cemas berlebih, depresi, obesitas, hingga watak buruk. Bahkan, bukan sekali-dua kali kita mendengar berita anak masuk rumah sakit akibat kecanduan bermain gim online.
Hanya saja, kita juga tidak bisa menafikan kenyataan bahwa kondisi dunia saat ini berbeda jauh dengan dunia yang dahulu. Kini, internet dan ponsel pintar lambat laun berubah menjadi kebutuhan dasar.


Rasmus, keponakan saya yang baru masuk SD, adalah salah satu contohnya. Ia sering meminjam ponsel ibu atau ayahnya untuk bermain gim. Belakangan, dia semakin pintar. Orangtuanya dibuat penasaran lantaran kuota data cepat habis.
Usut punya usut, rupanya Rasmus penyebabnya. Bosan main gim, ia pun mengakses YouTube untuk menonton kartun atau vlog anak-anak. Padahal, orangtuanya tidak pernah mengajari cara mengakses YouTube sama sekali. Ada-ada saja.
Apa yang terjadi pada Rasmus adalah gambaran umum anak-anak zaman sekarang. Survei IDN Research Institute pada 2019 menyebut 94,4 persen milenial, termasuk anak-anak, sudah terhubung dengan internet. Bahkan, 79 persen di antaranya dikatakan langsung membuka ponsel semenit setelah membuka mata!


Sayangnya, kecenderungan mengakses internet secara berlebihan semakin umum kita dengar. Ada 5,2 persen milenial muda yang mengakses internet lebih dari 11 jam per hari! Akibatnya, mereka dijuluki sebagai generasi pencandu internet atau i-generation.
Itu yang harus benar-benar dicamkan para orangtua agar buah hatinya tidak salah didikan.



Untuk mendidik anak pada era digital, orangtua tidak cukup sekadar pintar, melainkan harus pintar-pintar. Sebab hanya dengan pintar-pintar-lah orangtua bisa menyisihkan efek negatif internet, kemudian mengambil sisi positifnya saja.
Dengan kata lain, jadikan internet sebagai batu loncatan, bukan sebagai hambatan. Orangtua tidak boleh antipati, melainkan harus wawas diri. Untuk itu, kuncinya ada tiga: batasi, dampingi, dan ajari.

1. Batasi
Akademi Dokter Anak Amerika, dilansir dari The Asian Parent, menyebut orangtua harus membatasi penggunaan gawai pada anak, sesuai jenjang usia.
Anak usia 0—2 tahun dilarang menyentuh gawai! Pada masa ini, anak harus selalu didampingi oleh orangtua, khususnya ibu. Tidak boleh tidak. Sebab pada masa inilah anak wajib mendapat ASI eksklusif agar sehat jiwa raga.


Beranjak ke usia 3—5 tahun, anak mulai diperbolehkan mengenal gawai. Akan tetapi, waktunya harus dibatasi. Paling lama 1 jam per hari. Biar kata anak merengek minta ponsel, orangtua harus menolak dengan lembut. Berikan pengertian bahwa mengakses ponsel itu ada batasannya.
Ketika sudah memasuki usia 6—18 tahun, barulah anak diperbolehkan menggunakan ponsel dua kali lebih lama. Itu pun tidak sembarangan. Harus dilengkapi dengan dua catatan berikut.

2. Dampingi
Meskipun anak sudah boleh mengakses gawai, orangtua harus tetap mendampingi. Sebab kita tidak ingin anak mengakses aplikasi atau konten dewasa yang dapat berdampak buruk pada pembentukan karakter dan tumbuh kembangnya.


Yang jadi masalah, terkadang orangtua membiarkan anaknya mengakses gawai tanpa pengawasan. Alasannya satu: tidak tahan mendengar anaknya merengek atau menangis minta ponsel.
Supaya cepat diam, orangtua malah meminjamkan (atau bahkan membelikan) ponsel kepada anak. Ini keliru. Seharusnya, selelah dan sesibuk apa pun orangtua, anak tetap berhak mendapat pendampingan ketika mengakses ponsel.

3. Ajari
Pada dasarnya, anak selalu belajar dengan cara mencontoh apa yang dilakukan orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus ekstra hati-hati. Ketika orangtua main ponsel tanpa kenal waktu, anak pun akan meniru kebiasaan buruk orangtua.
Kalau Anda tidak ingin anak Anda menjadi pencandu internet, maka seyogianya Anda tidak keranjingan internet pula. Tunjukkan pada anak, bahwa gawai hanya dapat diakses untuk keperluan tertentu saja, seperti komunikasi, belajar, atau bermain (dengan batasan tertentu).


Selain itu, ajari aplikasi mana saja yang bisa diakses dan tidak boleh diakses anak lewat ponsel. Pastikan pula, kiat nomor dua selalu Anda lakoni ketika sedang memberikan waktu bagi anak untuk bermain ponsel.
Dengan ketiga langkah di atas, anak jadi paham cara menggunakan internet sejak usia dini. Itu penting sebagai bekal anak dalam mengarungi kehidupan dan menggapai cita-cita pada masa depan.
Efek negatif internet akan diredam. Karakter anak pun jadi tidak terganggu, sebab ada orangtua yang selalu menjadi pengawas dan pendamping. Sedikit demi sedikit, anak pun akan belajar bertanggungjawab dan menghargai apa yang dia miliki, termasuk akses internet.



Untuk melengkapi perkembangan jasmani dan rohani anak usia dini, terkadang peran orangtua saja tidak cukup. Ada beberapa keahlian (skill) yang perlu anak pelajari sejak dini. Boleh jadi orangtua tidak paham, sebab keahlian yang dibutuhkan pada zaman dahulu berbeda dengan era kekinian.
Supaya tidak tertinggal oleh laju perkembangan zaman, Conference Board of Canada (2014) menyarankan agar anak perlu diajarkan keahlian berikut:


Dari enam keahlian di atas, mari kita ambil satu contoh. Kerja sama, misalnya. Anak perlu berinteraksi dengan teman sebaya untuk mencapai sebuah tujuan. Biasanya, hal ini dipraktikkan dalam bentuk permainan beregu. Di rumah, boleh jadi hal itu tidak bisa anak dapatkan.
Oleh karena itu, lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi solusi terbaik dalam mendidik anak pada era digital. Supaya anak bisa mulai mengasah enam keahlian di atas sejak dini, sebelum melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Lantas, seberapa pentingnya PAUD bagi anak usia dini? Jawabannya, tentu saja sangat penting.
Usia 0—6 tahun adalah usia emas (golden age) bagi kehidupan manusia. Kemdikbud menyebut 80 persen perkembangan otak terjadi pada usia emas. Bila dididik dengan baik, anak memiliki harapan yang lebih besar untuk sukses di masa depan ketimbang sebaliknya.
Kalau kita kaitkan dengan tantangan pada era digital, peran PAUD jadi sangat vital. Seperti kajian Conference Board of Canada di atas, PAUD bisa menjembatani anak untuk mengenal keahlian digital sejak dini. Keahlian ini tentu akan sangat menunjang kehidupan anak ketika beranjak dewasa.


Untungnya, kita sudah semakin sadar akan pentingnya PAUD. Kemdikbud dalam Ikhtisar Data Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017/2018 menyebut angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 74,28 persen, meningkat hampir 2 persen dibanding tahun lalu.
Sejalan dengan hal tersebut, jumlah anak didik PAUD juga tumbuh pesat. Pada periode yang sama, ada 14,28 juta anak berusia 3—6 tahun yang duduk di kursi PAUD. Dibanding tahun lalu, jumlahnya meningkat sekitar 370 ribu anak.
Sajian data di atas tentu saja menggembirakan. Indonesia bisa optimis menatap mata depan. Sebab pendidikan anak bangsa sudah berada di jalur yang benar.
Namun demikian, banyaknya jumlah PAUD belum tentu menjamin kualitas pendidikan. Orangtua perlu lebih selektif dalam memilih PAUD kalau ingin buah hatinya tangguh menghadapi era digital. Awas, jangan salah pilih!
Maka dari itu, ada tiga kriteria yang harus diperhatikan orangtua ketika memilih PAUD.

1. Lokasi
Jarak antara PAUD dengan rumah adalah hal pertama yang perlu diperhatikan orangtua. Kalau bisa, jangan terlalu jauh. Lebih baik kalau berada di sekitar kompleks tempat tinggal.


Mengapa? Supaya memudahkan orangtua ketika mengantar dan mendampingi anaknya selama belajar. Selain itu, anak juga terhindar dari stres akibat terlalu lama di perjalanan. Lagi pula, kalau ada apa-apa, orangtua bisa segera merapat dengan cepat. Alhasil, anak senang, orangtua pun jadi tenang.

2. Pengajar
Sama seperti sekolah pada umumnya, kualitas pendidikan di PAUD sangat bergantung pada tenaga pengajarnya. Bila gurunya oke, PAUD-nya pun pasti oke. Sebaliknya juga demikian. Tatkala gurunya asal-asalan, jangan harap anak kita akan dididik dengan benar.


Oleh karena itu, kenali dulu siapa gurunya. Datang dan perhatikan betul bagaimana cara mereka mendidik anak-anak. Jangan anggap “yang penting PAUD” atau ikut-ikutan tetangga saja. Sebab itu akan memengaruhi masa depan anak Anda.

3. Kurikulum
Apabila tenaga pengajarnya sudah oke, sekarang, perhatikan apa yang diajari. Apakah materinya sudah cukup berimbang? Apakah cara mengajarnya bisa membuat anak mengeluarkan bakat dan potensinya? Dan, apakah kurikulumnya sudah cocok dengan tantangan era digital?
Bingung? Jangan khawatir. Tenang saja. Supaya tidak salah memilih PAUD, cermati sajian infografis di bawah ini.


Kata Triling & Fadel (2009), sebagaimana dikutip Iswari (2019) dalam The Challenge of Improving Special Education Quality in Digital Era, ada 15 perubahan paradigma dalam mengajar anak. Maka dari itu, kurikulum PAUD yang sesuai dengan era digital adalah kurikulum yang menerapkan paradigma di atas.
Saya udar satu contoh. Misalnya, paradigma kompetitif yang berubah menjadi kolaboratif. Para orangtua bisa meneliti, apakah PAUD mengajarkan anak mengenal rekan-rekannya? Apakah PAUD mendorong anak didiknya untuk saling bekerja sama? Kalau iya, itu satu contoh PAUD yang baik.
Lantas, PAUD mana yang paling baik? Kalau Anda tinggal di sekitar kawasan BSD Tangerang, Apple Tree Pre-School BSD adalah pilihan terbaik. Belum pernah dengar? Jangan khawatir. Anda berada di blog yang tepat. Tetaplah di sini. Ulasannya akan tersaji dalam beberapa alinea ke depan.



To educate young learners to perform well academically through experiential learning.
Itulah visi Apple Tree Pre-School BSD. Bagi saya, itu cukup menarik. PAUD yang satu ini bercita-cita menjadikan anak andal dalam akademik melalui pendidikan berbasis pengalaman. Kata kunci yang perlu digarisbawahi adalah pengalaman.
Ya, berbeda dari PAUD lainnya, Apple Tree Pre-School BSD mengajak anak terlibat dalam berbagai aktivitas didik. Mulai dari kegiatan belajar di kelas, bermain di luar kelas, kesenian, hingga pagelaran (events).


Dengan begitu, anak usia dini akan mengenal berbagai kegiatan baru, yang tidak bisa ia temukan di rumah. Tumbuh kembangnya akan dipenuhi dengan segudang kegiatan positif yang dapat mengasah kemampuan gramatikal, motorik, hingga kepedulian sosial.
Didirikan sejak 2000, Apple Tree Pre-School memang memiliki pondasi dan metode yang berbeda dengan kebanyakan PAUD. Hal itu, membuatnya menjadi yang terdepan di antara lembaga pendidikan anak usia dini lainnya. Setidaknya, ada 3 alasan mengapa Anda harus memilih Apple Tree Pre-School BSD untuk Si Buah Hati.

1. Kurkulum Berbasis Singapura
Singapura dikenal sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki pendidikan berkualitas tinggi. Tidak heran apabila kurikulum Singapura diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Apple Tree Pre-School BSD di Indonesia.
Di Apple Tree Pre-School BSD, anak akan dibekali dengan 11 keahlian dasar sesuai dengan kurikulum pendidikan di Singapura, seperti ditampilkan dalam infografis berikut.


Yang menarik, ada 3 bahasa yang diajarkan di Apple Tree Pre-School BSD: Inggris, Mandarin, dan Indonesia. Seperti yang kita tahu, bahasa Inggris dan Mandarin adalah dua bahasa yang umum digunakan di dunia. Alhasil, masa depan anak lebih cemerlang tatkala mampu berbahasa asing sejak dini.

2. Pilihan Kelas Sesuai Usia
Edukasi mesti diajarkan secara bertahap. Beda jenjang usia, beda pula ajarannya. Hal itu sangat dipahami Apple Tree Pre-School BSD dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini.
Oleh karenanya, ada 6 pilihan kelas yang bisa diikuti oleh anak usia 1,5—6 tahun. Mulai dari Toddler 1 & 2 (untuk anak usia 1,5—2 tahun), Pre-Nursery (2—3 tahun), Nursery (3—4 tahun), Kindergarten 1 (4—5 tahun), dan Kindergarten 2 (5—6 tahun).


Selain pilihan kelas yang beragam, Apple Tree Pre-School BSD juga menata kapasitas kelas agar sesuai dengan jenjang usia muridnya.
Di kelas Toddler, misalnya, jumlah anak dibatasi hingga 12 orang saja. Berbeda dengan kelas Pre-Nursery atau Kindergarten yang memiliki kapasitas hingga 16 dan 20 anak. Tentu saja, hal ini ditujukan agar materi dapat diserap oleh anak secara lebih optimal.

3. Variasi Program
Apple Tree Pre-School BSD memiliki beragam program untuk mengembangkan kemampuan akademik serta mengasah bakat Si Buah Hati. Tidak hanya terpaku di dalam kelas, segudang aktivitas di luar kelas juga masuk ke dalam kurikulum agar nilai-nilai sosial tumbuh pada diri anak.


Untuk mengembangkan kemampuan otak kanan, Apple Tree Pre-School BSD juga menyediakan sesi musik dan kesenian. Ada pula kelas olah tubuh seperti menari dan taekwondo. Juga sesi presentasi berkelompok dalam bentuk pagelaran pada setiap penghujung tahun ajar.
Berbagai program tersebut menjadikan proses belajar terasa lebih menyenangkan. Tanpa beban atau paksaan. Dengan begitu, bakat dan keahlian anak akan bisa dikembangkan secara optimal sehingga siap menghadapi era digital.



Dalam konteks pendidikan anak usia dini, era digital bukanlah suatu masa yang perlu ditakuti. Bukan pula era yang mesti dihindari. Sebaliknya, dengan pendekatan yang baik, era digital adalah pintu gerbang bagi anak dalam meraih kesuksesan di masa depan.
Untuk mempersiapkan anak menghadapi era digital, pendidikan wajib dimulai sejak dini. Peran dan kasih sayang orangtua di rumah tetaplah yang utama. Namun demikian, posisi PAUD juga tidak bisa dipandang sebelah mata.


Sebab apa-apa yang tidak bisa diajarkan orangtua di rumah, ada di PAUD. Gramatika, sosialisasi, hingga analitika dasar adalah beberapa hal yang dipelajari anak di PAUD. Itu adalah keahlian penting bagi anak untuk menghadapi era kekinian.
Hanya saja, sebagai orangtua, kita juga tidak bisa asal dalam memilih PAUD. Pilihlah PAUD yang benar-benar tepercaya dan memiliki kurikulum pendidikan yang baik, seperti Apple Tree Pre-School BSD.
Oleh karena itu, jangan ragu memilih #appletreeBSD sebagai bekal pendidikan anak dalam menghadapi era digital. Awas, jangan salah pilih! Sebab kita ingin melihat Si Buah Hati tumbuh menjadi pribadi jempolan, bukan? [Adhi]


***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Apple Tree Pre-School BSD Blog Competition bertema Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini dalam Era Digital.
Foto dan gambar yang ditampilkan dalam artikel ini bersumber dari koleksi pribadi, situs Pixabay, dan website Apple Tree Pre-School BSD. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Referensi:
[1] Sundus M. (2018), The Impact of using Gadgets on Children.
[2] IDN Research Institute (2019), Indonesia Millennial Report 2019.
[3] The Asian Parent, 10 Bahaya penggunaan Gadget bagi Anak di bawah usia 12 Tahun.
[4] Conference Board of Canada (2014), The Skills Needed in Digital Age.
[5] Kemdikbud (2019), Ikhtisar Data Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017/2018.
[6] Iswari M. (2019), The Challenge of Improving Special Education Quality in Digital Era.
[7] Apple Tree Pre-School BSD.

0 komentar: