Beranda

Navigation Menu

Bermodal Kreativitas, Jengkol Sumedang Bisa Naik Kelas

keripik jengkol kekinian

Bagi banyak orang, jengkol sering dianggap produk kampungan. Hanya saja, Imas Mintarsih (25) tidak seperti kebanyakan orang. Lewat tangan dingin dan ide kreatifnya, gadis asal Sumedang itu berhasil menyulap jengkol menjadi keripik kekinian. Setelah berulang kali menepis cibiran, kini ia bisa bertolak pinggang lantaran omzetnya telah menembus angka Rp30 juta dalam sebulan. 

*** 

Jengkol ibarat kotak pandora pangan Indonesia. Banyak yang menghujat, tetapi tidak sedikit pula yang memuja. Barisan penghujat menjadikan bau tak sedap sebagai alasan mengapa jengkol bukanlah sumber pangan yang baik untuk dikonsumsi. Sementara penggemarnya berdalih, jengkol tetap nikmat disantap apabila diolah dan diracik dengan cara yang tepat. 

Apa pun alasannya, faktanya jengkol tetaplah menjadi hidangan kelas dua bagi masyarakat Indonesia. Tidak ada restoran bintang lima yang berani menyajikan buah berbau menyengat ini sebagai menu utama. Peminatnya paling-paling mereka yang hobi makan di warteg atau rumah makan kaki lima. Mustahil rasanya memesan semangkuk semur jengkol saat santap malam di hotel bintang lima.

jengkol dihujat dan dipuja

Akan tetapi, fakta tersebut tidak menyurutkan langkah Imas untuk berjualan jengkol. Ia menggantungkan sumber rezeki dan penghasilannya dari sepetak kebun jengkol milik almarhum ayahnya di Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat. 

Sebagai seorang anak, awalnya Imas hanya ingin bantu-bantu orangtuanya saja. Maklum saja, kedua orangtuanya memang berprofesi sebagai petani jengkol. Penghasilannya pun tidak seberapa, lantaran jengkol bukanlah sajian yang disukai banyak orang. 

Harga jual jengkol mentah selalu kalah dibanding bawang putih, bawang merah, atau kacang panjang. Kalaupun naik, paling-paling disebabkan faktor musiman seperti jelang Lebaran. Sudah begitu, pohon jengkol tidak bisa berbuah sepanjang tahun. Musim panen jengkol hanya berkisar antara dua hingga tiga kali dalam setahun. 

Itulah sebabnya, banyak petani jengkol yang hidup pas-pasan, termasuk orangtua Imas. Lahan jengkol seringkali dianggap kurang menguntungkan. Untuk menambah pendapatan, menanam komoditas lain seperti kentang, buncis, dan kangkung; mafhum dilakukan oleh banyak petani jengkol di Sumedang.

keripik jengkol Sumedang

Akan tetapi, Imas tidak pernah menyerah. Ia percaya bahwa dengan metode pengolahan yang tepat, jengkol juga bisa disulap menjadi produk bernilai tambah. Ia pun mencoba peruntungan dengan mengolah jengkol menjadi keripik. Dibantu Sang Ibu, mereka kemudian bahu-membahu membuat olahan keripik jengkol. 

Seperti bisnis rintisan pada umumnya, Imas mesti berjuang keras memasarkan produknya. Kala itu ia masih duduk di bangku SMA. Tanpa rasa malu dan ragu, keripik jengkol buatannya ia coba pasarkan kepada teman-teman sekolahnya. Hanya saja, bukan penjualan yang ia dapatkan, melainkan segudang ejekan. 

Teman-temannya mengatakan keripik jengkol buatan Imas kampungan. Tidak cocok disantap sebagai camilan kalangan milenial. Berulang kali Imas promosikan, berulang kali pula ia mendapat cibiran. Sayang seribu sayang, nasib “orang kecil” tidak memberikan ia banyak kebebasan. Lantaran mesti membayar iuran sekolah, ia tetap berjualan meski seringkali pulang tanpa cuan

Bak pebisnis berpengalaman, semangat Imas tidak pernah pupus di tengah jalan. Ratusan cibiran ia jadikan masukan bagi pengembangan usahanya. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa faktor utama yang bisa melesatkan usahanya adalah kreativitas. 


Dari Kampungan Menjadi Kekinian 

Gerah dibilang kampungan, Imas mengganti jenis dan desain kemasan agar tampilan produknya lebih sedap dipandang dan punya nilai jual. Dari semula menggunakan plastik transparan murahan, ia mengganti kemasannya dengan alumunium foil berperekat yang bisa dibuka-tutup. Selain lebih kekinian, keripik jengkolnya jadi tidak gampang melempem dan tahan lebih lama. 

Sedikit demi sedikit keripik jengkol Imas mulai dikenal banyak orang. Pemasarannya tidak lagi dilakukan dari mulut ke mulut, tetapi mulai menyasar warung-warung kecil di sekitar tempat tinggalnya. Ia pun menambahkan berbagai varian rasa ke dalam keripik jengkolnya. Mulai dari original, pedas, hingga sapi panggang.

Jengkol Oyoh Sumedang

Tak ingin area pemasarannya terbatas di Desa Pamulihan, pada 2014 Imas mendaftarkan produk keripik jengkolnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. Ia beri nama Jengkol Oyoh, terinspirasi dari nama Sang Ibu, Yoyoh. Ia pun sukses mengantongi sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), sebuah izin yang wajib dimiliki produsen pangan berskala rumah tangga. 

Walau bermodal pas-pasan, Imas meyakini bahwa sertifikasi adalah modal dasar untuk memperoleh kepercayaan konsumen. Sebagai produsen, Imas bisa lebih leluasa memperluas pasar. Pasalnya, pasar modern dan swalayan akan meminta izin PIRT sebelum memasarkan produk makanan atau minuman berskala rumah tangga. 

Tak puas sampai di sana, Imas nekat bergabung dengan komunitas bisnis lokal binaan Pemerintah Kabupaten Sumedang. Dengan begitu, ia bisa belajar banyak tentang pengelolaan usaha dari para ahlinya. Pada 2015 ia pun terdaftar sebagai mahasiswa Program Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) yang dibentuk oleh Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, kampusnya kala itu.

Ridwan Kamil jengkol

Usaha Imas akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Bisnisnya berkembang pesat karena mampu dikelola dengan baik. Laporan keuangannya selalu sehat, lantaran dikelola dengan sangat cermat. Sampai di sini, Imas mulai berani mengikuti kompetisi wirausaha untuk mencari tambahan modal. 

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Imas mendapat kabar dari salah seorang temannya bahwa kompetisi wirausaha bertajuk The Big Star Indonesia Season 2 yang diadakan oleh salah satu pasar daring (online marketplace) ternama akan segera dimulai. Tanpa pikir panjang, Imas langsung mendaftarkan bisnis keripik jengkolnya pada kompetisi yang diikuti oleh lebih dari 20 ribu peserta itu. 

Hasilnya tak disangka. Imas berhasil merebut juara ke-3 dan mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp200 juta. Selama mengikuti kompetisi, ia juga dimentori langsung oleh Daniel Mananta, mantan video jockey terkenal sekaligus pengusaha busana bermerek “Damn I Love Indonesia”. 

Pada saat karantina, Daniel banyak menyumbang ide untuk pengembangan bisnis keripik jengkol Imas. Salah satunya ialah desain kemasan yang lebih kekinian untuk menjangkau pasar kelas menengah-atas. Asal tahu saja, desain kemasan Jengkol Oyoh yang beredar saat ini adalah buah kolaborasi Imas dan Daniel.

Jengkol Oyoh juara

Seluruh uang hadiah kompetisi Imas gunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Kini, ia sanggup mempekerjakan dua orang karyawan tetap. Saat kebanjiran pesanan, ia pun tak segan-segan merekrut karyawan sementara sesuai dengan kebutuhan produksi. 

Berkembangnya usaha keripik jengkol Imas tidak hanya memberi berkah bagi diri dan keluarganya, tetapi juga petani jengkol di Sumedang. Demi mencapai target produksi, Imas membeli bahan baku dari para petani jengkol secara langsung di sekitar tempat tinggalnya. 

Imas pun tak segan membeli jengkol dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga jual petani kepada tengkulak. Hal tersebut semata-mata ia lakukan agar meningkatkan derajat ekonomi petani jengkol di Desa Pamulihan. Ia percaya, dengan berbuat baik kepada sesama, kebaikan pula yang akan kembali kepada diri dan keluarganya. 

Apa yang Imas yakini tampaknya benar. Penjualannya meningkat tajam. Jika dahulu maksimal 50 bungkus terjual dalam sebulan, kini ia sanggup menjual minimal 1.000 bungkus dalam tempo yang sama. Bahkan, kalau sedang ramai angka penjualannya bisa menembus 3.000 bungkus per bulan. Asal tahu saja, Jengkol Oyoh dibanderol dengan harga Rp15.000 per bungkus.

Keripik jengkol oyoh sumedang

Kesuksesan bisnis keripik jengkol Imas bukan semata-mata disebabkan peningkatan kapasitas produksi semata, tetapi juga strategi pemasaran yang tepat sasaran. Selain dipasarkan melalui sejumlah toko oleh-oleh di Sumedang dan Bandung, Jengkol Oyoh Imas jual pula secara online

Tak ketinggalan, media sosial pun turut ia gunakan sebagai sarana promosi demi mendongkrak penjualan. Hingga kini, ia pun masih rajin mengikuti bazar di berbagai acara berskala nasional. Supaya jengkol Sumedang bisa “meledak” dan dikenal oleh lebih banyak orang. 

Dengan strategi pemasaran tersebut, produk Imas mampu menembus pasar nasional. Belum lama ini, Jengkol Oyoh baru saja dipesan secara online oleh salah seorang pelanggannya di Biak, Papua. Dengan bermodal kreativitas, kini keripik jengkol Sumedang buatan Imas bisa naik kelas. 



Potensi Jengkol Sebagai Sumber Ekonomi Kreatif Sumedang 

Kisah keripik jengkol Imas, seperti yang dituturkan di atas, menggambarkan betapa besarnya potensi ekonomi kreatif di Sumedang bila dikembangkan dengan cara yang benar. Bukan hanya tahu dan kopi semata, Sumedang juga punya keripik jengkol kekinian yang jauh dari kata kampungan. 

Selain bernilai tambah, pengembangan ekonomi kreatif berbasis pangan akan meningkatkan daya saing petani lokal dan pengusaha mikro dan kecil. Usaha produktif berskala rumah tangga juga punya peran penting dalam mengentaskan kemiskinan. Sebab paling tidak, industri rumah tangga bakal menyerap banyak tenaga kerja, khususnya bagi mereka yang punya keterbatasan pendidikan. 

Data Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengatakan, jumlah UMKM pada 2018 mencapai 64,19 juta unit, atau setara dengan 99,99 persen jumlah usaha yang ada di Indonesia. UMKM juga menyerap 120,59 juta tenaga kerja, atau setara dengan 97 persen tenaga kerja nasional. 

Sumbangsih UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional juga tidak main-main. Sekitar Rp5.721,14 triliun mampu dihasilkan UMKM, atau setara dengan 61,07 persen dari total PDB Indonesia. Dari Rp4.244,68 triliun total investasi di Indonesia, lebih dari setengahnya (60,42 persen) ditanam pada sektor UMKM.

UMKM dongkrak ekonomi

Data tersebut memberi gambaran yang sangat jelas kepada kita, bagaimana UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Bahkan, simulasi Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2019 menyatakan, jika omzet UMKM naik hingga 30 persen, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan terdongkrak hingga 7 persen. 

Di Sumedang, menurut data Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Sumedang, jumlah UMKM pada 2013 tercatat sebanyak 6.872 unit usaha. Peningkatan jumlah dan produktivitas UMKM, sudah tentu akan meningkatkan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumedang yang pada 2018 mencapai 5,83 persen. 

Hanya saja, mengembangkan UMKM tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dari sekian banyak tantangan, seperti akses pembiayaan, pemasaran, hingga pencatatan keuangan; problem terbesar UMKM di Indonesia—termasuk Sumedang—adalah kesulitan mengembangkan produk yang bernilai tambah. 

Jengkol, misalnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumedang menunjukkan, produksi jengkol di Sumedang terus menurun. Dari semula 688,80 ton pada 2017, turun sebanyak 11,76 persen menjadi 607,80 ton pada 2018. 

Padahal, Jawa Barat merupakan sentra produksi jengkol. Sebanyak 10.929 ton, atau setara dengan 18,63 persen produksi jengkol nasional berasal dari Jawa Barat. Sumedang sendiri punya kontribusi sebesar 5,56 persen terhadap produksi jengkol di Jawa Barat.

Potensi jengkol Sumedang

Menurunnya produksi jengkol di Sumedang sedikit banyak disebabkan oleh ketidakmampuan UMKM dalam menciptakan produk turunannya. Jengkol dianggap murahan lantaran masih sering disajikan begitu saja. Kalaupun diolah, paling-paling sebatas pelengkap kudapan atau lalapan saja. 

Selain Imas, belum banyak pengusaha di Sumedang yang pandai mengolah jengkol menjadi produk yang laris di pasaran. Apa yang Imas lakukan seharusnya bisa menjadi bukti dan landasan bahwa apabila diolah dengan kreativitas, jengkol Sumedang pun sanggup naik kelas. 

Apalagi, jengkol adalah salah satu produk pertanian yang punya potensi tinggi untuk dikembangkan. Dua tahun lalu Presiden Joko Widodo mengimbau petani sawit agar beralih menanam komoditas yang lebih menguntungkan, salah satunya jengkol. Selain biaya tanamnya murah, harga jual jengkol biasanya meningkat jelang Idul Fitri.

Jokowi imbau petani tanam jengkol

Selain itu, potensi ekspor jengkol pun masih terbuka luas. Badan Karantina Pertanian mengatakan, total ekspor jengkol pada 2017 mencapai 26,5 ton. Sejumlah negara seperti Hong Kong, Arab Saudi, Qatar, Belanda, Korea Selatan, dan Timor Leste, menjadi pelanggan setia dan turut merasakan kelezatan jengkol Indonesia. 

Ingat, data ekspor jengkol yang dimaksud paragraf di atas ialah jengkol mentah. Belum ada produk jengkol olahan—seperti keripik jengkol buatan Imas—yang berhasil menembus pasar dunia. 

Jadi, bisa dibayangkan apabila keripik jengkol Sumedang bisa diekspor. Nilai tambahnya sudah tentu akan meningkat berkali-kali lipat. Pundi-pundi devisa pun turut meningkat. Alhasil, masalah defisit neraca pembayaran—lantaran impor selalu lebih besar dari ekspor—yang menjadi persoalan utama perekonomian bangsa ini, sebagaimana sering diwanti-wanti oleh Presiden Jokowi, bisa segera terselesaikan. 

Namun sebelum terlampau jauh menuju ke sana, marilah kita bersama-sama dukung produk ekonomi kreatif Sumedang agar berjaya di negeri sendiri. Salah satu caranya dengan membeli keripik jengkol buatan Imas. Tidak perlu jauh-jauh ke Sumedang, Jengkol Oyoh sudah bisa dipesan lewat ponsel pintar. 

Sebab kalau tidak dimulai dari kita sendiri, lantas mau bergantung kepada siapa lagi? [Adhi]

keripik jengkol kekinian jengkol oyoh sumedang

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Nasional: Writingthon Jelajahi Sumedang. Gambar bersumber dari koleksi pribadi penulis, akun Instagram @oyohjengkol, pngimage.net, dan Nuansa Pos. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis. 



Referensi: 

[1] BPS Kabupaten Sumedang. 2019. Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2019. BPS Kabupaten Sumedang. Sumedang. 

[2] Fauzia, Mutia. 2018. The Big Start Indonesia: Mimpi Imas yang Ingin Keripik Jengkol Olahannya Naik Kelas [daring], (https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/22/160806726/the-big-start-indonesia-mimpi-imas-yang-ingin-keripik-jengkol-olahannya-naik?page=all, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[3] Kementerian Koperasi dan UMKM. 2019. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2017—2018 [daring], (http://www.depkop.go.id/data-umkm, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[4] Mulyani. 2018. Presiden Jokowi Sarankan Petani Tanam Jengkol, Ini Faktanya [daring], (https://economy.okezone.com/read/2018/12/23/320/1995151/presiden-jokowi-sarankan-petani-tanam-jengkol-ini-faktanya, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[5] Prayogo, Cahyo. 2019. Dulu Sering Diledek, Kini Pengusaha Jengkol Ini Beromzet Rp30 Juta [daring], (https://republika.co.id/berita/pupmtg/dulu-sering-diledek-kini-pengusaha-jengkol-ini-beromzet-rp30-juta, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[6] Rentjoko, Antyo. 2016. Jateng Tanah Petai, Jabar Tanah Jengkol [daring], (https://lokadata.id/artikel/jateng-tanah-petai-jabar-tanah-jengkol, diakses tanggal 9 Februari 2020). 

[7] Syafina, Dea Chadiza. 2019. Saat Jokowi Cari "Lawan" Sawit dengan Jengkol Hingga Petai [daring], (https://tirto.id/saat-jokowi-cari-lawan-sawit-dengan-jengkol-hingga-petai-dcQt, diakses tanggal 9 Februari 2020).

6 comments:

  1. Juara! Tulisannya menarik dan inspiratif

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Terima kasih sudah mampir kemari, Pak. Salam hangat.

      Delete
  2. Inspiratif sekali. Banyak cara untuk membuat jengkol naik kelas.

    ReplyDelete
  3. Luar biasa Mas Nodi, tulisannya selalu menarik hati pembaca, sukses selalu mas.

    ReplyDelete