Beranda

Navigation Menu

[REVIEW NOVEL YORICK] Kisah Karang Tangguh dari Kampung Panjalu



“Yorick, penyelam ulung, yang akan muncul ke permukaan setelah mutiara laut berada dalam genggaman.” ~ Yorick, halaman 290.
***
Kesuksesan hanya bisa diraih dengan kegigihan. Lagi-lagi, petuah klasik itu terbukti benar lewat untaian kata yang tersaji dalam Novel Yorick, anggitan Kirana Kejora.
Bukan sekadar teori, sebab lakon yang dituturkan dalam novel ini sejatinya diangkat dari kisah nyata. Cerita tentang kerasnya perjuangan hidup Yorick, seorang lelaki asal Panjalu, yang akan membuat pembacanya kehabisan tisu lantaran derai air mata yang tak kunjung berlalu, meski telah menutup buku.
Pembaca akan diajak menyelam di lautan kepedihan yang tergurat rapi di setiap halaman. Cobaan demi cobaan telah menerpa Yorick sejak dini. Semenjak membuka mata, Yorick tidak mengenal sosok ayah dan ibu. Satu-satunya figur sentral yang memberinya kasih sayang, perhatian, dan tuntunan kehidupan adalah Nenek Encum, neneknya sendiri.
Tinggal berdua di gubuk derita nan sederhana, Yorick kecil diajarkan neneknya untuk selalu bersabar dan tidak mengeluh. Yorick mesti menerima guratan nasib bahwa neneknya bukanlah orang berada.
Saat kawan sebayanya bermain mobil-mobilan, Yorick berulang kali mesti menelan harapan. Tatkala murid-murid lainnya berseragam lengkap, Yorick harus mengenakan seragam lusuh tanpa kancing satu, dan sepatu bolong kebesaran lengkap dengan sumpalan kertas koran.
Yorick adalah ‘alien’ di kampung halamannya. Lantaran tampilan fisiknya yang berbeda, Yorick seringkali menerima cemoohan dan perundungan dari teman sekolahnya. Alhasil, Yorick kerap menghindar. Berlari melintasi hamparan sawah dan hutan adalah satu-satunya hiburan baginya. Kesendirian dan kesunyian terpaksa menjadi kawan sejatinya.
Didikan tegas Nenek Encum membuat Yorick mampu bertahan di tengah cobaan. Lisan Nenek Encum bak mutiara yang tidak pernah kehabisan kata-kata. Mengajari Yorick bersabar dengan sikap dan tingkah laku yang sederhana. Mendidik Yorick agar tidak pernah alpa mengaji dan selalu percaya dengan keadilan Sang Pemberi Rezeki.


Emosi pembaca diaduk-aduk, ketika kisah mesra di antara Yorick dan Nenek Encum tidak berlangsung lama. Yorick harus berpisah dengan Nenek Encum yang jatuh sakit dan harus mendapat perawatan di kota. Yorick pun terpaksa tinggal di rumah kerabat jauh sembari bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Bukannya lebih baik, Yorick kerap mendapat siksaan yang lebih memilukan dari para kerabatnya. Deretan perlakuan negatif harus rela diterimanya. Berulang kali pula Yorick harus mengelus dada. Alasannya hanya dua: patuh terhadap pesan neneknya dan melanjutkan sekolahnya.
Hingga pada satu titik, Yorick kecil tidak sanggup lagi menahan derita. Ia minggat dan memilih hidup luntang-lantung di jalan. Akan tetapi, justru kehidupan baru ini memberikannya segudang pelajaran kehidupan.
Meski keras dan penuh tempaan, ia bisa berkenalan dan belajar dari banyak orang. Kehidupan jalanan pula yang mempertemukannya dengan para sahabat sejati, yang setia menunggu walaupun dirinya sempat nyaris mati.
Api semangat Yorick untuk terus belajar tidak pernah padam meski serba kekurangan. Kecintaan dan kegigihannya belajar ilmu komputer membuat ia sanggup bertahan hidup secara mandiri. Ia percaya, hanya dengan ilmulah ia bisa menaklukan dunia.
Mengawali karier sebagai pekerja servis komputer serabutan, Yorick bertransformasi menjadi pemrogram IT andal. Keberaniannya dalam mengambil berbagai keputusan penting—meski terkadang tanpa disertai pertimbangan matang—menjadikannya seorang pebisnis jempolan.
Niatnya untuk menaklukan dunia tetap teguh sejak dulu. Yorick tidak pernah menyerah meski bisnisnya pernah merugi 320 ribu Dollar AS lantaran sistem yang dibuatnya untuk klien, sukses dibobol peretas. Ia tetap tabah, bertanggung jawab, dan gigih mencari akal agar bisnisnya tetap berjalan dan impiannya tidak pupus di tengah jalan.
Jiwa pemenang tercipta ketika bangkit dari ribuan kekalahan. Pesan inilah yang tersaji nyata pada novel ini, khususnya ketika pembaca telah merampungkan tiga per empat bagian buku.
Cerita kepedihan yang awalnya sangat pekat, lambat laun berubah menjadi rentetan kemenangan yang melegakan. Manisnya rasa ini kemudian berlangsung hingga titik terakhir kelar ditaja.

Menurut opini saya pribadi, ada lima alasan mengapa Yorick patut menambah deretan koleksi novel kalian. Silakan cermati infografis berikut ini.


Pertama, Yorick adalah novel yang dilematis sekaligus inspiratif. Kisahnya akan melekat erat di hati pembaca novel bergenre mellow, sekaligus menjadi pemantik api semangat bagi yang gemar mencari motivasi lewat sajian literasi.
Dalam novel ini, banyak momen yang akan menumpahkan air mata pembaca. Beberapa di antaranya adalah saat Yorick menjadi petugas upacara, perjuangan Yorick kecil menjadi asisten rumah tangga, kematian Jaung, hingga tentu saja, kepergian Sang Nenek tercinta.
Sebaliknya, pembaca juga akan terinspirasi dengan kisah sukses Yorick dalam menaklukan dunia. Misalnya, kesuksesan melanjutkan sekolah seorang diri, keberhasilan mendapatkan BMW E36 keluaran tahun 1993, hingga puncaknya, kemenangannya dalam menciptakan coding cryptocurrency untuk klien Rusia.
Alhasil, pembaca Yorick akan larut dalam lintasan emosi yang bertumpu pada dua fondasi rasa berbeda: kesedihan dan semangat. Untungnya, Kirana pintar dalam menyatukan keduanya.
Kedua, alur cerita yang bikin penasaran. Kirana dengan cerdas menggunakan alur flashback. Pembaca akan diseret maju-mundur di antara dua negara dan masa, yakni Saint Petersburg di Rusia untuk masa kini, serta Ciamis dan Bandung di Indonesia untuk masa lalu.
Sejak membuka halaman pertama, saya langsung enggan menutup buku lantaran selalu diusik dengan rasa penasaran dan ingin tahu. Ringan, cepat, dan tidak basa-basi. Saya berani menjamin, pembaca akan sanggup menyelesaikan Yorick setebal 336 halaman dalam waktu singkat tanpa takut merasa tersiksa atau terbebani.
Ketiga, teknik pelataran yang apik. Pembaca akan menikmati keindahan Saint Petersburg yang tergambar jelas dalam deretan kata. Sebaliknya, pembaca pun akan bergidik tatkala membayangkan betapa kerasnya perempatan jalan di bilangan Bandung Utara. Setelah rampung membaca, saya berani bertaruh, pembaca juga pasti tertarik untuk mencari letak Panjalu lewat Google Map.
Dari sisi suasana, budaya Sunda sangat kental mewarnai novel ini. Banyak pepatah Sunda tempo dulu yang dihidupkan kembali oleh sosok Nenek Encum. Kebodoran (kejenakaan) dialog berbahasa Sunda antara Yorick dan kawan-kawannya, tidak jarang mengundang gelak tawa.
Namun demikian, bukan berarti novel ini tidak bisa dinikmati oleh pembaca non-Sunda. Tanpa terkesan menggurui, dengan cergas Kirana menuturkan makna dari setiap aksara berbahasa Sunda, langsung pada alinea selanjutnya.


Keempat, kaya kata-kata mutiara. Bagi pembaca yang suka mengumpulkan kata-kata mutiara, Yorick adalah salah satu novel yang patut dimiliki. Berbagai petuah Sunda khas lisan Nenek Encum bisa dijadikan rujukan sekaligus panutan untuk menumbuhkan motivasi di dalam diri.
Selain itu, Kirana juga membungkus Yorick dengan balutan kata-kata puitis. Umumnya ditampilkan sebagai pengantar pada awal bab. Tidak jarang, Kirana juga menampilkan kalimat puitis sebagai penarik kesimpulan pada akhir bab. Menurut saya, ini yang menjadikan cecap Yorick terasa begitu melekat di hati pembaca.
Kalau tidak percaya, simak kepandaian Kirana dalam menggambarkan sosok Nenek Encum lewat untaian kata-kata berikut.
“Atas nama cinta-Nya, utuh dan penuh memberi, ia setia ada, menyiapkan kedua bahunya untuk melindungi Yorick yang dianggap sebagian orang sebagai anak bungsunya.” ~ Yorick, halaman 105.
Terakhir, diangkat dari kisah nyata. Jujur saja, buku ini sebenarnya biografi yang dikemas dengan cara yang unik: novel. Sosok Yorick benar-benar ada di antara kita, seperti halnya Nevsky Prospekt yang bisa kita temui di dunia nyata. Fakta ini tentunya semakin menyentuh hati pembaca, sebab kisah yang ditera bukanlah fiksi belaka.
Pada bagian akhir novel, terdapat opini yang ditulis oleh enam orang terdekat Yorick. Mereka bercerita mengenai sosok Yorick dari kacamata mereka. Alhasil, pembaca pun jadi ingin tahu, siapa figur Yorick yang sebenarnya? Ketiadaan foto atau gambar Yorick di novel ini dipastikan akan membuat pembaca semakin penasaran.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan Yorick. Meski kisahnya sungguh apik dan inspiratif, di mata saya, ada tiga kelemahan mendasar yang berpotensi membuat pembaca merasa tidak nyaman.


Pertama, penokohan peran pendukung yang terasa dangkal. Beberapa tokoh pendukung, yang menurut saya penting, hanya diulas sepintas lalu.
Pak Harna dan Bu Harna, misalnya. Tidak jelas, mengapa mereka begitu membenci dan tega menyiksa Yorick. Padahal, Yorick menjalani tugasnya sebagai asisten rumah tangga dengan baik. Meskipun kerap melakukan kesalahan kecil, tetap saja Yorick tidak pantas diganjar hukuman “diikat di pohon cemara”. Pasti ada penyebabnya.
Menurut saya, Pak Harna dan Bu Harna adalah figur yang cukup sentral. Sebab Yorick menghabiskan tiga tahun di kediaman keluarga Harna. Saya menduga, di rumah ini pula Yorick melewati masa akil balig. Pasalnya, Yorick berhasil melanjutkan studinya dari SD ke SMP sewaktu tinggal bersama keluarga Harna.
Akil balig adalah salah satu momen penting dalam tumbuh kembang anak. Apa yang dirasakannya pada saat itu, sudah pasti akan membentuk karakter dan kepribadiannya di masa depan.
Maka, interaksi Yorick dan keluarga Harna tidak bisa dipandang sebelah mata. Andai saja Kirana lebih gigih mengurai karakter keluarga Harna, pastilah pembaca akan mendapat kisah yang lebih utuh dan mendalam.
Contoh figur sentral lainnya yang ‘kurang’ mendapat perhatian lebih adalah Tia. Alasannya jelas, Tia pernah menjadi kekasih Yorick. Kisah cinta mereka tak berlanjut karena Tia memutuskan Yorick secara sepihak, lantas menikah dengan pria lain. Batin siapa pun yang berada di posisi Yorick, pasti terguncang.
Sayang, sosok Tia tidak digambarkan dengan lugas. Ia diperkenalkan Kirana sebagai seorang agamis dari keluarga sederhana. Itu saja. Padahal saya yakin, apabila digali lebih dalam, kisah cintanya dengan Yorick pastilah akan menjadi bumbu-bumbu drama, yang niscaya menjadikan novel ini lebih menarik.


Kedua, momen krusial yang terkesan datar. Ada dua momen krusial dalam novel ini yang diuraikan ala kadarnya. Pertama, pertemuan Yorick dengan kedua orangtua kandungnya. Dua kali Yorick dikisahkan bertemu dengan orangtuanya. Dua kali pula Kirana menuturkan dengan cara yang biasa-biasa saja.
Pertemuan pertama dengan Papanya yang berlangsung di rumah Pak Jaya, hanya mendapat tempat satu setengah halaman (156—157)! Saya sengaja mengakhiri kalimat terakhir dengan tanda seru (!) lantaran benar-benar terkejut. Ini harusnya bisa menjadi momen klimaks di tengah perjalanan cerita. Bagaimana mungkin hanya satu setengah halaman?
Baiklah. Bagaimana dengan pertemuan kedua, yang kali ini dihadiri pula oleh Mama Yorick? Jawabannya, sama saja. Kirana menggambarkan momen kunci itu sebanyak dua halaman saja (177—178). Tidak lebih. Dan ini membuat saya benar-benar kecewa.
Tadinya saya berpikir, pertemuan Yorick dengan orangtuanya bisa menjelaskan asal-usul Yorick. Mengapa ia dititipkan pada Nenek Encum sejak berumur satu tahun? Apa alasan orangtua Yorick berpisah? Tapi sudahlah. Toh, kita tidak akan pernah menemukan jawabannya.
Kedua, kepergian Nenek Encum. Sang Nenek adalah cinta sejati Yorick. Berkat kasih sayang, tuntunan, dan nasihatnya, Yorick tumbuh menjadi pribadi yang gigih dan pantang menyerah. Namun ketika sampai pada bab Kepergian Nenek, lagi-lagi saya kecewa.
Betapa tidak, kepergian orang nomor satu di hati Yorick itu hanya mendapat tempat 4 halaman saja (237—240). Bandingkan dengan bab terakhir yang mendapat tempat hingga 15 halaman, padahal ‘hanya’ berisi percakapan antara Yorick dan para sahabatnya. Jauh, Mba Kirana!
Alih-alih merasa sedih dan menderita, Yorick malah lebih terlihat terkejut dan menyesal ketika mendengar kematian Nenek Encum. Jujur saja, saya lebih merasa sedih ketika membaca Yorick memakan paha Jaung tanpa sengaja, dibandingkan dengan narasi kematian Nenek Encum. Sayang sekali.
Sebenarnya, tutur cerita yang tampil pada bagian-bagian awal novel terasa lebih menyentuh. Temponya lebih pelan dan kiasannya lebih dalam. Penggunaan alur maju-mundur (flashback) pun terasa sangat pas dan mengena.
Entah mengapa, saya merasa Kirana terburu-buru saat menyelesaikan paruh terakhir novel. Sehingga polesan pada dua momen krusial di atas terasa sangat kurang. Seperti baru menyelesaikan draft, kemudian langsung tayang tanpa dilakukan swasunting terlebih dahulu. Apakah karena diburu tenggat waktu?


Terakhir, kaidah berbahasa Indonesia yang masih kurang. Selain untuk Mba Kirana, kritik yang terakhir saya tujukan pula kepada Key Almira selaku editor.
Meski terlihat sederhana, kesalahan yang terjadi, menurut saya, adalah buah dari seringnya menyepelekan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Novel adalah salah satu media bagi pembaca untuk belajar bahasa Indonesia. Bila sampai ditiru dan dianggap benar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Seharusnya, kesalahan ini bisa direduksi dengan rajin membaca KBBI. Terutama bagi editor yang tugasnya menyaring naskah hingga matang sebelum naik cetak. Oke. Supaya lebih jelas, izinkan saya mengurainya dalam bentuk poin-poin.

a.     Penggunaan kata yang keliru:
-    Menakhlukan (hlm. 2), seharusnya menaklukan. Sebab kata dasarnya bukan takhluk, melainkan takluk. Kesalahan yang sama juga terjadi pada kata turunannya seperti penakhluk (hlm. 196), dan menakhlukannya (hlm. 229).
-        Mesjid (hlm. 152), seharusnya masjid.
-    Dipungkiri (hlm. 178 & 286), seharusnya dimungkiri. Sebab kata dasarnya bukan pungkir, melainkan mungkir.
-    Aktifitas (hlm. 245 & 269), seharusnya aktivitas. Sebab aktivitas diserap dari kata berbahasa Inggris yaitu activity, bukan actifity.

b.     Kata yang seharusnya ditulis terpisah:
-        Dimana (hlm. 2, 236, dan 237), seharusnya di mana.
-        Diantaranya (hlm. 2), seharusnya di antaranya. Contoh yang benar ada di hlm. 6 & 95.
-        Kemana (hlm. 6), seharusnya ke mana.
-        Diaplikasi (hlm. 7), seharusnya di aplikasi.
-        Satu persatu (hlm. 72, 88, dan 125), seharusnya satu per satu.
-      Kapanpun (hlm. 91), seharusnya kapan pun. Partikel “pun” ditulis serangkai hanya pada 12 kata berikut: adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, dan walaupun. Selain 12 kata tadi, partikel “pun” harus ditulis terpisah.

c.     Kata yang seharusnya ditulis serangkai:
-        Multi kultur (hlm. 7), seharusnya multikultur.
-        Para normal (hlm. 229), seharusnya paranormal.
-        Di undang (hlm. 268), seharusnya diundang.
-        Di jodoh-jodohkan (hlm. 270), seharusnya dijodoh-jodohkan.

d.     Kata yang tidak perlu dicetak miring:
-      Spontan (terjadi berulang kali, contohnya pada hlm. 14 & 16). Kata “spontan” tidak perlu dicetak miring karena merupakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah atau asing.

e.     Kesalahan akhiran –kan pada kata yang diakhiri huruf /k/:
-        Memantikan (hlm. 3), seharusnya memantikkan.
-        Ditampakan (hlm. 53), seharusnya ditampakkan.
-        Menunjukan (hlm. 53), seharusnya menunjukkan.
-        Menundukan (hlm. 60), seharusnya menundukkan.
-        Menyejukan (hlm. 71), seharusnya menyejukkan.
-        Menaikan (hlm. 161), seharusnya menaikkan.
-        Menampakan (hlm. 178), seharusnya menampakkan.
-        Menaikan (hlm. 182 & 197), seharusnya menaikkan.
-        Memabukan (hlm. 229), seharusnya memabukkan.

f.      Salah tik (typo):
-        Speetboad (hlm. 17), seharusnya speedboat.
-        Setidakya (hlm. 29), seharusnya setidaknya.
-        Tersengal-senga (hlm. 117), seharusnya tersengal-sengal.
-        Menggganti (hlm. 267), seharusnya mengganti.

Mengingat cukup banyaknya kesalahan yang terjadi, maka saya menyarankan agar novel ini diedit kembali pada cetakan selanjutnya. Tujuannya ada dua, yaitu supaya lebih nyaman di mata dan tidak menyesatkan pembaca. Sayang sekali apabila substansi novel yang sungguh memikat, harus ternodai gara-gara kesalahan yang sangat sepele.
Akhir kata, semoga Mba Kirana dan Key Almira bisa menerima kritik membangun ini dengan lapang dada. Tiada maksud saya selain meningkatkan kualitas literasi di Negeri kita tercinta.

Ada satu pelajaran berharga yang bisa kita petik dari novel ini, yaitu sifat Yorick yang tegar bak karang di lautan. Semangat ini pantas ditiru oleh generasi milenial untuk meraih kesuksesan. Supaya bangsa ini bisa terus maju dan disegani dunia. Oleh karenanya, Yorick pantas dibaca oleh siapa saja yang memerlukan suntikan motivasi.
Akhir kata, saya menilai Yorick pantas diganjar nilai 7 dari skala 10. Mengapa tidak 8 saja? Alasannya sederhana. Apabila kesalahan berbahasa Indonesia diperbaiki pada cetakan selanjutnya, jangankan 8, nilai 9 pun akan saya beri! Selamat membaca!


***
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba Blog Review Yorick yang diselenggarakan oleh Novel Yorick.

23 comments:

  1. Mas adhi... ya ampun ini keren banget!
    aku selalu suka membaca tulisanmu, diksinya oke banget!

    Oya aku penasaran juga sama ortunya Yorick kok ya tega banget sama ibu dan nenek encum hidup merana seperti itu. harusnya mba kirana lebih menggali ya.

    terus kaidah bahasa yg perlu dikoreksi itu keren banget. mas detail banget.

    sukses mas. semoga tulisan ini bisa membawamu ke Rusia ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mengenai orangtua Yorick, saya menduga, Yorick (asli) sendiri yang tidak banyak bercerita ketika diwawancarai Mba Kirana. Jadilah seperti itu.

      Sayangnya, Mba Kirana sepertinya 'menjadi Yorick' saat menulis novel ini. Tidak peduli dan tidak ingin tahu mengapa orangtuanya menitipkannya pada Nenek Encum.

      Terima kasih sudah mampir kemari, Mba. Semoga bermanfaat. Salam hangat.

      Delete
  2. Wah sepertinya menarik nih novelnya. Terlebih dari penerbit ternama. Semoga suatu saat bisa memilikinya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cus, langsung beli Mas Amir. Bisa di toko buku Gramedia atau unduh aplikasinya. Selamat membaca!

      Delete
  3. perjalanan hidup manusua adalah misteri, andai saja Yorick hidup dengan orangtuanya bisa jadi tidak menjadi seperti sekarang, perjalanan hidup yang keras membawanya untuk menaklukan dunia, luarrr biasa...

    btw, ulasannya keren

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Kak. Yang jelas, Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hamba-Nya. Terima kasih sudah mampir, Kak. Salam hangat.

      Delete
  4. Mantabbbb kali abang satu ini, beuhhhh kemampuan literasinya gak perlu diragukan lagi lah yah. Btw, kayaknya seru ceritanya, aku nunggu filmnya aja deh klo gt, Bang, hehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa aja nih, Bang Joe. Hehehe. Silakan ditonton filmnya, Bang. Mudah-mudahan sebagus atau bahkan lebih bagus dari novelnya. Terima kasih sudah mampir kemari. Salam hangat.

      Delete
  5. Sama Mas, saya juga agak menyesal di bagian kepergian Mak Encum, sedikit sakit hati karena diceritakan hanya sekilas lalu �� tapi aku curiganya memang karena Yorick sendiri yang emosinya sulit diselami. Programmer, terpisah dari kedua orang tua, dan ditinggal nenek tercinta, rasanya saya paham dan memaklumi kenapa emosi novel ini kurang tergali. Btw, diksimu benar-benar kece mas. Good luck ya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe. Ternyata kita sama ya, Mba. Terima kasih sudah mampir kemari. Salam hangat.

      Delete
  6. Reviewnya apik dan lengkap banget. Saya jadi ingin baca novel Yorick. Akhir-akhir banyak yang mengulas juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada versi buku elektroniknya juga, Mba. Harganya lebih murah dibanding versi cetak. Cocok untuk yang suka membaca lewat ponsel. Kalau saya kurang nyaman. Oleh karena itu saya tetap beli yang konvensional.

      Terima kasih sudah mampir kemari, Mba. Salam hangat.

      Delete
  7. Keren mas review-nya. Saya yang sudah membaca novel Yorick, jadi tertarik untuk membaca ulang. Begitu detail dan komplet pula dengan pembahasan kaidah bahasa.
    Namun, ijinkan saya bertanya untuk satu kata yang mas Adhi bahas di atas, yaitu kata takluk. Jika takluk mendapat imbuhan me-kan, menurut saya seharusnya menjadi 'menaklukkan'. Apakah betul demikian mas?

    Terima kasih mas Adhi. Jadi pengen 'menyelami' blog ini.
    Salam kenal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kesempurnaan milik Allah semata. Benar, Kak Ditta. Kata yang tepat seharusnya menaklukkan.

      Terima kasih sudah mampir dan mengoreksi. Salam hangat.

      Delete
  8. Saya sependapat dengan kak Nodi, pada peristiwa penting yang cukup menguras air mata, ditulis minim banget �� sedih....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat, Kak Mila. Terima kasih sudah mampir kemari. Salam hangat.

      Delete
  9. Subhanallah,komplit banget reviewnya Mas, semakin semangat untuk baca Yorick secara utuh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan dibeli di Gramedia terdekat, Kak. Atau bisa juga unduh aplikasinya lewat Google Play dan App Store.

      Terima kasih sudah mampir. Salam hangat.

      Delete
  10. Mas Nodi... Salam dari Newbie dulu. Hehehe.

    Ini keren sangat Mas. Resensinya hampir tak ada celah. Izinkan saya belajar di sini ya. Jangan kaget kalau selalu kepo. Hihi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan, Kak Malica. Sejujurnya juga saya masih newbie dan terus belajar dari banyak tulisan orang lain. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari sini.

      Terima kasih sudah mampir. Salam hangat.

      Delete
  11. Reviewnya keren sekali.... mantapp

    ReplyDelete