Beranda

Navigation Menu

Baca Dulu, Jempol Kemudian



Beberapa waktu lalu, seorang senior di kantor mengirim sebuah foto ke grup Whatsapp. Foto itu berisi artikel milik rekan sekantor yang dimuat di kolom opini harian Kompas, tanggal 31 Juli 2018. Dari kualitas gambarnya, saya bisa memastikan bahwa foto tersebut merupakan hasil jepretan sederhana dengan menggunakan smartphone.
Tulisannya berisi mengenai analisa ekonomi terkini, sesuai dengan keahliannya dan industri kantor kami beroperasi. Kata demi kata ditata dengan lugas, hingga menghasilkan sebuah artikel yang komprehensif, memikat, lagi berguna bagi khalayak luas. Khususnya bagi dunia perbankan dan industri properti nasional.
Hebat, pikir saya.
Saya tahu benar bagaimana sulitnya menembus dinding rubrik opini media yang memiliki slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat” itu. Mengapa? Karena hingga detik ini, dua artikel yang saya kirimkan ke alamat surel redaksi, selalu dikembalikan dengan alasan kesulitan mendapat tempat atau analisis kurang mendalam. Karya saya—sejauh ini—hanya bisa menembus kolom opini harian lokal, yaitu Tribun Manado dan Koran Manado.
Diliputi rasa penasaran, saya pun segera memakai kacamata dan mulai membaca artikelnya lewat foto yang ia kirim. Pelan-pelan, penuh saksama. Terkadang saya harus menggeser layar smartphone dengan gerakan melebarkan dua jari, untuk memperbesar citra foto yang berukuran minim tadi.
Bagi saya, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membaca keseluruhan isi artikelnya. Meski sama-sama memakai smartphone, membaca sebuah artikel berisi 639 kata dalam bentuk foto, tidaklah semudah menyantap tulisan dari laman berita online.
Apalagi, artikel ini bukanlah bacaan yang tergolong ringan. Bukan berisi 5 lokasi pantai tersembunyi yang harus kamu kunjungi di Bali. Bukan juga ulasan mengenai nikmatnya menyantap ikan kuah kuning khas Ternate. Bukan sama sekali.
Artikel ini berisi tentang opini sang penulis mengenai kebijakan Bank Indonesia dalam mendukung industri properti. Tanpa dihiasi foto barang sebiji, ataupun sentuhan ilustrasi. Hanya tersedia rajutan kata-kata dan angka, yang dibingkai dalam kerangka analisis ekonomi.

Baca Hingga Tuntas
Ketika otak saya baru mulai bekerja mencerna setiap kata demi kata, ada satu kejadian yang membuat konsentrasi saya menjadi terganggu. Belasan notifikasi bermunculan dari atas layar smartphone saya tanpa henti. Menyiratkan ada pesan baru yang masuk ke dalam grup Whatsapp kantor kami.
Karena terus menghalangi pandangan, saya terpaksa membukanya. Sudah bisa ditebak. Isi pesannya adalah pujian, ucapan selamat, dan jempol dari bos dan rekan sejawat, kepada sang penulis.
Bukan. Saya bukan orang yang iri hati, apalagi dengki. Menurut saya—setelah membacanya dengan tuntas—sang penulis memang pantas diapresiasi setinggi langit.
Sekali lagi, setelah membacanya dengan tuntas.
Di situlah saya merasa heran. Arus jempol dan lantunan pujian kepada sang penulis, sudah dimulai hanya satu menit setelah foto artikel dikirim. Padahal, untuk menuntaskannya, saya membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit. Atau jika dipaksa membaca secara cepat, paling cepat dibutuhkan waktu selama 3 menit. Itu hanya untuk menuntaskan bacaan, belum tentu mengerti maknanya.
Pertanyaannya, apakah artikel yang sudah susah payah ditulis, dan berhasil naik cetak di kolom opini harian Kompas yang terkenal sangat selektif, sudah dibaca dengan tuntas oleh para pemilik jempol?
Jika sudah, bagus. Ia pasti memiliki kecepatan membaca di atas rata-rata orang dunia, yang “hanya” sekitar 200 hingga 300 kata dalam semenit. Ditambah, ia membaca hanya dengan bermodalkan foto yang ditampilkan dalam layar smartphone. Mungkin ia juga bisa menantang Howard Berg, yang kini masih tercatat dalam The Guinness World Record Book, sebagai pembaca tercepat dengan kecepatan membaca hingga lebih dari 25 ribu kata per menit.
Namun apabila belum, pantaslah bila UNESCO menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah, di antara 61 negara lainnya dalam urusan literasi. Jangan salahkan pula ketika Trinity—penulis buku wisata The Naked Traveler—memutuskan untuk pensiun sebagai penulis buku.

Kejadian sederhana tersebut, sontak menyadarkan saya. Betapa rendahnya minat baca saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Tidak salah apabila kini toko buku lebih banyak menjual perlengkapan sekolah dan olahraga, dibandingkan dengan produk utamanya, yaitu buku itu sendiri.
Oke, mungkin ada yang berpendapat bahwa ini era millenial. Bisa jadi ribuan lembar kertas, telah digantikan dengan ribuan megabyte digital. Namun ketika melihat kecepatan rekan lainnya dalam mengirim pujian, saya kembali sangsi.
Jangankan sebuah buku yang tebal. Membaca judul dan nama penulis dalam sebuah artikel opini lewat smartphone saja, sudah buru-buru mengacungkan jempol. Mungkin perilaku inilah yang menyebabkan sekarang banyak bermunculan artikel click-bait semata, yang isinya (mohon maaf), terkadang tidak menyajikan banyak manfaat, dan hanya mengejar rating popularitas search engine optimization (SEO) semata.
Tentu saya berharap, bahwa sebagian besar pembeli harian Kompas edisi 31 Juli 2018 dan pelanggan setia kompas.id, membaca artikel kawan saya dengan tuntas. Atau minimal, memahami sebagian besar isi gagasannya dengan membaca tiga per empat tulisannya.

Tiga Kepuasan Menulis
Setiap penulis sejatinya hanya memiliki harapan tunggal ketika ia menulis, yaitu karyanya dibaca. Saya bisa membayangkan bagaimana rekan saya menulis artikelnya dengan penuh cita-cita. Berharap agar gagasan yang ditulisnya, bisa dinikmati oleh banyak orang. Sehingga akan menjadi sumber rujukan, manfaat, atau inspirasi bagi setiap orang yang membacanya.
Mungkin ia juga berangan-angan, bahwa pembaca yang kritis akan menghubunginya setelah membaca tuntas tulisannya. Menanyakan tentang bagian yang kurang tepat, atau menyampaikan argumen atas hasil analisis yang berbeda pendapat. Menguliti kata per kata, demi merumuskan solusi yang tepat atas topik yang diangkat.
Jikalau ada harapan untuk memperoleh kompensasi pun, saya berani bertaruh, bahwa itu berada pada urutan terakhir dari tujuan ia menulis. Karena jelas, ia tidak mengandalkan artikelnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Sebagai seorang blogger—yang doyan mengikuti kompetisi menulis—saya pun merasakan hal yang sama. Mungkin karena melihat beberapa prestasi yang telah saya raih, seorang sahabat pernah bertanya. Mengapa saya lebih banyak mengikuti kompetisi, dibandingkan dengan menulis di media cetak.
Saya menjawab. Pertama, karena saya memiliki kesempatan untuk mendapat hadiah. Hadiah yang saya peroleh dari kompetisi menulis, tidak hanya menjadikan dapur tetap ngebul, namun juga menambah tabungan bagi istri untuk melanjutkan studi.
Kedua, karena prestasi. Siapa yang tidak senang ketika namanya terpampang sebagai pemenang kompetisi penulis? Hal itu membuat saya senang dan ketagihan.
Terakhir, dengan mengikuti kompetisi, minimal artikel yang saya kirim pasti dibaca dengan tuntas oleh para juri. Pasti! Bisa jadi bukan hanya sekali, tetapi hingga berkali-kali. Untuk membandingkan tulisan saya dengan peserta lainnya, apabila kualitasnya dinilai cukup untuk ditempatkan dalam daftar nominasi pemenang.
Ah, jangan berkecil hati kawan. Saya pernah mendengar dari orang bijak, bahwa orang yang menulis itu, berpeluang mendapatkan 3 kepuasan. Pertama, puas karena tulisannya berhasil ia selesaikan. Kedua, puas karena hasil tulisannya telah dibaca. Dan terakhir, puas karena mendapatkan kompensasi, bisa dalam bentuk materi ataupun ketenaran.
Jikalau yang kedua belum bisa dinikmati, setidaknya kau sudah mendapat 2 kepuasan lainnya, bukan?

0 komentar: