Beranda

Navigation Menu

Memapah Tegar di Tepi Sempadan



Kita kerap salah terka bahwa kekayaan sejati tidaklah diukur dari tumpukan emas atau perak. Kita pun acap keliru sangka bahwa kemaslahatan hakiki bukanlah ditera dari pertumbuhan ekonomi atau digitalisasi belaka.

Orang bijak pernah berkata, “Jagalah tubuhmu, sebab itulah satu-satunya tempat kamu hidup.”

Petuah itu menyadarkan kita tentang arti penting sebuah kesehatan. Tanpa kehadirannya, tiada daya dan upaya yang bisa kita kerjakan. Tanpa keberadaannya, tiada gerak dan aktivitas yang sanggup kita pertontonkan.

Ya, kesehatan. Itulah sebenar-benarnya kekayaan dan kemaslahatan.

Hanya saja, menjaga tubuh agar tetap tegar memang tidak semudah membalik telapak tangan. Asupan gizi dan olahraga teratur mesti menjadi menu harian. Andai jatuh sakit kita pun memerlukan bantuan dokter dan konsumsi obat-obatan.

Apalagi ketika “tubuh” itu bernama Indonesia—negara dengan enam puluh dua “anggota tubuh” yang masih berstatus tertinggal dan jauh dari jangkauan.


*** 

Sejak zaman Belanda, fokus pembangunan Nusantara memang tidak merata. Pusat pembangunan selalu bertumpu pada Pulau Jawa. Jawa-sentris. Begitu orang-orang menyebutnya.

Batavia sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan menjadi daerah yang paling banyak merasakan berkah pembangunan. Berbagai infrastuktur dasar dibangun dan disediakan. Mulai dari kereta api, pelabuhan, bandar udara, hingga fasilitas kesehatan.

Strategi ini berlanjut hingga masa kemerdekaan. Kita bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri ribuan kilometer jalan tol terhampar di sepanjang Merak hingga Banyuwangi. Kita pun bisa menatapi betapa banyak gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan menghiasi kota-kota di Pulau Jawa.

Imbasnya, penduduk desa berlomba-lomba merantau ke kota. Mereka berharap memperoleh penghasilan yang lebih layak ketimbang memeras keringat di desa. Sebab mereka yakin, pasti "lebih banyak genangan air di pusat rembesan". Dengan kata lain, semakin dekat dengan pusat ekonomi, semakin besar pula potensi beroleh pundi-pundi.

Kalaulah sudi mengulik data, niscaya kita akan menganga. Betapa tidak? Pada 1971, pangsa penduduk yang tinggal di desa mencapai 82,8 persen. Artinya, jika ada sepuluh orang berhimpun atau berkumpul lima puluh tahun lalu, maka delapan di antaranya dipastikan bermukim di desa.



Kini, situasinya berbalik arah. Badan Pusat Statistik (BPS) memprakirakan porsi penduduk desa pada 2020 hanya mencapai 43,3 persen. Bahkan pada 2035 nanti, jumlahnya diproyeksikan akan terus terpapas hingga menjadi 33,4 persen.

Saat ini saja, jumlah pemukim di Pulau Jawa sudah mencapai 145 juta jiwa. Angka itu lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia! Maka tak heran jika pembangunan infrastruktur besar-besaran lekat digelar di pulau seluas 128.297 km2 ini.

Pemusatan pembangunan di Pulau Jawa tentu membawa dampak bagi daerah lain. Kualitas pembangunan manusia di daerah terluar acapkali terlupakan. Jangankan infrastruktur penunjang seperti jalan raya atau bandara, kualitas infrastruktur dasar seperti fasilitas kesehatan saja begitu timpang.

Kalau tidak percaya, ayo kita cermati sajian data berikut ini.



Sebanyak 17 dari 34 provinsi di Indonesia masih kekurangan tenaga medis. Rasio ketersediaan dokter per 1.000 penduduknya masih di bawah standar minimal pelayanan kesehatan: 0,40. Provinsi yang minim tenaga kesehatan didominasi wilayah pedalaman macam Papua Barat (0,35), Papua (0,34), hingga Sulawesi Barat (0,12).

Bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan angka ibukota. Di Jakarta, setiap 1.000 penduduk ditangani oleh hampir 2 orang dokter. Bandingkan dengan seorang dokter di Papua yang mesti memikul tanggung jawab atas kesehatan 3.000 jiwa. Jauh!

Padahal, seperti disinggung di awal, kesehatan adalah perkara dasar. Menyepelekan isu kesehatan sama saja menjadikan nyawa manusia sebagai taruhan. Pandemi korona, misalnya. Sebelumnya tidak seorang pun menduga pagebluk takkasat mata ini sanggup memporak-porandakan roda ekonomi dan aktivitas sosial.

Kini, semua orang percaya bahwa isu kesehatan bisa menjalar ke berbagai sendi kehidupan. Pemutusan hubungan kerja, pengangguran, penurunan daya beli masyarakat, dan pembatasan aktivitas tatap muka; semuanya membawa kita ke tepi jurang resesi ekonomi. Bahkan, tidak sedikit pula saudara kita, baik tenaga medis maupun orang biasa, terpaksa meregang nyawa gara-gara virus mematikan ini.

Jadi, bisa dibayangkan betapa mengerikannya bila saudara kita yang tinggal di daerah perbatasan terpapar korona. Sudahlah jumlah dokter terbatas, belum tentu fasilitas kesehatannya selengkap dan secanggih di kota. Lebih baik kita berdoa, semoga mereka tetap sehat-sehat saja.

Meski demikian, kita juga paham, berdoa saja tidak cukup. Ke depan, kita wajib meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman. Sebab saudara kita yang bermukim di sana juga punya hak untuk hidup sehat dan sejahtera.



Tentu saja, itu bukan kata saya. Pernyataan di atas ialah cita-cita bangsa yang terbetik dalam konstitusi negara kita. Pasal 28 H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Jadi, jelaslah bahwa dalam urusan kesehatan, tidak boleh ada seorang pun warga negara yang ditinggalkan, apalagi dilupakan. Supaya mereka tetap tegar dan punya kekuatan untuk menata, membangun, dan memutar roda ekonomi di daerahnya. Oleh sebab itu, pemerataan pembangunan wajib diawali dan dimulai dari aspek kesehatan.


Lebih baik telat ketimbang tidak sama sekali. Kita patut bersyukur, sejak beberapa tahun ke belakang, pemerintah telah menaruh perhatian yang besar pada upaya pembangunan di daerah pedalaman. Ini terbukti dari diberlakukannya Peraturan Presiden (Perpres) No.131/2015 yang telah diperbaharui dengan Perpres No.63/2020. 

Beleid itu mengatur daftar daerah tertinggal di seluruh Indonesia. Semula, ada 122 daerah tertinggal. Kini, jumlahnya telah berkurang separuh menjadi 62 kabupaten saja. Sementara 60 kabupaten lainnya telah naik kelas menjadi daerah berkembang.



Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat menjadi provinsi penyumbang daerah tertinggal paling banyak. Di Bumi Cenderawasih, ada 22 kabupaten yang masih berstatus tertinggal. Sedangkan Tanah Flobamora—julukan Nusa Tenggara Timur—menyumbang 13 daerah, diikuti Papua Barat sebanyak 8 daerah.

Udaran data di atas memberi panduan yang jelas bagi kita tentang di mana percepatan pembangunan semestinya dilakukan. Sajian fakta di atas juga bisa menjadi pijakan bagi pemangku kebijakan, daerah mana yang pembangunan fasilitas kesehatannya mesti didahulukan.

Apabila bangsa ini ingin maju, sudah tentu Kawasan Timur Indonesia, khususnya Papua, harus diletakkan pada nomor urut satu. Apalagi, daerah perdesaan diyakini punya peran yang sangat vital dalam upaya pemulihan ekonomi yang tengah lesu akibat hantaman badai korona.



“Ketika terjadi krisis ekonomi di perkotaan, maka desa menjadi penyangga, menjadi buffer,” ujar Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka Jakarta, Kamis, 24 September 2020.

Jangan lupa, ketika desa sudah ditetapkan menjadi penyangga ekonomi bangsa, maka aspek kesehatan harus menjadi pondasinya. Sebab, bagaimana mungkin roda ekonomi desa bisa berputar apabila warganya sakit-sakitan? Pertanyaannya, kepada siapakah tanggung jawab pembangunan itu harus diletakkan?

Pemerintah tentu punya tanggung jawab yang besar. Namun, semestinya kita juga tidak boleh berpangku tangan kepada pemerintah semata. Ada korporasi, sivitas akademika, maupun masyarakat yang punya peran lebih krusial. Menyangkut ihwal kesehatan manusia, semua punya tanggung jawab yang setara.

Lalu, bagaimana cara meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman? Paling tidak ada tiga.



Pertama, meningkatkan jumlah dokter lokal melalui pendidikan. Penyebaran dokter di wilayah pedalaman selama ini berpijak pada Peraturan Pemerintah (PP) No.38/2007. Dalam aturan tersebut, Gubernur selaku kepala daerah berhak mengatur jumlah ketersediaan dokter di daerahnya.

Hanya saja, praktik aturan tersebut masih jauh dari kata optimal. Buktinya, setengah dari total jumlah provinsi di Indonesia masih kekurangan tenaga dokter. Kita paham, dokter juga manusia. Mereka punya sanak famili yang harus dinafkahi. Berada jauh dari keluarga bukanlah perkara yang gampang dilakoni.

Oleh karena itu, jumlah dokter lokal mesti ditingkatkan. Caranya dengan pendidikan. Putra daerah berprestasi perlu didorong dan dibiayai untuk mengenyam pendidikan kedokteran. Begitu kelar studi, mereka wajib pulang kampung untuk menjadi “abdi sehat” di daerahnya masing-masing.

Kedua, membangun fasilitas kesehatan yang memadai. Jika jumlah dokter lokal sudah ditingkatkan, maka upaya selanjutnya adalah mendirikan pusat kesehatan tempat para dokter bekerja. Puskesmas boleh, klinik oke, rumah sakit lebih baik.

Selain itu, kebutuhan alat-alat kesehatan dan jenis obat-obatan juga harus tercukupi. Seyogianya tidak boleh ada pasien yang alpa tertangani gara-gara peralatan kesehatan atau obat-obatan jauh dari kata memadai. Dengan demikian, warga desa bisa mengakses fasilitas kesehatan dengan mudah tanpa harus pergi ke kota.

Ketiga, menjalin sinergi antara korporasi dan pemerintah daerah. Ini tidak kalah penting. Sebab kita tahu anggaran pembangunan, khususnya di daerah pedalaman, jumlahnya sangat terbatas. Pihak swasta yang mengeksplorasi daerah pedalaman mesti sumbang dana dan tenaga untuk meningkatkan kualitas kesehatan warga sekitar.

Caranya bermacam-macam. Bisa urun dana beasiswa dengan pemerintah daerah, bisa juga mendirikan pusat kesehatan di sekitar lokasi usaha. Boleh sumbang alat kesehatan, boleh juga menyediakan layanan ambulans gratisan.

Jika cara-cara seperti ini dilakukan dengan tekun dan konsisten, maka semua pihak pasti beroleh berkah. Beban pemerintah terpapas, kesehatan warga terjamin, iklim usaha dan berinvestasi bagi pelaku usaha pun terjaga.




Sekarang, kita sudah paham teori tentang meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman. Pertanyaan berikutnya, adakah praktik terbaik yang bisa kita contoh atau ikuti jejaknya? Untungnya ada.

Jika ingin tahu bagaimana semestinya pihak swasta meningkatkan kualitas kesehatan di “tepi sempadan”, tengoklah pada apa yang dilakukan KORINDO bagi masyarakat pedalaman Papua.

KORINDO adalah korporasi yang bergerak di bidang eksplorasi sumber daya alam. Seratus persen saham perusahaan ini dimiliki oleh warga negara Indonesia. Berdiri sejak 1969, bisnis KORINDO berkembang pesat berkat tata kelola berwawasan lingkungan dan kedaerahan.

Ini bisa kita lihat dari banyaknya lini produk yang dihasilkan. Mulai dari kayu lapis (sejak 1979), kertas (1984), kayu (1993), perkebunan kelapa sawit (1995), hingga yang termutakhir penanaman padi (2016).



Mayoritas pelanggan KORINDO berasal dari berbagai negara lintas benua seperti Amerika, Eropa, Australia, dan Asia. Oleh karenanya, pundi-pundi devisa hasil ekspor senantiasa mengalir dan mengucur deras ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Unit usaha KORINDO pada umumnya tersebar di Kawasan Timur Indonesia. Mulai dari Buru dan Halmahera di Maluku, hingga Merauke dan Boven Digoel di Papua. Di tiap-tiap daerah yang dieksplorasi, KORINDO selalu menerapkan prinsip Kesehatan yang Baik untuk Sesama.

Prinsip itu termaktub jelas pada tiga misi yang diusung KORINDO. Salah satunya berbunyi:

Secara aktif meningkatkan kualitas hidup melalui program-program pengembangan sosial yang sistematis dan berkelanjutan.

Sebagaimana organisasi profesional pada umumnya, penetapan misi bukanlah perkara asal jadi. Misi dibuat sebagai koridor dan penentu arah gerak perusahaan. Ketika kualitas hidup manusia yang dijadikan cita-cita, jelaslah bahwa KORINDO bukan korporasi yang berorientasi pada laba semata, tetapi juga berkiblat pada kesejahteraan warga dan lingkungan di sekitarnya.

Sebelum saya ceritakan upaya apa saja yang sudah dilakukan KORINDO untuk meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman, mari kita berkenalan dengan perusahaan yang telah mempekerjakan lebih dari 30.000 orang karyawan ini melalui sajian video berikut.



Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Ya, peribahasa itu selalu dipegang teguh KORINDO dan dibuktikan dengan berbagai program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).

Akan tetapi, program ini bukanlah program santunan atau bantuan biasa. Saking seriusnya, KORINDO sampai menatanya ke dalam lima pilar yang mencakup seluruh sendi kehidupan manusia: pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan. Keren, kan?

Namun, kali ini saya tidak akan membahas semuanya. Nanti artikel ini jadi terlalu panjang untuk Anda kunyah. Sesuai pokok gagasan yang terhampar di alinea pembuka, saya akan mengudar satu ihwal saja. Kesehatan.

Jadi, apa yang sudah dilakukan KORINDO di bidang kesehatan? Banyak! Saya akan mengawali dari yang paling dasar: fasilitas kesehatan.



Tahukah, Kawan? Sekitar 352 kilometer ke arah selatan dari ibukota Papua, Jayapura, ada sebuah kabupaten tertinggal bernama Boven Digoel. Luas wilayahnya sekitar 27.108 km2, atau setara dengan 40 kali lipat luas Jakarta.

Meski luasnya berkali-kali lipat, jangan sekali-kali kamu sandingkan kapasitas ekonominya dengan ibukota. Jauh!

Pada 2019, BPS mencatat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Boven Digoel “hanya” sekisar Rp4,89 triliun. Dengan kata lain, perlu 581 kali salinan Boven Digoel untuk menyamai capaian ekonomi Jakarta yang senilai Rp2.840,83 triliun.

Sebagai korporasi sawit yang berbisnis di Boven Digoel, KORINDO paham betul apa arti kapasitas ekonomi bagi kesehatan masyarakat. Maknanya, dengan kondisi ekonomi serba-sulit, sudah pasti kualitas fasilitas kesehatan jauh dari kata mumpuni. Jangankan berobat, untuk makan saja mesti pontang-panting.



Oleh sebab itulah KORINDO berinisiatif mendirikan fasilitas kesehatan bernama Klinik Asiki. Klinik yang namanya diambil dari desa tempat mereka berpraktik, sebetulnya sudah berdiri sejak 1994. Seiring waktu berjalan, kebutuhan warga untuk mengakses fasilitas kesehatan berkualitas semakin bertambah.

Pada 2016, klinik ini diperluas dan dibangun kembali hingga selesai pada 2 September 2017. Kini, luas lahannya menjadi 2.929 m2, yang di atasnya berdiri bangunan bertingkat seluas 1.270 m2. Itu setara dengan rumah sakit besar, Kawan!

Tidak hanya luas, layanan kesehatannya juga lengkap dan berkualitas. Mulai dari layanan dokter umum, unit gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, penunjang medis, penunjang non-medis, asuhan keperawatan, rujukan, hingga BPJS Kesehatan.

Fasilitasnya pun tidak kalah lengkap. Ada ruang bedah minor, apotek, dua puluh dua tempat tidur rawat inap, ruang bersalin, nifas, dan rawat bayi, hingga poli kandungan dan gigi. Dengan kata lain, sebagian besar kebutuhan dasar kesehatan warga Boven Digoel sudah tercakupi.

Bagaimana dengan dokternya? Tenang. Ada dokter umum yang selalu berjaga-jaga. Secara berkala, Klinik Asiki juga mendatangkan dokter spesialis penyakit dalam dan dokter anak untuk menangani keluhan pasien maupun konsultasi khusus seperti masalah kehamilan, ibu, dan balita.



Memapah tegar di tepi sempadan. Itulah yang dicita-citakan KORINDO ketika membangun Klinik Asiki. Semula, warga Boven Digoel mesti menempuh jarak 3—12 jam perjalanan ke kabupaten seberang untuk memperoleh layanan kesehatan. Kini, mereka tidak perlu berpeluh keringat karena pusat kesehatan berkualitas sudah tersedia di tengah-tengah mereka.

Bicara soal kualitas, Klinik Asiki memang jempolan. Buktinya, klinik ini dinobatkan sebagai Klinik Terbaik se-Papua dan Papua Barat pada 2017 dan 2018 oleh BPJS Kesehatan. Jumlah warga yang mendapat pelayanan kesehatan juga kian banyak. Saat ini, lebih dari 10.000 pemegang kartu BPJS Kesehatan sudah merasakan layanan kesehatan Klinik Asiki.

Capaian ini tidak membuat KORINDO berpuas diri. Inovasi terus dilakukan kendati kondisi geografis diliputi banyak tantangan. Bahkan, tenaga medis Klinik Asiki tidak sungkan-sungkan menjemput bola—mendatangi ibu hamil yang berada di pelosok kampung di Boven Digoel.

Sebab Klinik Asiki sadar, angka kematian ibu (AKI) di daerah pedalaman jauh lebih besar dibanding perkotaan. Kementerian Kesehatan mencatat, AKI Papua pada 2018 mencapai 75 kasus. Oleh karenanya, tim medis Klinik Asiki rela turun lapang demi menekan AKI, khususnya di wilayah Boven Digoel.

Kalau boleh jujur, ada dua alasan mengapa AKI di Papua begitu tinggi. Pertama, masalah budaya. Warga pedalaman Papua berkeyakinan lebih baik melahirkan di tenda ketimbang di klinik atau puskesmas.

Padahal, melahirkan tanpa bantuan tenaga dan alat medis terbukti berbahaya. Harapan hidup seorang ibu saat melahirkan bakal semakin rendah. Sedih rasanya membayangkan seorang ibu, di tengah hutan, tanpa satu pun bidan atau dokter, mesti meregang nyawa sendirian.

Kedua, tantangan geografis. Boven Digoel ialah daerah yang dikelilingi hutan dan pegunungan. Meskipun Klinik Asiki sudah hadir di desa Asiki, masih ada saja warga, terutama yang tinggal di tengah hutan, merasa kesulitan menjangkau pusat kesehatan itu.



Itulah mengapa, tenaga medis Klinik Asiki tidak segan-segan turun ke lapangan demi mengajak ibu hamil supaya bersalin di Klinik Asiki. Dengan bantuan fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang berkualitas, keselamatan dan kesehatan ibu dan anak selama persalinan bisa lebih terjaga.

O ya, satu hal lagi. Setiap warga asli Papua yang berobat di Klinik Asiki, entah itu karena kurang enak badan, ibu hamil, ataupun pasien rawat inap; seluruhnya dibebaskan dari tanggungan biaya, alias cuma-cuma.

Betul. Anda tidak salah baca: GRATIS!

Ini bagian dari komitmen KORINDO untuk menyejahterakan kehidupan sosial dan menjaga kesehatan warga Papua. Untuk urusan kesehatan, KORINDO tidak hitung-hitungan. Setiap warga Papua berhak mendapat fasilitas kesehatan yang layak tanpa perlu mengeluarkan biaya. Titik.



Berkat kesungguhannya meningkatkan kualitas kesehatan di Boven Digoel, tidak heran bila Klinik Asiki kembali dinobatkan sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terbaik oleh BPJS Kesehatan pada 2019. Kali ini bukan hanya se-Papua dan Papua Barat saja, tetapi seluruh Indonesia. Ya, Klinik Asiki adalah klinik terbaik di Indonesia!

Dampak peningkatan fasilitas kesehatan warga Papua bisa kita tengok dari sajian data. Pada 2019, AKI di Papua berkurang, dari semula 75 kasus menjadi 66 kasus. Di Klinik Asiki sendiri, sepanjang 2015—2018, tidak ada satu pun kasus kematian ibu melahirkan.


Lantas, bagaimana dengan pandemi korona?

Isu kesehatan, apalagi sebesar pandemi korona, tidak luput dari perhatian KORINDO. Belum lama ini KORINDO memberikan bantuan 3.500 unit Alat Pelindung Diri (APD) berupa baju hazmat untuk tenaga medis di tiga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Papua, yakni Boven Digoel, Merauke, dan Mappi.

Tidak hanya tenaga medis, masyarakat Papua juga diberikan bantuan 120.000 unit masker gratis untuk mencegah penularan virus korona. Rinciannya, 50.000 masker untuk warga Boven Digoel, 50.000 masker untuk penduduk Merauke, dan 20.000 masker untuk masyarakat Mappi.



Itulah bukti komitmen KORINDO dalam meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman.




Upaya KORINDO meningkatkan kualitas kesehatan di Boven Digoel seyogianya menjadi acuan bagaimana semestinya pihak swasta bersikap. Mengejar profit boleh-boleh saja, asalkan aspek sosial, kemanusiaan, dan kesehatan tetap menjadi prioritas utama pembangunan daerah tertinggal. 

Usaha KORINDO memapah ketegaran warga Papua terbukti nyata. Berbekal koordinasi yang erat dengan pemerintah daerah, KORINDO membuktikan kepada kita bahwa menghadirkan senyum sehat bagi warga pedalaman bukan lagi impian belaka.



Sekarang, saya ajak Anda berandai-andai, menerka-nerka, atau menduga-duga. Jika semua korporasi di daerah tertinggal melakukan hal serupa, bolehlah kita optimis. Ketimpangan kualitas kesehatan di daerah pedalaman lambat laun akan terpangkas. Asalkan dilakukan secara tekun, konsisten, dan berkelanjutan.

Jangan lupa, sebanyak apa pun harta yang kita punya, semua tiada berarti tanpa kesehatan tubuh dan ketegaran raga. KORINDO telah mengajarkan kita, kesehatan harus ditempatkan di depan keuangan. Sebab KORINDO tahu, saat kesehatan diletakkan pada nomor urut satu, barulah bangsa ini bisa maju. [Adhi]

*** 

Artikel ini diikutsertakan dalam KORINDO Blog Competition 2020 bertema Meningkatkan Kualitas Kesehatan di Daerah Pedalaman. Tautan artikel ini sudah disebar melalui akun media sosial penulis, baik Instagram, Twitter, maupun Facebook.

Foto dan video bersumber dari situs dan akun YouTube milik KORINDO. Infografis diolah secara mandiri oleh penulis.

Senarai Rujukan:


[1] Badan Pusat Statistik. 2020. Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Hasil Proyeksi Penduduk menurut Provinsi, 2015 – 2035. [https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-hasil-proyeksi-penduduk-menurut-provinsi-2015---2035.html, diakses 27 September 2020]

[2] Badan Pusat Statistik Boven Digoel. 2020. PDRB Kabupaten Boven Digoel Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha 2019. [https://bovendigoelkab.bps.go.id/dynamictable/2020/03/04/7/pdrb-kabupaten-boven-digoel-atas-dasar-harga-berlaku-menurut-lapangan-usaha-2019.html, diakses 27 September 2020]

[3] Badan Pusat Statistik Jakarta. 2020. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2017-2019. [https://jakarta.bps.go.id/indicator/52/55/1/pdrb-atas-dasar-harga-berlaku-menurut-lapangan-usaha-.html, diakses 27 September 2020]

[4] Beritasatu. 2020. Jokowi Sebut Pandemi COVID-19 Akibatkan Ruralisasi. [https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/nasional/679939/jokowi-sebut-pandemi-covid19-akibatkan-ruralisasi, diakses 27 September 2020]

[5] Darwin, M dan Tukiran. 1991. “Penggunaan Hasil Sensus untuk Estimasi Urbanisasi” dalam Jurnal Populasi Vol. 1 (hlm. 72). Jakarta.

[6] Kementerian Kesehatan. 2020. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

[7] KORINDO. 2017. KORINDO CSR Report 2017: Continuously Working for a Better Society. Jakarta: KORINDO.

[8] KORINDO. 2018. Klinik Asiki Menjadi Klinik Terbaik Se-Papua. [https://korindonews.com/korindo-asiki-clinic-named-the-best-clinic-in-papua/?lang=id, diakses 27 September 2020]

[9] KORINDO. 2019. Klinik Asiki Berhasil Tekan Angka Kematian Ibu dan Anak di Boven Digoel. [https://korindonews.com/asiki-clinic-manages-to-reduce-maternal-and-child-mortality-rate-in-boven-digoel/?lang=id, diakses 27 September 2020]

[10] KORINDO. 2020. Antisipasi Peningkatan Kasus COVID-19 di Papua, KORINDO Group Bantu Ribuan APD. [https://korindonews.com/gallery/korindo-donates-ppe-hazmat-suits-to-hospitals-in-papua/?lang=id, diakses 27 September 2020]

[11] KORINDO. 2020. KORINDO Group Kirimkan Bantuan 120.000 Masker ke Papua. [https://korindonews.com/gallery/korindo-group-donates-120000-masks-to-papua/?lang=id, diakses 27 September 2020]

[12] KORINDO. 2020. One Steap Ahead Vol. 4 Edisi 6 – Maret 2020: Ini Adalah Awal dari Perubahan. Jakarta: KORINDO.

[13] Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia.

[14] Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024.

1 comment:

  1. Baru ngeh ternyata di Kalimantan tidak ada kabupaten yang tertinggal

    ReplyDelete