Gelembung
air mata sanak famili sontak pecah tatkala jasad Suriyanto (24) dan Rizal (18)
tiba di rumah duka. Isak tangis dan jeritan anggota keluarga memilukan batin setiap
warga yang mendengar. Pasalnya, mereka benar-benar tak menyangka bahwa sepasang
kawan akrab itu harus menemui ajalnya lantaran jerat narkoba.
Semalam,
Suriyanto dan Rizal kompak berpamitan. Mereka hendak menghadiri pesta ulang
tahun salah seorang teman di sebuah kafe. Sayangnya, mereka kebablasan. Laporan
polisi menyebutkan bahwa mereka kejang-kejang selepas mengonsumsi pil koplo dan
menenggak miras. Meski sempat dilarikan ke Rumah Sakit Nene Malommo, nyawa
keduanya tetap tidak tertolong.
Bagi
keluarganya, kematian dua pemuda asal Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, itu menyisakan
rasa malu dan kepedihan yang amat mendalam. Bagi Indonesia, lagi-lagi, ini
adalah sebuah narasi kekalahan yang patut dijadikan pelajaran. Ya, kekalahan kita
melindungi masa depan anak bangsa dari ancaman narkoba.
***
Prolog di atas hanyalah
salah satu dari sekian banyak kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Kita pun
paham, sebagian besar kisahnya pasti berujung mengenaskan. Kalau tidak menjadi
pesakitan di panti rehabilitasi atau mendekam di hotel prodeo, maka pelakunya akan
terancam kehilangan masa depan. Tidak sedikit pula yang harus merenggang nyawa akibat
overdosis. Jelas, ini merupakan tamparan keras bagi kehidupan berbangsa.
Bila kita tilik datanya,
nyatanya memang demikian. Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah
pengguna narkoba di Indonesia telah mencapai 5,1 juta orang—paling banyak
dibandingkan negara lain di Asia. Sayangnya, sekitar 40% di antaranya adalah
pemuda. Umumnya dari kalangan pelajar tingkat SMA dan mahasiswa.
Lantas, mengapa pemuda
sangat rentan mengonsumsi narkoba? BNN dalam Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018 menjelaskan
alasannya.
Sebagian besar (64%) mengaku
hanya ingin tahu atau sekadar coba-coba. Sedangkan 16,80% di antaranya menjawab
ingin bersenang-senang dengan narkoba. Menuruti bujukan teman (6,60%) dan stres
menghadapi masalah pribadi (5,60%) menjadi alasan berikutnya mengapa generasi
milenial tertarik mengonsumsi narkoba.
Data di atas menyajikan seutas
benang merah di hadapan kita: narkoba tidak ubahnya penyakit menular.
Penyalahguna narkoba tidak menggunakan barang haram sendirian. Persis seperti
kasus Suriyanto dan Rizal, narkoba pada umumnya dikonsumsi secara
beramai-ramai. Pencandu biasanya mengajak serta Pemula, sedangkan Pemula menghasut
mereka yang belum pernah mencoba. Awalnya sekadar ikut-ikutan, lama-kelamaan
menjadi kebiasaan.
Jika boleh jujur, ada dua faktor
utama mengapa jerat narkoba sulit dibendung oleh generasi muda. Pertama, harga yang terjangkau. Beberapa
jenis narkoba dijual dengan harga yang sangat murah. Tidak perlu menjadi anak
orang kaya untuk mengonsumsi narkoba. Bahkan, beberapa di antaranya dibanderol
setara dengan harga gula-gula. Bukankah sudah sering kita mendengar berita peredaran
narkoba yang menyerupai permen di kalangan pelajar?
Kedua,
mudah didapat. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Kriminal 2018 menyatakan bahwa penyalahgunaan/pengedaran
narkoba merupakan jenis tindak kriminal yang perkembangannya paling pesat. Pada
2018, pangsa jumlah desa/kelurahan yang memiliki tindak kriminal narkoba
mencapai 14,99%, atau meningkat dua kali lipat dibanding 2014 yang tercatat
7,22%. Bandingkan dengan tindak kriminal umum lainnya. Kasus pencurian,
misalnya, pangsanya ‘hanya’ meningkat 3,96% pada rentang periode yang sama.
Seperti tidak pandang bulu,
penyebaran narkoba juga relatif merata di seluruh provinsi. Masih bersumber dari
data yang sama, ada lima provinsi yang memiliki tindak kriminal
penyalahgunaan/pengedaraan narkoba tertinggi, yakni Sumatra Barat (37,73%),
Riau (36,43%), DKI Jakarta (34,46%), Kalimantan Selatan (33,62%), dan Sumatra
Utara (29,27%). Hal ini membuktikan minimnya hambatan para penyalahguna untuk
memperoleh barang haram tersebut.
Alhasil, kombinasi kedua
faktor di atas menjadikan narkoba tumbuh subur di Indonesia. Didukung oleh
permintaan yang seakan tiada habisnya, para pengedar narkoba seperti mendapat
angin segar untuk terus menunjukkan tajinya.
Faktanya, jumlah kasus
penyalahgunaan narkoba memang terpantau meningkat. BNN melaporkan, terdapat
64.378 tersangka kasus penyalahgunaan narkoba sepanjang 2017. Jumlah ini
meningkat 6,89% dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 60.226
tersangka. Data tersebut merupakan kombinasi dari seluruh kasus narkoba yang
ditangani oleh BNN dan Polri.
Setali tiga uang, jumlah
pelaku kejahatan narkoba dari kalangan pemuda juga turut meningkat. Pada 2017, jumlah
tersangka kasus kejahatan narkoba pada rentang usia 16—24 tahun mencapai 19,27%
dari total jumlah tersangka—meningkat 0,51% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Artinya, generasi milenial tidak hanya ditargetkan menjadi konsumen,
tetapi juga dijadikan alat untuk menyebarkan barang haram tersebut.
Sajian fakta di atas seakan
mengonfirmasi pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Putu Elvina. Ia mengatakan, anak-anak rentan dijadikan kurir oleh oknum
pengedar narkoba. Sepanjang 2017, KPAI mencatat setidaknya ada 22 kasus anak
yang menjadi kurir narkoba dan 46 kasus anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkoba.
Jelas, fenomena ini sangatlah
berbahaya dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab biar bagaimanapun, masa
depan bangsa berada di setiap pundak pemuda. Merenggut masa depan generasi muda
dengan narkoba sama halnya dengan menghancurkan masa depan bangsa.
Maka, peredaran narkoba di
kalangan pemuda harus segera dihentikan. Bukan saja dari sisi suplai, tetapi
juga dari sisi permintaan. Sebab Indonesia bebas narkoba adalah cita-cita kita
bersama. Surplus demografi pada 2045 yang diprediksi akan membawa Indonesia
menjadi macan dunia, tidak akan terwujud apabila borok narkoba masih mengaga.
Oleh sebab itu, ada satu
pertanyaan yang tersisa. Bagaimanakah cara membebaskan pemuda Indonesia dari
jerat narkoba? Artikel ini akan mencoba mengurai jawabannya.
Menumpas narkoba di
kalangan pemuda memang bukan pekerjaan rumah yang sederhana. Dibutuhkan
kegigihan, kesabaran, keseriusan, waktu, dan peran serta seluruh pemangku
kepentingan.
Penegakan hukum oleh Polri
dan BNN yang didasari Undang-Undang Nomor 35/2009 adalah satu hal. Di sisi
lain, upaya pencegahan dan rehabilitasi korban juga tidak bisa dikesampingkan. Maka,
saya berpendapat setidaknya ada empat hal yang patut kita lakukan.
Pertama, meningkatkan pelibatan keluarga.Sebagai pranata sosial dengan lingkup yang
paling sederhana, keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam upaya
menumpas narkoba. Bahkan, keluarga seharusnya menjadi benteng pertahanan
pertama dan paling utama dalam melindungi anak bangsa dari jerat narkoba.
Karakter anak sejatinya
dibentuk oleh anggota keluarga, khususnya orangtua. Kasih sayang, bimbingan, pengawasan,
dan didikan orangtua akan membentuk pola pikir seorang anak. Pola asuh yang
benar akan membentuk kepribadian anak yang benar pula. Sehingga meminimalisasi
risiko terjerumusnya anak ke dalam lembah hitam narkoba.
Sebaliknya, anak yang
dibesarkan dengan pola asuh yang kurang baik akibat perceraian atau kekerasan
dalam rumah tangga, misalnya, akan merusak karakter anak. Alhasil, anak menjadi
enggan tinggal di rumah, lantas mencari kasih sayang dan penghiburan semu di
luar rumah. Kalau sudah begini, anak menjadi rentan terkena risiko pergaulan
bebas. Pada kondisi inilah, berbagai barang haram, termasuk narkoba, akan berpotensi
masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan anak.
Maka, keseriusan orangtua dalam
mendidik anak menjadi hal yang utama. Mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua
harus mempelajari seluk-beluk narkoba. Mulai dari jenisnya, sumber
peredarannya, dampak hukumnya, hingga bahayanya bagi anak-anak. Tujuannya hanya
satu, supaya para orangtua bisa mendidik anaknya untuk menjauhi narkoba, apa
pun alasannya.
Kedua, pendidikan antinarkoba harus
ditingkatkan. Kita patut bersyukur bahwa Kemdikbud dan BNN
telah sepakat untuk memasukkan materi bahaya penggunaan narkoba ke dalam
kurikulum di seluruh jenjang pendidikan. Kesepakatan itu dituangkan dalam Nota
Kesepahaman yang ditandatangani kedua belah pihak pada 19 Juli 2018.
Namun demikian, kita tidak
boleh puas sampai di sana. Sebab, belum semua sekolah bisa memasukkan materi
pendidikan antinarkoba ke dalam kurikulumnya.
Agar bisa diterapkan secara
lebih masif, maka dasar hukum pendidikan antinarkoba harus lebih ditingkatkan. Bukan
sekadar Nota Kesepahaman, melainkan produk hukum yang derajatnya lebih tinggi.
Seperti Peraturan Menteri Pendidikan, Peraturan Pemerintah, atau bahkan
Undang-Undang.
Jikalau upaya memberantas
narkoba adalah prioritas utama bangsa ini, maka cita-cita menciptakan
Undang-Undang Pendidikan Antinarkoba bukanlah isapan jempol semata. Sebab lingkungan
sekolah adalah hal yang terpenting setelah keluarga. Di sekolah, setiap anak
akan mempelajari segala hal. Di sekolah pula anak semestinya mendapatkan
pendidikan antinarkoba yang cukup dan memadai.
Ketiga, koordinasi lintas otoritas. Upaya
pemberantasan narkoba sejatinya bukan hanya menjadi tugas Polri dan BNN,
melainkan seluruh perangkat negara. Masing-masing otoritas tentu memiliki
segudang keterbatasan. Baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggaran. Agar
hasilnya semakin optimal, seluruh otoritas harus bahu-membahu dalam memberangus
akar narkoba dari Bumi Pertiwi.
Di ranah sosialisasi,
misalnya. Peran Kominfo tidak bisa dikesampingkan. Sebagai otoritas komunikasi
di negeri ini, Kominfo bisa membuat konten mengenai bahaya narkoba untuk
seluruh penduduk Indonesia. Contohnya dengan cara mengirim pesan singkat ke setiap
nomor pengguna ponsel aktif.
Untuk menjangkau kalangan
milenial, iklan layanan dalam format video kekinian patut menjadi pertimbangan.
Mari kita bayangkan. Seandainya konten sosialisasi antinarkoba dibuat sedahsyat
iklan promosi Asian Games 2018—yang menampilkan Presiden Joko Widodo mengendarai
sepeda motor, maka sudah tentu akan menjadi viral. Cara seperti ini akan sangat
efektif untuk meningkatkan kesadaran (awareness)
setiap warga negara mengenai dampak negatif narkoba.
Di bidang penindakan dan
pemberantasan, koordinasi antara aparat desa atau kelurahan dengan kepolisian
menjadi kunci keberhasilan. Bila diperlukan, pembentukan satgas antinarkoba di
tingkat desa/kelurahan—yang beranggotakan warga dan anggota polisi, dapat
menjadi alternatif jawaban untuk menutup pintu peredaran dan transaksi narkoba.
Dengan begitu, tugas polisi dalam memetakan jaringan narkoba dapat lebih cepat
dan tepat.
Terakhir, optimalisasi upaya rehabilitasi.Tidak semua penyalahguna narkoba harus
mendapat hukuman pidana. Ada yang dipenjara atau dihukum mati karena berperan
sebagai pengedar, ada pula yang mesti direhabilitasi lantaran menjadi pencandu.
Jika tindakan represif terhadap narkoba dianggap penting, maka upaya
rehabilitasi pun semestinya serupa.
Sayangnya, jumlah pusat
rehabilitasi narkoba di Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 150 unit.
Padahal, jumlah pencandu narkoba diperkirakan mencapai 5,1 juta orang.
Sebagai gambaran, kapasitas
pusat rehabilitasi sekelas Balai Besar Rehabilitasi milik BNN di Lido Bogor
saja, hanya dapat menampung sekitar 450 pasien. Dengan demikian, pembangunan
pusat rehabilitasi narkoba harus tetap menjadi agenda sesuai dengan jumlah pencandu
narkoba di masing-masing daerah.
Selain jumlah yang
terbatas, stigma negatif yang beredar di kalangan masyarakat tentang pencandu
narkoba juga membuat pasien enggan dirawat di pusat rehabilitasi. Padahal, pencandu
narkoba berbeda dengan pengedar narkoba. Mereka sama seperti pasien atau
pesakitan biasa, yang membutuhkan sokongan batin dari berbagai pihak agar
sembuh total. Termasuk dari anggota keluarga dan masyarakat.
Ada juga yang enggan
mengunjungi pusat rehabilitasi lantaran takut biayanya mahal. Padahal, itu
salah besar.
Seluruh pusat rehabilitasi
yang dikelola oleh BNN bebas biaya alias gratis. Sejak hari pertama pasien
dirawat inap hingga dibolehkan rawat jalan atau sembuh total, seluruh biaya
menjadi beban anggaran negara. Informasi inilah yang tidak banyak diketahui
masyarakat sehingga proses penyembuhan pasien menjadi berjalan lambat. Korban pun
rentan menjadi pencandu aktif kembali.
Maka, sejalan dengan upaya
yang ketiga, sosialiasi mengenai pusat rehabilitasi juga harus dilakukan secara
masif. Mulai dari lokasi, fasilitas, rekam jejak (track record), hingga informasi bebas biaya harus disebarkan
seluas-luasnya. Lagi-lagi, untuk menjangkau kalangan pemuda atau kaum milenial,
konten yang kreatif, kekinian, dan jauh dari kata membosankan haruslah menjadi
prasyarat yang tidak boleh dialpakan.
Dengan melakukan keempat
cara tersebut, kita patut optimis memandang masa depan bangsa. Narkoba memang
seperti virus yang bisa menghinggapi diri setiap pemuda. Namun, haram hukumnya
apabila kita menyerah begitu saja. Gerakan pemuda antinarkoba sejatinya
merupakan perjuangan yang tidak mengenal kata akhir. Sebab tipu daya narkoba
bisa mengancam siapa saja dan dari mana saja.
Maka, sudah saatnya kita
bergandeng tangan dan menyatukan langkah kaki. Ingat, musuh kita hanya satu,
dan itu bukanlah Sang Pencandu. Lawan kita adalah segala jenis narkoba yang
melesap ke dalam sendi-sendi kehidupan dan mengancam masa depan. Saya, Anda,
dan kita semua, mesti lantang meneriakkan frasa berikut: “Bebaskan pemuda dari
jerat narkoba!”. Itu saja. [Adhi]
***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Gema Anti Narkoba 2019 yang diselenggarakan
oleh Bakesbangpol DKI Jakarta, dan berhasil meraih Juara Harapan 2.
Badan Narkotika Nasional. 2018. Executive Summary Survei
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018. Jakarta: Badan Narkotika
Nasional.
Badan Narkotika Nasional. 2018. Indonesia: Narkoba dalam
Angka Tahun 2017. Jakarta: Badan Narkotika Nasional.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Kriminal 2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Detik.com. 2018. Intermeso Kepala Balai Besar
Rehabilitasi BNN Mohamad Ali Azhar: Tingkat Kambuhnya Kecil [daring]
(https://x.detik.com/detail/intermeso/20180409/Tingkat-Kambuhnya-Kecil/,
diakses tanggal 19 April 2019).
Fajar.co.id. 2018. Usai Konsumsi Pil Koplo, Dua Pemuda di
Sidrap Tewas Operdosis [daring] (https://fajar.co.id/2018/12/01/usai-konsumsi-pil-koplo-dua-pemuda-di-sidrap-tewas-operdosis/,
diakses tanggal 19 April 2019).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2018. KPAI Catat Anak
Dimanfaatkan Jadi Kurir Narkoba [daring]
(www.kpai.go.id/berita/kpai-catat-anak-dimanfaatkan-jadi-kurir-narkoba, diakses
tanggal 19 April 2019).
Koran Sindo. 2017. 40% Pengguna Narkoba Pelajar &
Mahasiswa [daring] (https://nasional.sindonews.com/read/1257498/15/40-pengguna-narkoba-pelajar-mahasiswa-1510710950,
diakses tanggal 19 April 2019).
Republika Online. 2018. Anak Muda Pengguna Narkoba
Terbanyak di 2018 [daring] (https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/12/20/pk106n430-anak-muda-pengguna-narkoba-terbanyak-di-2018,
diakses tanggal 19 April 2019).
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
Kesibukan
di kantor terkadang membuat kita lupa dengan segala hal. Sederet perintah atasan
kerap menjadi prioritas yang maklum didahulukan. Padahal, saat layar ponsel memunculkan
notifikasi gajian, saat itu pula kita harus menunaikan kewajiban. Ya, apalagi
kalau bukan zakat penghasilan?
***
Zakat
adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat muslim. Syaratnya
ada dua, sudah mencapai batas waktu (haul) dan jumlah (nisab) tertentu. Ketika
seluruh syaratnya terpenuhi, maka tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk
menunda-nunda, apalagi alpa, dalam menunaikan zakat.
Hanya saja, karena saking sibuknya mencari nafkah,
terkadang kita lalai dalam berzakat. Tiap kali gaji masuk ke rekening tabungan,
hal pertama yang tercetus adalah belanja kebutuhan rumah tangga atau membayar
cicilan. Bukan kewajiban, bukan pula zakat penghasilan. Hayo, siapa yang
demikian?
Jujur saja, sebagai seorang
pekerja kantoran, saya pun pernah terlalai dalam berzakat. Sibuk menumpuk
pundi-pundi Rupiah tanpa tahu kewajiban yang sebenarnya. Kala itu, saya memang kurang
begitu paham mengenai hukum zakat.
Maklum saja, jiwa muda
memang cinta dunia dan terkadang melupakan tabungan amal yang sebenarnya. Sampai
akhirnya, sekira setahun pasca menikah, saya tersadarkan oleh pertanyaan istri.
“Kamu sudah bayar zakat,
belum?”
Berawal dari pertanyaan
sederhana itu, akhirnya saya belajar. Kedudukan zakat tidak ubahnya seperti
salat: sama-sama wajib. Maka, sudah semestinya kita menempatkan zakat dalam
urutan pertama. Tidak boleh dinomorduakan, tiada bisa dikesampingkan.
Lagi pula, esensi berzakat
itu sebenarnya sangat mulia. Memerdekakan saudara kita dari kekurangan harta. Melegakan
siapa saja yang tengah terhimpit hutang dunia. Serta memuluskan langkah mereka
yang berjuang di jalan-Nya. Benar, tidak?
Nah, supaya tidak lupa
berzakat, saya punya empat resep cepat. Tentu saja, resep ini bukanlah buah dari
kesoktahuan atau keriaan saya. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin berbagi,
siapa tahu kamu atau 129,36 juta pekerja di Indonesia selain kamu, jadi bisa membayar
dan menunaikan zakat tepat waktu.
Oke. Tanpa berpanjang
lebar, ayo kita ulas satu per satu.
1. Gunakan Fitur Pengingat
Kaidahnya sama dengan alarm
bangun pagi. Aturlah fitur pengingat (reminder)
di ponsel kalian, terutama pada tanggal gajian. Kalau perlu, buatlah narasi
semacam jangan lupa bayar zakat atau jangan takut berzakat
sebagai pelengkap notifikasi. Supaya antilupa, supaya tidak alpa.
Bagi kalian yang sehari-hari
berkutat dengan laptop, buatlah catatan tempel (sticky notes) di desktop.
Sesibuk dan sebanyak apa pun pekerjaan yang dihadapi, mau tidak mau, kalian
akan membaca catatan yang sudah terpatri. Bilamana kalender sudah berganti
tanggal menjadi 25, maka tunaikan zakat saat itu juga.
2. Tunaikan Segera
Menunaikan zakat seumpama
melaksanakan salat. Semakin ditunda, maka akan semakin malas. Oleh karena itu,
resep berikutnya adalah jangan pernah menunda-nunda. Tunaikan segera tatkala
upah sudah berada dalam genggaman. Jangan ragu, jangan pula sekadar menjadi
angin lalu.
Untuk bisa menunaikan zakat
dengan segera, pola pikir yang benar kudu menyertai. Maksudnya begini. Sesuai
kaidahnya, tidak semua harta yang kita miliki adalah hak kita pribadi. Sebagian
kecilnya ada hak para mustahik. Maka, penuhilah hak mereka. Supaya lebih plong,
supaya lebih lega. Hati tenang, harta pun menjadi berkah.
3. Jurus Potong Atas
Apa prioritas pertama
kalian ketika terima honor atau gajian? Membayar cicilan? Belanja bulanan? Atau
nongkrong di kedai kopi seberang jalan? Kalau iya, mari kita ubah dari sekarang.
Sebab semestinya, zakatlah yang harus menempati prioritas utama dalam urusan
keuangan.
Caranya begini. Kalau
kalian rajin bikin pengeluaran bulanan, maka itu satu langkah yang benar.
Tinggal menempatkan zakat pada baris pertama pos pengeluaran saja. Sebelum
membayar tagihan dan belanja bulanan, keluarkan 2,5 persen-nya terlebih dahulu.
Jangan terbalik, apalagi dibalik-balik. Singkatnya, pakai jurus potong atas saja.
4. Manfaatkan Teknologi
Zaman sekarang adalah
eranya digital. Apa-apa bisa kita lakukan lewat perangkat teknologi. Begitu
juga dengan berzakat. Kita tidak perlu lagi mencari-cari siapa yang pantas
menerima zakat. Sebab, di dalam genggaman dan di balik laman digital, sudah
banyak bertebaran lembaga donasi yang siap menyalurkan.
Tapi awas, pilihlah lembaga
yang benar-benar terpercaya seperti Dompet Dhuafa.
Lembaga filantropi Islam ini sudah tegak berdiri sejak saya masuk SD, tepatnya
4 September 1994. Sejak itu pula, Dompet Dhuafa telah banyak menyalurkan donasi,
baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, ataupun bantuan bencana.
Jangan takut berzakat di
Dompet Dhuafa. Sebab lembaga ini sudah dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat
(LAZ) oleh Kementerian Agama sedari 2001. Kelasnya juga sudah berada di tingkat
nasional. Artinya, siapa pun dan di titik mana pun kalian berada, Dompet Dhuafa
siap menyalurkan zakat kita.
Yang saya suka, Dompet
Dhuafa menyediakan fitur kalkulator zakat di laman resminya. Fitur ini sangat
membantu kita untuk menghitung kewajiban zakat yang mesti dikeluarkan secara
tepat. Jadi, tidak perlu repot-repot lagi mengeluarkan coret-coretan.
Pilihan cara membayar
zakatnya pun terbilang lengkap. Bisa transfer antarbank, boleh juga pembayaran
daring (online payment). Bahkan, jikalau
kelewat sibuk sampai-sampai tidak
punya waktu membayar zakat (semoga tidak, ya), Dompet Dhuafa juga menyediakan
layanan jemput zakat! Kurang apa coba?
Oleh karena itu, sudah
tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menunda-nunda berzakat. Mulai dari
sekarang, ingat-ingat dan amalkan keempat resep cepat tadi. Jangan takut
berzakat. Semoga dengan begitu, kita termasuk ke dalam barisan manusia bertakwa
dan diberi ganjaran surga oleh Sang Pencipta. Amin. [nodi]
***
Foto dan gambar yang
ditampilkan dalam artikel ini bersumber dari koleksi pribadi, Pixabay, dan
Dompet Dhuafa. Seluruhnya diolah terlebih dahulu oleh penulis.
Kemenangan
hanya dimiliki mereka yang gigih belajar. Kejayaan akan digenggam oleh mereka
yang sarat pengalaman. Itulah pelajaran hidup yang tiada pernah keliru. Tidak
akan terganti meski kala terus berlalu.
***
Pelajaran hidup terbaik
kadang kala bisa kita temui saat berwisata. Khususnya ketika bertualang ke objek
wisata yang sarat akan sejarah. Museum, candi, atau bangunan peninggalan masa
penjajahan, misalnya. Tentu, ada banyak hal-hal unik dan menarik yang bisa kita
pelajari dari sana.
Kita patut bersyukur bahwa Indonesia
adalah negeri yang kaya akan riwayat, legenda, dan peristiwa. Kisahnya lekang
abadi dan kekal hingga zaman sekarang. Sejak masa kerajaan hingga era
penjajahan, semuanya bisa ditelusuri dan dipelajari lewat berbagai tengara (landmark) yang mudah ditemui di berbagai
kota di Nusantara.
Nah, salah satu gedung
peninggalan zaman penjajahan yang sarat akan sejarah adalah Lawang Sewu di
Semarang. Oh, bangunan angker dan berhantu
itu, ya? Biar saya tebak, pasti di antara kalian ada yang berpikir begitu,
kan?
Kalau memang iya, ya, tidak
apa-apa. Sah-sah saja. Sebab cagar budaya seluas 14.216 m2 ini
memang terkenal seram gara-gara pernah menjadi lokasi shooting acara uji nyali beberapa tahun silam.
Hanya saja, untuk saat ini,
mari kita kesampingkan sejenak rasa takut dan ngeri. Daripada bulu kuduk
semakin merinding, mending kita ulas sejarah Lawang Sewu saja. Siapa tahu ada
di antara kalian yang hendak berkunjung ke Semarang dalam waktu dekat. Setuju?
Mengenal Lawang Sewu
Lawang Sewu dirancang dan
dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah melewati masa pembangunan
selama 3 tahun, tepat pada 1 Juli 1907 Lawang Sewu akhirnya berdiri.
Semula, bangunan bercat
putih ini difungsikan sebagai kantor pusat Perusahaan Kereta Api Swasta. Para meneer Belanda menyebutnya dengan NIS,
singkatan dari Nederlansch Indische
Spoorweg Maatscappij. Sejarah panjang kereta api Indonesia pun bermula dari
sini.
Nama Lawang Sewu sendiri
berasal dari lidah penduduk lokal. Dalam bahasa Jawa, lawang sewu bermakna seribu
pintu. Sebutan ini tercetus lantaran banyak sekali pintu yang menghiasi
bilik dan lorong bangunan Lawang Sewu. Kendatipun demikian, sebenarnya jumlah
pintu di Lawang Sewu hanya ada 342 saja.
Pada masa perjuangan
kemerdekaan melawan Jepang, nama Lawang Sewu kembali mencuat ke permukaan.
Pasalnya, bangunan tersebut direbutkan oleh Angkatan Muda Kereta Api (AMKA)
dengan tentara Jepang. Belasan pejuang muda gugur pada pertempuran kala itu.
Dalam perkembangannya, bangunan
bersejarah yang terletak di persimpangan jalan Pandanaran dan Pemuda ini mengalami
beberapa kali perbaikan. Namun demikian, pemugaran besar-besaran terjadi pada
2011. Bagian gedung yang rusak dan hancur mendapat sentuhan renovasi. Dinding
dan pilar yang kusam dicat kembali. Alhasil, kini Lawang Sewu kembali tampak gagah
dan indah berseri.
Bagi para penggemar
fotografi, Lawang Sewu merupakan salah satu landmark
di kota Semarang yang wajib disinggahi. Keindahan arsitektur begaya aristokrat Belanda
memang menjadi daya tarik yang tidak dimiliki objek wisata lain. Karena itu
pula, tidak jarang Lawang Sewu digunakan sebagai lokasi foto pranikah.
Sejujurnya, kesan angker bangunan
yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia ini sudah sirna. Meskipun berkunjung
pada malam hari, ia tampak indah dan mewah. Kini, Lawang Sewu memang seperti
terlahir kembali setelah memenangi perjuangannya melawan waktu.
Berwisata ke Lawang Sewu
Bersama Pegipegi
Bagi kalian yang ingin bertualang
ke Semarang, jangan lupa mampir ke Lawang Sewu, ya. Untuk urusan menginap,
jangan khawatir. Sebab sudah banyak hotel
di Semarang yang murah dan terjangkau. Semua bisa kalian
temui di sekitar Lawang Sewu.
Supaya lebih mudah saat mencari
penginapan murah di Semarang, buka laman atau unduh
saja aplikasi Pegipegi. Lewat
aplikasi Pegipegi, kalian tidak perlu repot-repot lagi. Mencari hotel murah di Semarang menjadi lebih gampang dengan lima langkah sederhana.
Silakan tilik infografisnya di bawah ini.
Pertama, cari. Masuk ke halaman atau menu utama, kemudian
pilih menu hotel. Masukkan nama hotel atau kota, kemudian pilih tanggal check-in dan check-out. Saran saya, supaya mesin pencari Pegipegi langsung
menampilkan hotel yang dekat dengan Lawang Sewu, ketiklah “Lawang Sewu" di
kolom nama kota.
Kedua,
pilih. Pegipegi akan menampilkan deretan hotel dan penginapan
yang sesuai dengan kriteria pencarian kalian. Selain itu, ada pula penilaian (rating) yang dapat menjadi acuan bagi
kalian dalam memilih hotel.
Ketiga,
pesan. Setelah cocok dengan harga dan fasilitas yang tersedia,
segera klik tombol “pesan kamar”. Selanjutnya, kalian akan diminta mengisi data
pemesan dan tamu yang akan menginap.
Keempat,
bayar. Cek kembali data yang sudah diisi untuk memastikan
tidak ada kesalahan pengisian. Kalau sudah benar, segera lakukan pembayaran.
Pegipegi menyediakan beragam pilihan metode pembayaran, mulai dari transfer
antarbank, ATM, kartu kredit, atau pembayaran tunai di swalayan.
Terakhir, dapatkan
e-ticket. Setelah rampung
bayar-membayar, e-ticket akan dikirim
ke alamat surel kalian. Tunjukkan e-ticket
ini ke resepsionis di lobi hotel tempat kalian menginap dan nikmati mudahnya
mencari penginapan murah lewat Pegipegi.
Jadi, bagaimana? Sudah siap
menikmati pesona Lawang Sewu di Semarang?
***
Foto yang ditampilkan dalam
artikel ini bersumber dari Bank Indonesia Semarang dan Christian OVP. Nama masing-masing
sumber telah dicantumkan dalam setiap foto.
Mengurus
pekarangan rumah selalu lebih rumit dibanding mempercantik ruang tengah. Selain
sulit dijangkau, daya tarik pekarangan rumah juga tidak sepopuler ruang tengah.
Tiada tuan rumah yang sudi menjamu tamunya di pekarangan. Itulah mengapa,
rupa-rupa karya seni dan pajangan terbaik selalu diletakkan di ruang tengah,
bukan di pekarangan.
Padahal,
peran pekarangan rumah tidak bisa dipandang sebelah mata. Di mata petandang, ia
laksana cermin yang merefleksikan kepribadian Sang Tuan Rumah. Jikalau banyak
sampah dan kotoran, maka hasrat bertamu akan terancam buyar. Sebaliknya pun
demikian. Tatkala ditanami beragam bunga yang indah dan cantik, mata siapa pula
yang tidak akan melirik?
Hanya
saja, mempercantik pekarangan rumah tidak bisa dilakukan secara sembarangan
atau asal-asalan. Dibutuhkan tiga perkara, yakni kegigihan, keuletan, dan
kesabaran. Apalagi ketika “rumah” itu bernama Indonesia—negara dengan “pekarangan
rumah” terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada.
***
Sejak zaman penjajahan dulu,
pembangunan Nusantara memang selalu dimulai dan difokuskan pada “ruang tengah”
bernama pulau Jawa. Dengan bertumpu pada Batavia sebagai titik pusat pemerintahan
dan ekonomi, Belanda membangun berbagai infrastruktur dasar yang diperlukan.
Sebut saja pelabuhan, stasiun, ataupun bandar udara.
Diskursus ini kemudian
berlanjut dan dipraktikkan pada awal masa kemerdekaan. Apalagi ketika memasuki
masa Orde Baru, pembangunan bernuansa Jawa sentris menjadi sangat lekat dan
dilakukan secara lebih masif. Cara ini terus berlangsung hingga awal periode reformasi.
Alhasil, buah pembangunan itu
terhampar rata di sekujur pulau Jawa. Mulai dari gedung pencakar langit, jalan
tol berkilo-kilometer, pusat perbelanjaan megah, hingga segudang fasilitas
modern, dapat dengan mudah kita temui di pulau seluas 128,29 ribu km2
ini.
Seperti kata pepatah, di
mana ada gula, di situ pasti ada semut. Penyebaran penduduk pun terkonsentrasi dari
Ujung Kulon hingga Banyuwangi. Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan ada
sekitar 145 juta jiwa penduduk, atau lebih dari setengah total jumlah penduduk
Indonesia, yang bermukim di tanah Jawa.
Terpusatnya pembangunan di
pulau Jawa, tentu membawa dampak bagi daerah lainnya. “Pekarangan rumah” berupa
daerah perbatasan seringkali terabaikan. Buktinya, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) antara daerah tengah dan pinggiran menjadi sangat jomplang. Mari kita cermati
grafik di bawah ini.
Nilai IPM daerah perbatasan
seperti Papua (60,06), Papua Barat (63,74), Nusa Tenggara Timur (64,39), dan
Sulawesi Barat (65,10) berada jauh di bawah nilai rata-rata IPM secara nasional
(71,39). Dibandingkan dengan ibukota Jakarta (80,06), nilai IPM daerah perbatasan
ibarat langit dan bumi. Jauh sekali!
Padahal, sumber kekayaan
alam Indonesia sejatinya terletak di “pekarangan rumah”. Papua, misalnya. Daerah
yang dulunya dikenal dengan nama Irian Jaya itu dianugerahi komoditas logam
yang melimpah, lahan sawit yang subur, hingga deretan hutan hujan yang lebat. Sayangnya,
berbagai kekayaan alam tadi belum bisa diejawantahkan dalam pembangunan yang
mumpuni, baik dari sisi infrastruktur, fasilitas pendukung, maupun kualitas
sumber daya manusia.
Bila kita mau belajar dari
sejarah, peran daerah perbatasan sebenarnya sangat vital. Taruhannya juga tidak
main-main, yakni kedaulatan bangsa. Sebagai contoh, mari kita tengok kisah sengketa
pulau Sipadan dan Ligitan beberapa tahun silam.
Kala itu, kita harus
merelakan dua pulau yang berada di selat Makassar tersebut berpisah dari
pangkuan Ibu Pertiwi. Tepat pada 17 Desember 2002, International Court of Justice (ICJ) memutuskan Sipadan dan Ligitan
resmi menjadi daerah teritorial Malaysia. Salah satu alasannya sangat
sederhana. Ringgit lebih banyak digunakan untuk transaksi ekonomi penduduknya
ketimbang Rupiah.
Cerita Sipadan dan Ligitan
sontak menjadi tamparan keras bagi kita semua. Analogi yang dipilih hakim ICJ
sangat jelas: semakin tinggi tingkat kepercayaan daerah terhadap suatu mata
uang, semakin tinggi pula campur tangan Sang Pemilik mata uang terhadap
pembangunan daerah tersebut. Dengan kata lain, kita tidak cukup serius menyatukan
dan mempersatukan “pekarangan rumah” NKRI.
Tentu saja, ke depan kita
tidak boleh alpa lagi. Pembangunan daerah perbatasan harus menjadi prioritas
bangsa ini. Jangan karena terus-menerus tertinggal, pekarangan rumah yang
lengkap dan asri terpaksa harus berpisah atau memisahkan diri. Gelora itu mesti
kita patri dalam hati seraya meresapi makna semboyan yang sudah tidak asing
lagi di telinga: “NKRI harga mati!”
Lebih baik telat daripada
tidak sama sekali. Kita patut bersyukur bahwa dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah telah melakukan upaya yang serius dalam membangun daerah perbatasan.
Ini terbukti dari diberlakukannya PP Nomor 78/2014 yang teknis pelaksanaannya
diatur lebih lanjut melalui Perpres Nomor 131/2015.
Dari sana, kita bisa
mengetahui 6 kriteria daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal (3T) yang menjadi acuan pemerintah. Mereka adalah (i)
perekonomian masyarakat; (ii) sumber daya manusia; (iii) sarana dan prasarana;
(iv) keuangan daerah; (v) aksesibilitas; dan (vi) karakteristik daerah.
Hasilnya, ada 122 kabupaten
yang tersebar di 24 provinsi yang masuk kategori daerah tertinggal. Dari jumlah
tersebut, 94 kabupaten (77,05 persen) di antaranya berasal dari wilayah Kawasan
Timur Indonesia (KTI), yakni Papua, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Bila
diteliti lebih dalam, Papua tercatat sebagai provinsi penyumbang daerah
tertinggal terbanyak, yaitu 26 kabupaten (21,31 persen).
Sajian data tersebut
memberi rambu-rambu yang jelas untuk menentukan arah percepatan pembangunan di daerah
3T. Memapas tingginya kesenjangan di KTI, khususnya Papua, harus menjadi daftar
lakon (to-do-list) nomor satu apabila
bangsa ini ingin maju. Pertanyaannya, siapa yang paling bertanggung jawab
melakukannya?
Dalam membangun suatu
bangsa, tentu pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Ada peranan atau
kedudukan pihak swasta dan masyarakat yang juga tidak kalah penting. Sebab
dalam memacu putaran roda ekonomi riil, korporasi dan individu masyarakat justru
merupakan pemegang kendali yang sebenarnya.
Lantas, bagaimana cara yang
paling tepat dalam membangun daerah tertinggal? Langkah pertama adalah menciptakan
pusat ekonomi baru yang bersinergi dengan kearifan lokal. Artinya, teknologi,
keahlian, investasi, dan sumber daya yang diangkut dari luar daerah tertinggal,
mesti bersatu-padu dengan tenaga kerja lokal. Supaya kualitas sumber daya
manusia yang tadinya terbelakang, bisa turut maju dan berkembang.
Langkah selanjutnya adalah
memastikan hasil pembangunan tetap bercokol di daerah asal. Tatkala pusat
ekonomi sudah dibangun, manisnya perasan madu pembangunan harus menetes di
sekitarnya. Jangan diangkut semua. Mesti ada yang tersisa, baik berupa
pendapatan daerah, infrastruktur penunjang, bantuan sosial, pendidikan, maupun
sarana dan prasarana umum.
Terakhir, menjaga
kesinambungan. Bila kedua langkah di atas dilakukan secara konsisten, maka penanggalan
status daerah tertinggal hanya tinggal menunggu waktu saja. Sebab pembangunan
infrastruktur besar seperti jalan tol, listrik, pelabuhan, dan bandar udara
akan terlaksana sejalan dengan kebutuhan warganya.
Mencontoh kesuksesan adalah
cara tercepat membangun daerah tertinggal. Jika ingin belajar bagaimana cara
swasta membangun daerah tertinggal, maka contohlah cara KORINDO dalam
menjalankan usahanya.
KORINDO adalahkorporasi yang bergerak di bidang
sumber daya alam, yang seluruh sahamnya dikuasai oleh putra-putri bangsa. Sejak
berdiri pada 1969, lini bisnis KORINDO terus berkembang dengan pesat.
Produk yang dihasilkan pun menjadi
beragam, mulai dari kayu lapis (1979), kertas (1984), perkebunan kayu (1993),
dan perkebunan kelapa sawit (1995). Pundi-pundi devisa hasil ekspor terus
mengalir untuk Negeri Tercinta, lantaran produk KORINDO telah menembus pasar
Amerika, Eropa, dan Asia.
Eksplorasi sumber daya alam
Nusantara dilakukan KORINDO di beberapa daerah tertinggal, seperti Buru dan
Halmahera di Maluku, serta Merauke dan Boven Digul di Papua. Pada setiap daerah
yang dieksplorasi, KORINDO berkomitmen untuk berkembang bersama-sama dengan
masyarakat lokal.
Komitmen tersebut tercermin
dari visi dan ketiga misi yang diusungnya. Sebagai contoh, mari kita cermati
misi kedua yang berbunyi, “Membangun
kesadaran, pengetahuan, dan kapasitas, dan juga partisipasi aktif masyarakat
lokal dalam usaha meningkatkan kesejahteraan hidup mereka”. Jelas, uraian
misi itu merupakan sebuah nilai luhur yang mesti dicontoh oleh korporasi
lainnya dalam memutar roda bisnis di daerah tertinggal.
Nah, sebelum mengulas
tindakan nyata apa saja yang dilakukan KORINDO dalam membangun daerah
perbatasan, ada baiknya kita berkenalan dengan korporasi yang memiliki lebih
dari 30 anak perusahaan ini. Agar lebih nikmat dan nyaman, profil singkat
KORINDO saya sajikan melalui video berikut ini.
Dalam menghadirkan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, KORINDO
memiliki program pembangunan masyarakat berkelanjutan yang diberi nama Corporate Social Responsibility (CSR).
Bukan sekadar program CSR biasa, sebab seluruh elemen kehidupan bermasyarakat
bersatu-padu menjadi pilarnya, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi,
lingkungan, dan infrastruktur.
KORINDO menyadari bahwa
kunci utama pembangunan daerah tertinggal ada di bidang pendidikan. Itulah
mengapa, KORINDO banyak melakukan upaya meningkatkan kualitas sumber daya anak
Papua melalui berbagai hal. Mulai dari pembangunan sekolah, beasiswa pendidikan,
bantuan operasional, hingga tambahan honor bagi guru penunjang.
Yang paling unik dan
menarik, para siswa di Desa Asiki tak perlu bersusah payah menerjang hutan dan
kubangan tatkala berangkat ke sekolah. Sebab, kini sudah ada 25 unit bus yang
siap mengantar mereka mengejar cita-cita. Selain itu, KORINDO juga menyediakan
fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK) bagi siswa SMA yang tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi.
Untuk menjaga kesehatan
masyarakat Asiki dan sekitarnya, sejak 1994 KORINDO telah mendirikan Klinik
Asiki. Pada perkembangannya, klinik ini terus dipercantik dan diperluas.
Sekarang, bangunan klinik yang terletak di Distrik Jair ini memiliki luas 1.270
m2 yang berdiri gagah di atas lahan seluas 2.929 m2.
Bukan hanya luasnya saja, jenis
dan kualitas layanannya juga terus ditingkatkan. Peserta BPJS Kesehatan sudah
bisa difasilitasi. Pelayanan kesehatan yang disediakan juga terbilang lengkap,
mulai dari dokter umum, unit gawat darurat, hingga ruang bersalin dan rawat
bayi. Jangkauan pemeriksaan kesehatan juga turut diperluas dengan klinik
keliling (mobile service) yang sudah hadir
di 6 desa di sekitar Distrik Jair.
Bangun perbatasan jadi terasnya Indonesia. Itulah
pesan yang ingin disampaikan oleh KORINDO kepada dunia ketika berbicara
mengenai CSR di bidang ekonomi dan infrastruktur. Dari sisi penyerapan tenaga
kerja, KORINDO telah menyerap tidak kurang dari 10.000 tenaga kerja asal Papua.
Kebijakan ini tentu akan membuat taraf hidup masyarakat meningkat, pengangguran
berkurang, dan produktivitas penduduk kalangan usia produktif semakin optimal.
Kontribusi KORINDO bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga tidak bisa dipandang sebelah mata. KORINDO
tercatat sebagai korporasi pembayar pajak terbesar bagi Kabupaten Merauke (30
persen dari total penerimaan pajak daerah) dan Boven Digul (50 persen). Lewat penerimaan
pajak ini, pemerintah daerah bisa lebih leluasa dalam membangun daerahnya.
Di bidang infrastruktur,
KORINDO menjadi salah satu perusahaan pertama yang mengembangkan jalan Trans
Papua. Jalan lintas provinsi sepanjang lebih dari 4.300 kilometer yang dirintis
pada masa pemerintahan Joko Widodo ini, terbentang luas melewati area perkebunan
kelapa sawit milik KORINDO.
Baru-baru ini, KORINDO juga
turut membangun Jembatan Kali Tortora yang berada di Desa Prabu-Asiki. Jembatan
ini bukanlah jembatan biasa, sebab inilah satu-satunya prasarana yang
menghubungkan antara Kampung Aiwat dan wilayah lainnya di Distrik Jair dan Subur.
Konektivitas dan aktivitas ekonomi di antara wilayah tersebut sangat bergantung
pada jembatan sepanjang 15 meter ini.
Semula, Jembatan Kali
Tortora hanya beralaskan kayu. Karena dimakan usia, jembatan ini lambat laun mulai
mengalami kerusakan. Khawatir semakin parah, PT Korindo Abadi, salah satu anak
perusahaan KORINDO Group, segera membeton jembatan ini. Kini, warga Prabu-Asiki
bisa bernapas lebih lega dan tersenyum ceria.
Terakhir, di bidang
lingkungan, KORINDO membangun Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) ramah
lingkungan di Wapeko, Merauke. Semburan daya listrik yang dihasilkan mencapai
10 MW. Cukup untuk memasok listrik ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di daerah
Salor.
Lantas, mengapa disebut ramah
lingkungan? Karena di sekeliling area PLTBm seluas 7.200 Ha ini ditanami
tumbuhan Jabon dan Ecalyptus. Nantinya, kedua jenis tumbuhan itu akan menjadi
bahan baku untuk menghasilkan tenaga listrik yang ramah lingkungan. Ini sesuai
dengan cita-cita kita bersama yang ingin memanfaatkan Energi Baru dan
Terbarukan (EBT) secara lebih optimal.
Untuk mengetahui kilas
balik program CSR yang dilakukan KORINDO sepanjang 2018, silakan tonton video
di bawah ini.
Apa yang dilakukan oleh
KORINDO seharusnya bisa membuka mata kita semua. Kesenjangan yang begitu
kentara di antara daerah perbatasan dan pulau Jawa tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Sebab, saudara kita di tepian sana memiliki hak yang sama untuk
menikmati buah pembangunan bangsa. Jangan lagi ada yang tertinggal atau sengaja
ditinggalkan.
KORINDO juga membuktikan
bahwa sinergi antara swasta, pemerintah, dan masyarakat lokal adalah kunci
dalam membangun daerah tertinggal. Tidak perlu terburu-buru atau tergesa-gesa.
Biarkan pembangunan mengalir secara alami tanpa dipaksa. Pelan-pelan saja,
asalkan tetap berada pada jalur berkelanjutan dan berkesinambungan.
Sekarang, mari kita sedikit
berandai-andai. Seumpama semua perusahaan eksplorasi sumber daya alam di
Nusantara mencontoh KORINDO, maka kita patut optimis. Kesenjangan di tapal
batas, cepat atau lambat, akan semakin terpapas. Sumber daya manusia Indonesia semakin
unggul, merata, dan berkeadilan. Persis seperti butir kelima Pancasila:
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ya, inilah harapan kita
bersama. Harapan para pendiri bangsa, pengisi kemerdekaan, hingga kita yang
hidup pada zaman sekarang. Sebab kita ingin Indonesia yang dititipkan pada
anak-cucu kita kelak, adalah Indonesia dengan “pekarangan rumah” terbaik di
dunia, yang tidak kalah megah dengan “ruang tengahnya”. Itu saja.
***
Artikel ini diikutsertakan
dalam KORINDO Blog Competition yang diselenggarakan oleh KORINDO. Tautan
artikel ini telah disebarkan melalui akun Instagram,Facebook, dan Linkedin pribadi milik penulis.
Setiap gambar yang
ditampilkan dalam artikel ini diolah secara mandiri oleh penulis. Seluruh
sumber foto telah dicantumkan pada masing-masing gambar. Sedangkan video bersumber
dari YouTube channel milik KORINDO
Group.
BPS. 2019. Indeks Pembangunan Manusia
menurut Provinsi, 2010-2018 (Metode Baru). [daring] (https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1211,
diakses tanggal 10 Mei 2019).
Kementerian PPN/Bappenas. 2016. Laporan
Akhir Koordinasi Strategis Percepatan Pelaksanaan Program Pembangunan Daerah
Tertinggal untuk Mendukung PP No.78 Tahun 2014 dan Perpres No.131 Tahun 2015.
Jakarta: Bappenas.
Korindo. 2018. KORINDO CSR Report 2017:
Continuosly working for a better society. Jakarta: Korindo.
Korindo. 2018. KORINDO Papua Bangun
Jembatan untuk Masyarakat Pedalaman. [daring] (https://www.korindo.co.id/korindo-papua-bangun-jembatan-untuk-masyarakat-pedalaman/?lang=id,
diakses tanggal 9 Mei 2019).
Korindo. 2019. Bangun Perbatasan Jadi
Terasnya Indonesia. [daring] (https://korindonews.com/border-building-to-becomes-a-terrace-of-indonesia/?lang=id,
diakses tanggal 9 Mei 2019).
Pemerintah Republik
Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun
2014 Tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Pemerintah Republik
Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun
2015 Tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015—2019. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Hello, you can call me Nodi. I'm a blogger who also work as an analyst in a state institution. Infographic enthusiast and Nadia Fitri's lover. For business inquiries, please view my contact.
8 komentar: